Wednesday, October 9, 2024
spot_img
HomePolitikaDaerahREKAN Indonesia Kecam Lambannya Pelayanan Untuk Penyintas Gagal Ginjal

REKAN Indonesia Kecam Lambannya Pelayanan Untuk Penyintas Gagal Ginjal

Panca Ernawati, pasien penyintas gagal ginjal yang harus cuci darah di RSUD dr. H. Andi Abdurrahman Noor, Kalimantan Selatan, belum mendapatkan tindakan cuci darah sejak 21 April 2020 karena diduga terinfeksi Covid19. Kejadian ini dinilai tidak manusiawi menurut Relawan Kesehatan (REKAN) Indonesia. (foto: istimewa)

 

JAKARTA – Kondisi pelayanan kesehatan yang memfokuskan pada penanganan Covid19 sebaiknya tidak mengabaikan hak pelayanan kesehatan bagi pasien terduga Covid19 yang membutuhkan pelayanan yang cepat dan pasti bagi penderita penyintas gagal ginjal.

Bagi penyintas gagal ginjal, penundaan layanan hemodialisis (cuci darah) beresiko terhadap nyawa penyintas gagal ginjal itu sendiri. Ironisnya, penundaan layanan tersebut sering terjadi dengan alasan standar SOP Covid19.

Bagi Relawan Kesehatan (REKAN) Indonesia, penundaan layanan cuci darah bagi penyintas gagal ginjal dengan alasan SOP penanganan Covid19 adalah bukti tidak adanya pembagian prioritas dalam pelayanan kesehatan. Padahal pasien seperti penyintas gagal ginjal juga memerlukan pelayanan kesehatan yang optimal agar dapat terhindar dari resiko keterlambatan cuci darah.

Resiko yang dialami seperti kekurangan nutrisi, gangguan jantung karena harus kerja keras memompa darah ke tubuh, dan racun yang numpuk.

“Racun ureumnya pasti tinggi sekali. Saluran pernafasannya penuh dengan gas amoniak. Seperti bernafas dan mencium aroma air kencing. Mual dan muntah-muntah sepanjang hari. Yang paling berbahaya kalau racun memasuki otak. Nyawanya akan melayang,” papar Agung Nugroho Ketua Nasional REKAN Indonesia dalam siaran persnya, Senin (27/4/2020) tengah malam.

Agung memaparkan bahwa kasus  penundaan pelayanan hemodialisa bagi penyintas gagal ginjal kembali terjadi, kali ini di Kalimantan Selatan. Dan saat ini kondisi penyitas gagal ginjal sudah mengalami pembengkakan ditubuhnya.

“Panca Ernawati, pasien cuci darah di RSUD dr. H. Andi Abdurrahman Noor, Kalimantan Selatan, belum mendapatkan tindakan cuci darah sejak 21 April 2020 karena diduga terinfeksi Covid19,” imbuhnya dengan nada kesal.

Untuk diketahui, Panca Ernawati dinyatakan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) Covid19, lalu ditolak cuci darah rutin. Ia diletakkan di ruang isolasi, tanpa layanan cuci darah. Menunggu tes swab dengan penantian yang mungkin bisa mencapai 14 hari.

“Bagi kami perlakuan yang dialami oleh Panca Ernawati adalah perlakuan yang tidak memprioritaskan keselamatan jiwa pada penyintas gagal ginjal dan ini jauh dari rasa kemanusiaan,” kesal Agung.

Karenanya, pihak REKAN Indonesia mendesak pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI dan pemerintah daerah untuk tidak mengabaikan hak pelayanan terhadap penyintas gagal ginjal.

“Jangan karena SOP penanganan Covid19,K Kemenkes dan pemerintah daerah abai terhadap hak pelayanan kesehatan pasien non-Covid19. Apalagi bagi penyintas gagal ginjal penundaan cuci darah itu sama saja mereka disiksa dengan siksaan berat yang dapat menyebabkan nyawa melayang,” tegas Agung.

Menurut Agung, Protokol PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) memang dijalankan, yakni pasien PDP dialisisnya tidak dicampur dengan yang sehat untuk pencegahan penularan. Tapi, protokol lainnya tidak dijalankan, yakni membangun ruang terpisah untuk layanan hemodialisa.

Agung meminta kepada KPW Rekan Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan untuk segera mendesak Gubernur Kalimantan Selatan untuk menindaklanjuti masalah ini dan dapat mengintervensi pelayanan kesehatan di wilayahnya agar penyintas gagal ginjal dapat dengan segera mendapatkan pelayanan hemodialisis.

“Jangan sampai Gubernur Kalimantan Selatan dituding orang yang tidak peka jika sampai pasien penyintas gagal ginjal di wilayahnya meregang nyawa akibat lambannya penanganan yang dilakukan oleh petugas medis disana,” pungkas Agung mengingatkan.

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

Berita Terbaru

Most Popular