
Kita semua gusar dengan bencana ekologis di Aceh, Sumut, Sumbar, yang merenggut lebih dari 1.300 nyawa warga. Plus meluluhlantakkan hampir semua infrastruktur publik dan permukiman warga, yang taksiran kerugian ekonominya, menurut Center of Law and Economic Studies (CELIOS), mencapai Rp 68,67 triliun. Belum lagi kerugian imateriil yang tak bisa ditakar dengan ukuran apa pun. Kita harus gusar sebab bencana ekologis di Pulau Sumatera bukan hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem, tetapi lebih dipicu oleh lenyapnya hutan di sana. Izin perambahan hutan yang ugal-ugalan menjadi penyebab utama.
Sementara itu, terdapat fenomena kebijakan pemerintah yang juga berpotensi mendulang bencana, yang potensinya lebih dahsyat daripada bencana ekologis, yakni “bencana demografi” (demographic disaster).
Tragisnya, fenomena bencana demografi ini murni didesain secara struktural oleh kebijakan pemerintah, karena pemerintah tunduk pada kepentingan oligarki ekonomi. Ketundukan pemerintah itu diwujudkan dalam pemangkrakan kebijakan dan regulasi. Kesehatan publik dilindas oleh kepentingan oligarki ekonomi. Berikut ini konfigurasi catatan kesehatan pada 2025.
Pertama, pemangkrakan implementasi Undang-Undang (UU) tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan. UU dan PP Kesehatan memandatkan adanya pengendalian ketat untuk produk makanan yang mengandung gula, garam, dan lemak tinggi, terutama untuk produk MBDK (Minuman Manis Dalam Kemasan). Terkait hal ini, PP Kesehatan memandatkan adanya FPOL (Front Pack of Label), label yang memberikan informasi yang lebih jelas dengan warna tertentu dan posisinya di bagian depan kemasan. Tujuannya agar label tersebut lebih informatif bagi konsumen. Ironisnya, kendati hanya sebuah label, kebijakan ini digagalkan; terbukti hingga kini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum membuat aturan turunannya (Permenkes). Bahkan wacana membuat Permenkes tersebut kandas karena adanya veto oleh kalangan industri makanan dan minuman (GAPPMI). Dalihnya, aturan tersebut akan menurunkan produksi dan menyebabkan biaya tinggi bagi industri. Sebuah dalih yang aneh dan tidak ada bukti empiriknya. Bahkan, tragisnya lagi, beleid tersebut kandas karena veto oleh pemerintah Amerika Serikat. Intervensi negeri Paman Sam itu disebabkan banyak industri makanan dan minuman di Indonesia dimiliki oleh investor dari negeri Paman Sam tersebut.
Kedua, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya menganulir rencana kebijakan mengenakan cukai pada produk MBDK (Minuman Manis Dalam Kemasan). Kebijakan ini pun dilakukan oleh adanya intervensi kuat kalangan industri makanan dan minuman yang tergabung dalam GAPPMI. Tercatat, ini penundaan yang keempat kali, sebab wacana cukai untuk MBDK sudah diwacanakan sejak 2022 dan akan diimplementasikan pada 2023 (gagal), 2024 (gagal), 2025 (gagal), dan klimaksnya 2026, gagal pula.
Berbagai dalih meluncur untuk justifikasi menunda cukai MBDK. Pengenaan cukai MBDK diklaim akan menurunkan permintaan karena membebani konsumen dan bahkan bisa memicu PHK massal. Lagi-lagi sebuah klaim yang tidak berbasis kajian akademis dan nir bukti empirik.
Ketiga, tidak menaikkan cukai rokok pada 2026. Inilah kebijakan paling ekstrem, tersebab tembakau atau rokok mengantongi kompleksitas permasalahannya paling dominan, dan sektor kesehatan selalu digadaikan, sementara kepentingan ekonomi menjadi panglima. Padahal, sebagai instrumen pengendali konsumsi produk yang menimbulkan eksternalitas negatif, eksistensi cukai rokok menjadi mutlak. Untuk menunda atau tidak menaikkan cukai rokok, Menkeu Purbaya sepenuhnya hanya mengakomodasi keterangan dan informasi dari kalangan industri rokok dan atau pihak yang pro terhadap kepentingan industri rokok. Menkeu Purbaya sama sekali tidak menghiraukan opini dan masukan dari ahli kesehatan masyarakat dan atau kalangan masyarakat sipil yang concern dengan isu kesehatan publik.
