Wednesday, May 8, 2024
HomeGagasanRUU (Obl) Kesehatan dan Kejujuran Aparatur Pemerintah

RUU (Obl) Kesehatan dan Kejujuran Aparatur Pemerintah

Sejak lama memang kejujuran aparatur pemerintah itu sesuatu yang langka. Ketidak jujuran itu banyak sebab. Yang sering terjadi adalah karena adanya perintah dari atasan untuk tidak jujur atau menutupi suatu kebijakan yang salah, menjadi kebijakan yang terkesan benar dan katanya untuk kepentingan publik.

Dikalangan birokrasi kelembagaan kementerian Republik Indonesia, soal ketidak jujuran ini sudah semakin “menggila”, sistematis, dan masif. Indikasinya antara lain di beberapa kementerian, pengisian pejabat eselon 1 dan 2, banyak digantung dan dijadikan Plt (Pelaksana tugas) sampai sekarang ini.

Jabatan Plt, memungkinkan Menteri yang bersangkutan membongkar pasang pejabatnya sesuai dengan keinginan dan selera sang Menteri yang luput dari pemantauan KASN (Komite Aparatur Sipil Negara), dan MenPAN.

Pola strategi kebijakan Menteri itu ternyata efektif dan ampuh membungkam atau membuat para aparatur pemerintahnya menjadi tidak jujur, kehilangan integritas, aji mumpung, dan asal bapak senang (ABS).

Para pejabat eselon I dan II ( Pimpinan Tinggi Pratama dan Madya), saat ini mendapakan remunerasi ( Tunjangan Kinerja) cukup besar. Eselon I bisa sampai Rp. 30 juta dan eselon II bisa sampai p. 20 juta tergantung grade performance Kementeriannya. Jika mereka kehilangan jabatan itu, tukin nya bisa nyungsep yang akan menggoyahkan sendi perekonomian rumah tangga.

Strategi berikutnya, Menteri merekrut para Staf khusus dan Tenaga Ahli Menteri, yang mengendalikan dan mensupervisi para Plt. maupun yang definitif pejabat eselon I dan II. Dan juga menyiapkan konsep-konsep kebijakan termasuk perancangan suatu produk regulasi untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Lahirnya RUU Omnibus Kesehatan, yang pada awalnya tidak ada pihak yang mengaku siapa yang membuat Naskah Akademik dan RUU nya, tetapi draftnya beredar di masyarakat. Merupakan indikasi adanya pemain ( invisible hand) yang menyusunnya. Pihak Kemenkes membantah, Baleg DPR juga membantah. Tetapi lucunya secara diam-diam dalam senyap para aparatur pemerintah membahasnya dan menyiapkan DIM-DIM sesuai dengan keinginan sang Menteri.

Tentu para stakeholder terkait ribut. Seluruh Organisasi Profesi Kesehatan heboh. Sebab draft RUU Kesehatan yang diumpan oleh invisible hand itu, memporak porandakan 10 UU Sektor Kesehatan lainnya, dan menyambar UJU Pendidikan dan UU SJSN/BPJS.

Para OPK ( Organisasi Profesi Kesehatan) protes, mulai dengan cara santun, audiensi, memasukkan konsep-konsep perbaikan DIM, sampai dengan protes melalui media sosial dan elektronik.

DPR dan Pemerintah jalan terus, tidak goyah dengan keinginan mereka. Dan ternyata belakangan pihak Baleg DPR mengaku bahwa RUU itu inisitatif DPR dan sudah masuk dalam Prolegnas.

Sempurnalah “kebohongan” yang dibangun antara Kemenkes dengan Baleg DPR. Hak inisiatif DPR, tetapi Kemenkes yang menguasai bahannya dan aktif membahasnya sampai pada pendekatan DIM.

Pada saat Sidang Paripurna DPR memutuskan RUU Omnibus Kesehatan dibahas lebih lanjut di Komisi IX DPR, secepat kilat Kemenkes membuat gerakan yang disebut public hearing dalam waktu 2 minggu.

Kemudian Menkes menyerahkan hasil public hearing itu ke Komisi IX DPR dalam bentuk Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Kesehatan , Rabu (5/4). Menkes menklaim 75% masukan masyarakat terakomodir dalam DIM RUU Kesehatan dimaksud.

“Terhimpun 6.011 masukan partisipasi publik melalui public hearing, sosialisasi, dan website telah didengar, dipertimbangkan, dan diberikan penjelasan. Dari jumlah tersebut sudah 75% ditindaklanjuti,” ujar Menkes Budi.

Menkes Budi mengatakan Kemenkes sudah menyelenggarakan partisipasi publik dan sosialisasi RUU Kesehatan sejak 13 sampai 31 Maret 2023. Total ada 115 kegiatan partisipasi publik, 1.200 stakeholder yang diundang, dan 72 ribu peserta yang terdiri dari 5 ribu Luring, 67 ribu Daring.

Dari 478 pasal RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3.020, dan 1.037 DIM tetap untuk disepakati di rapat kerja DPR, 399 DIM perubahan redaksional untuk ditindaklanjuti oleh tim perumus dan tim sinkronisasi, 1.584 DIM perubahan substansi untuk ditindaklanjuti oleh panitia kerja (Panja) DPR.

Kemudian DIM penjelasan ada 1.488, sebanyak 609 DIM tetap, 14 DIM perubahan redaksional, 865 DIM perubahan substansi.

Kenapa selama 2 minggu sudah dapat dihimpun ribuan peserta dan ribuan DIM yang dibahas. Itu merupakan bukti kuat bahwa Kemenkes sudah mempersiapkan DIM-DIM berbulan-bulan secara senyap sebagaimana telah diutarakan di atas.

