Tidak ada yang lebih menegangkan tinimbang menyaksikan demokrasi dirampas oleh tangan-tangan tak terlihat. Kalau di drama-drama sinetron kita biasa melihat adegan rebutan warisan atau perebutan cinta, di panggung politik Indonesia tahun 2024, yang direbut adalah aspirasi rakyat —dengan gaya preman yang brutal, tapi kadang terselubung rapi.
Ah, tidak semua preman perlu otot kekar dan tatapan garang. Beberapa cukup dengan pena licik dan tanda tangan di kertas putih, sebagai preman berkerah putih, atau yang di X (dulu Twitter) oleh Nur Kholis disebut dengan penuh elegan: “maling kerah putih.”
Fenomena kekerasan premanisme yang terjadi baru-baru ini pada diskusi Forum Tanah Air (FTA) di Jakarta, merupakan bukti bahwa premanisme bukan sekadar fenomena jalanan, tapi telah merayap naik hingga ke ruang-ruang elegan hotel bintang lima, merangsek ke dalam perdebatan intelektual. Kalau preman-preman masa lalu merusak warung kopi, preman politik merusak demokrasi sambil tersenyum lebar, seraya memutar dan membetot otot-otot kekuasaan.
Diskusi yang digelar oleh warga diaspora lima benua, Sabtu lalu, seharusnya menjadi wadah gagasan kebangsaan yang bebas dan damai, serta dilindungi UUD 1945. Kamera live streaming sudah dinyalakan, ditonton warga kita di 21 negara.
Namun, sungguh malu-maluin dan membebalkan, yang terjadi adalah drama komedi tragis: sekelompok orang tak dikenal (OTK), seperti dalam film gangster murah, masuk dengan gaya koboi, mengobrak-abrik diskusi, mencabut spanduk, menghancurkan layar presentasi, dan meneriakkan “Bubar, bubar!” Semua ini berlangsung di hadapan polisi yang tak berupaya mencegah mereka, seolah terjebak dalam film bisu.
Itukah bukti premanisme sudah jadi bagian dari lanskap politik kita? Jika benar, maka demokrasi kita sedang mengalami krisis identitas. Geiz Chalifah di X dengan cerdas menggambarkan situasi ini: “Operasi preman tentu saja vulgar & brutal. Mereka menggunakan kekerasan untuk membubarkan acara diskusi. Beda cara dengan operasi kekuasaan dalam membegal aspirasi warga.”
Keduanya sama-sama kriminal, hanya beda gaya. Preman jalanan datang dengan kepalan tangan dan suara bising, sementara preman kekuasaan datang dengan kertas dan pena, tapi efeknya sama: merampok aspirasi warga.
Mari kita bicara lebih serius. Banyak pihak melihat bahwa premanisme ini tidak berdiri sendiri. Bung Gde Siriana (@SirianaGde), yang menjadi korban dalam insiden di FTA, dengan keras menyebut bahwa preman-preman ini adalah “bukti nyata Jokowi gagal ciptakan lapangan kerja,” lalu menyambung dengan lebih pedas: “Jokowi bapak adu domba; dan Kepolisian mitra preman.”
Wah, berat tuduhannya. Tapi mungkin bukan tanpa alasan. Banyak yang menduga, preman-preman ini bukan aktor independen. Seperti yang ditunjukkan oleh Rocky Gerung, mereka bahkan berpelukan dan mencium tangan polisi sebelum pulang. Kalau ini benar, maka kita sedang melihat simbiosis yang sangat berbahaya.
Masyarakat jadi bertanya-tanya, apakah kekuasaan yang dipegang oleh elite politik telah menggunakan premanisme sebagai alat untuk mengekang suara oposisi? Ini membuat catatan rapor demokrasi kita bertintakan merah.
Dalam politik, istilah “preman bayaran” bukan barang baru. Ini taktik licik yang digunakan untuk menciptakan ketakutan dan kekacauan, menekan diskusi dan perdebatan, serta memastikan bahwa narasi yang berlawanan dengan kekuasaan tidak mendapatkan panggung.
Premanisme di sini menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan yang takut menghadapi lawan secara jujur dan terbuka. Seperti yang Rocky Gerung katakan: “Kekuasaan selalu ingin menghalangi orang berpikir, dengan mengirim orang untuk mengacau.”
Jika kita refleksikan, tindakan premanisme yang merajalela ini mencerminkan kelemahan demokrasi kita. Demokrasi seharusnya menjadi ruang terbuka untuk semua ide, termasuk yang paling kontroversial sekalipun.
Jika kita membiarkan preman, baik yang jalanan maupun berkerah putih, terus merampas ruang ini, kita sedang menyerahkan demokrasi kita pada kekacauan yang disponsori kekuasaan.
Misalnya Anies Baswedan, salah satu figur yang kerap jadi korban pembegalan aspirasi politik, sudah merasakan bagaimana kekuatan kekuasaan menggunakan tangan-tangan preman ini untuk menyingkirkannya dari pentas politik.
Pilpres dan Pilkada DKI 2024 menjadi medan pertempuran di mana aspirasi rakyat dibungkam dengan halus, sementara partai-partai politik tersandera oleh “premanisme elite” yang bekerja dalam diam.
Sebenarnya, apakah kita masih bisa berharap pada demokrasi yang sehat ketika premanisme telah merajalela dari jalanan hingga ke dalam gedung-gedung pemerintahan?
Jika premanisme ini dibiarkan, kita akan menyaksikan demokrasi perlahan-lahan berubah menjadi oligarki preman, di mana yang kuat menindas yang lemah, dan suara rakyat hanyalah bayangan dari masa lalu yang indah.
Bayangkan, di masa depan, kita mungkin akan melihat partai politik mempekerjakan preman dalam kampanye. Di setiap TPS, bukan petugas yang menjaga kotak suara, tapi preman dengan wajah garang. Warga akan takut bukan karena ancaman dari luar, tapi karena sistem yang diwarnai premanisme ini telah menjadi norma. Bukankah ini semua ironis?
Kita perlu tegaskan, kita tidak butuh preman, baik yang di jalanan maupun di gedung-gedung kekuasaan. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang berani berdialog, yang menghargai aspirasi rakyat tanpa harus takut akan oposisi. Demokrasi kita tidak boleh terjebak dalam lingkaran kekerasan ini.
Premanisme politik bukanlah tanda kekuatan. Justru sebaliknya, itu tanda kelemahan yang memalukan. Dan sampai kita mampu menyingkirkan tangan-tangan preman ini dari politik, jangan harap kita bisa menyebut demokrasi kita sehat.
Sebab, seperti kata Rocky Gerung, kekuasaan yang takut pada diskusi adalah kekuasaan yang takut pada kebenaran. Dan kebenaran, adalah satu-satunya yang harus kita perjuangkan.
29 September 2024
AHMADIE THAHA
Jurnalis Senior sekaligus Pendiri Republika Online 1995