Berbasis konfigurasi permasalahan tersebut, bisa disimpulkan bahwa pada 2025 kebijakan pemerintah sepenuhnya tunduk pada kepentingan dan tekanan industri, khususnya industri makanan dan minuman serta industri rokok, baik untuk kebijakan fiskal maupun nonfiskal.
Dalam konteks kebijakan cukai, hal ini menunjukkan Menkeu Purbaya tidak memahami filosofi instrumen cukai sebagai pengendalian konsumsi, bukan semata aspek pendapatan negara, dan apalagi dominan memperhatikan kepentingan ekonomi dari industri yang dikenai cukai.
Keputusan Menkeu Purbaya tidak menaikkan cukai praktis hanya memperhatikan kepentingan industri dan tidak ada perhatian pada aspek kesehatan sebagai basis filosofi kebijakan cukai. Sialnya, di sektor kebijakan nonfiskal yang menjadi ranah Menkes Budi Gunadi Sadikin pun longsor oleh derasnya tekanan dan lobi industri. Pantas jika indeks interferensi industri rokok di Indonesia merupakan tertinggi di dunia, dengan skor lebih dari 84.
Dengan kebijakan cukai yang status quo, minimal berdampak dua hal, yakni akan melambungnya konsumsi produk MBDK dan produk rokok, khususnya pada anak-anak dan remaja. Dampak terhadap tidak menaikkan cukai rokok (cukai hasil tembakau) akan mengerek prevalensi konsumsi rokok pada anak dan remaja yang sekarang sudah mencapai 7,4%, dan juga akan mengerek prevalensi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Saat ini, alokasi anggaran untuk beli rokok di rumah tangga miskin menduduki peringkat kedua setelah konsumsi beras. Dan klimaksnya akan mengerek tingginya prevalensi penyakit tidak menular, seperti jantung koroner, stroke, kanker, dan diabetes melitus. Dan buntutnya belanja biaya kesehatan akan terus melambung. Pada 2023 lalu, biaya untuk mengover penyakit jantung koroner mencapai lebih dari Rp 20 triliun.
Bahkan dari sisi normatif, tidak menaikkan cukai rokok adalah bentuk pelanggaran regulasi, melanggar mandat UU Cukai, karena seharusnya cukai rokok dinaikkan setiap tahun. Sedangkan pada 2025 dan 2026 cukai rokok tidak naik. Pada 2027 potensinya juga tidak ada perubahan kebijakan cukai karena sudah mendekati tahun politik. Jadi sampai 2030 kebijakan cukai, baik untuk produk MBDK dan produk rokok, akankah mati suri? Mungkinkah ada nyali politik untuk menggulirkan kebijakan publik yang tidak populis, apalagi jika menterinya berasal dari partai politik. Bak jauh panggang dari api.
Pemerintah, via Menkeu Purbaya, seharusnya kembali pada khittah bahwa kebijakan cukai harus bersinergi dengan kebijakan kesehatan. Menkes BGS juga seharusnya menjadi panglima kesehatan publik yang sesungguhnya, bukan malah duduk setara dengan industri.
Adalah salah kaprah dan sesat pikir jika Menkeu Purbaya dalam memutuskan kebijakan cukai malah bersinergi dengan kalangan industri dan stakeholder lain yang pro industri. Jika cukai tidak dedicated untuk kepentingan kesehatan, maka kita sedang menggali kubur, yakni munculnya fenomena bencana demografi. Bonus demografi yang digadang-gadang, akan menjadi pepesan kosong, karena justru anak-anak mudanya mengidap kompleksitas penyakit degeneratif secara dini. Data menunjukkan pasien penyakit jantung koroner semakin muda, yakni 45 tahun. Juga dengan tren penyakit diabetes melitus.
Janganlah kebijakan cukai yang sejatinya untuk kepentingan kesehatan justru dibarter dengan mengakomodasi kepentingan oligarki industri. Bonus demografi akan menjelma menjadi fenomena bencana demografi, yang jauh lebih mengerikan daripada bencana ekologis. Semoga tidak sampai demikian. Entahlah. (*)
TULUS ABADI
Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI)