Start awal dalam perencanaannya sudah tidak transparan. Ribuan angka partisipatif itu hanya berupa angka tanpa makna substansi yang dapat menangkap apa yang menjadi keinginan stakeholder. Disinilah ketidak kejujuran itu berawal.

OPK Melawan Ketidakjujuran Aparatur Pemerintah

Organisasi Profesi Kesehatan melakukan aksi damai di Jakarta dan kota-kota besar lainnya secara serentak 8 Mei 2023 yang lalu. IDI, PDGI, PPNI, IBI dan IAI, turun kejalan dan menuju ke Kantor Kemenkes. Suatu pemandangan yang ironi, Menkes di demo oleh tenaga kesehatannya. Pasti ada yang tidak nyambung, tidak beres, dan tertutupnya akses komunikasi yang seimbang.

Ribuan tenaga kesehatan mendatangi Kantor Kemenkes di Kuningan, barulah petinggi Kemenkes tersentak. Dengan terpaksa Sekjen Kemenkes menerima delegasi dihalaman Kantor Kemenkes.

Bagi tenaga kesehatan itu sampai ribuan turun ke jalan dan mendemo kantor Kemenkes tentu cukup beralasan. Kekecewaan mereka sudah sampai ke ubun kepala. Prof. Dr. Zainal Muttaqin mengatakan bahwa jika sampai tenaga medis itu turun kejalan, artinya memang sudah terpaksa karena kepentingan profesi kesehatan dan pelayanan kesehatan masyarakat yang sudah terancam. Mereka itu adalah insan medis yang waktunya tidak banyak tersisa untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Mungkin Menkes Pak Budi Gunadi Sadikin tidak memahami kondisi sosiologis, dan psikologis tenaga kesehatan karena bukan seorang yang berlatar belakang profesi kesehatan ( BGS awalnya seorang Bankir, Insinyur ITB, yang diangkat Jokowi sebagai Menkes). Apakah ada perbedaan makna kemanusiaan di mata bankir dengan di mata tenaga medis, kasus RUU Kesehatan ini akan menjawabnya.

Ketidakjujuran penyelenggara pemerintahan (aparatur Kemenkes), dapat dicermati dari dokumen DIM RUU Omnibus Keasehatan, antara lain:

1. RUU Omnibus Kesehatan merupakan bentuk perlindungan baru bagi OPK. Kenyataannya merupakan ancaman baru bagi OPK.

2. RUU Omnibus Kesehatan inisiatif DPR, Kemenkes ikut saja. Kenyataannya hasil kongkalikong DPR dengan Kemenkes.

3. Menghilangkan alokasi APBN untuk Sektor Kesehatan. UU Kesehatan sebelumnya alokasinya 5%. Bagaimana Kemenkes menyusun suatu perencanaan anggaran tanpa adanya alokasi pembiayaan yang mempunyai kepastian hukum. Dari adanya alokasi pembiayaan kesehatan menjadi tidak ada. Aparatur Kemenkes kehilangan akal sehat.

4. Pemusatan kekuasaan secara penuh (full power) di tangan Kemenkes terhadap berbagai kebijakan terkait Organisasi Profesi Kesehatan. Lumpuhnya mekanisme kontrol dalam menjaga mutu pelayanan kesehatan.

5. Dengan instrumen Omnibus Law, memberangus UU Kedokteran, UU Perawat, UU Bidan dan UU lainnya, tanpa suatu proses evaluasi yang terbuka dan transparan.

Bagaimana Solusinya?

Kalau para penyelenggaran negara dan pemerintahan (DPR dan Kemenkes) menggunakan sedikit saja hati nurani, tidak ada jalan lain, selain ditunda dulu pembahasan RUU Omnibus Kesehatan, dengan alasan rasional sebagai berikut:

1. Banyaknya penolakan dari masyarakat dan profesi kesehatan, menunjukkan ada substansi yang belum mengakomodir mereka yang nantinya akan menjadi sasaran dari UU Kesehatan yang baru itu.

2. Tidak adanya kegentingan yang memaksa, sehingga mengharuskan RUU Omnibus Kesehatan segera ditetapkan.

3. Di sisa waktu Pemerintahan Jokowi, khususnya di Sektor Kesehatan, masih terlalu banyak persoalan kesehatan masyarakat yang belum terselesaikan sesuai dengan RPJM 2019-2024.

4. 6 bulan ke depan ini sudah memasuki fase proses Pemilu. Suhu politik meningkat. Jika RUU Kesehatan ditunda dulu, maka isu politik tidak mengimbas di sektor kesehatan. Jika dipaksakan juga RUU Omnibus Kesehatan bisa menjadi amunisi dan pemantik panasnya suhu politik.

5. Jika hubungan OPK dengan pemerintahan/Kemenkes semakin tajam dan tidak harmonis, maka tidak ada yang diuntungkan. Ujung-ujungnya yang menjadi korban masyarakat.

Solusi di atas, mudah-mudahan merupakan harapan kita semua seluruh masyarakat Indonesia, termasuk seluruh tenaga kesehatan yang cinta Indonesia ini damai, semakin maju, dan proses penyelenggaraan Pemilu berjalan lancar, tanpa gangguan dari mereka yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, dan mereka yang dimurkai Allah SWT.

 

CHAZALI H. SITUMORANG

Dosen FISIP UNAS; Pemerhati Kebijakan Publik dan Ketua Dewas PP IAI 2022-2026

RELATED ARTICLES

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular