
Pemerintah pada Maret 2025 meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas). Regulasi ini hadir di tengah kegelisahan publik yang kian menguat mengenai keselamatan anak di ruang digital, mulai dari paparan konten tidak layak, perundungan siber, eksploitasi daring, hingga ancaman terhadap kesehatan mental anak.
PP Tunas mengatur sejumlah kewajiban bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), antara lain penyaringan konten, penyediaan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, verifikasi usia pengguna, peningkatan pengamanan teknis, serta larangan pemanfaatan data anak untuk kepentingan komersial. Sanksi administratif hingga penghentian layanan disiapkan bagi platform yang melanggar. Di atas kertas, regulasi ini tampak menjanjikan dan memberi harapan baru bagi banyak orang tua.
Kekhawatiran tersebut memang beralasan. Hampir 48% pengguna internet di Indonesia merupakan anak di bawah usia 18 tahun, dengan durasi penggunaan rata-rata mencapai sekitar tujuh jam per hari. Data Badan Pusat Statistik (2024) mencatat, 39,71% anak usia dini telah menggunakan telepon seluler, dan 35,57% sudah mengakses internet. Angka ini jauh melampaui rekomendasi American Academy of Pediatrics yang menyarankan durasi maksimal dua jam per hari bagi anak usia sekolah. Internet, dengan demikian, tidak lagi sekadar alat bantu, melainkan telah menjadi bagian integral dari keseharian anak.
Tingginya akses ini membawa risiko yang tidak kecil. Laporan National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC) bahkan menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia dalam jumlah laporan pornografi anak secara daring. Dalam konteks inilah PP Tunas menemukan relevansinya sebagai instrumen perlindungan negara.
Menariknya, dibandingkan sejumlah negara seperti Australia yang menerapkan pembatasan ketat terhadap akses media sosial anak, PP Tunas memilih pendekatan pembatasan berjenjang berdasarkan usia dan tingkat risiko platform. Anak tetap diberi ruang untuk berekspresi dan belajar di ruang digital, dengan prasyarat pendampingan orang tua. Secara normatif, pendekatan ini tampak berupaya menyeimbangkan perlindungan dan pemenuhan hak anak.
Namun, sejumlah catatan kritis perlu diajukan. Salah satunya menyangkut mekanisme penilaian mandiri (self-assessment) oleh PSE dalam menentukan kategori risiko dan rating layanan digital. Tanpa standar teknis yang rinci dan pengawasan yang kuat, mekanisme ini berpotensi bias kepentingan bisnis. Negara tidak dapat sepenuhnya menyerahkan proses klasifikasi risiko kepada platform tanpa sistem akuntabilitas yang transparan dan partisipatif.
Lebih jauh, PP Tunas menempatkan orang tua sebagai aktor kunci dalam implementasinya, terutama dalam pemberian persetujuan akses dan pendampingan anak. Persoalannya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa literasi digital orang tua di Indonesia masih relatif rendah. Banyak orang tua belum memahami sistem rating aplikasi, fitur keamanan digital, maupun cara kerja algoritma yang memengaruhi konsumsi konten anak.
Dalam praktik sehari-hari, kondisi ini kerap melahirkan dua respons ekstrem. Di satu sisi, larangan kaku yang mematikan ruang dialog dan mendorong anak mencari celah di luar pengawasan. Di sisi lain, pembiaran dengan alasan ketidaksanggupan mengikuti kecakapan digital anak atau keterbatasan waktu dan alternatif aktivitas. Keduanya sama-sama tidak efektif dan justru meningkatkan kerentanan anak di ruang digital.
Situasi ini menunjukkan bahwa negara tidak dapat membebankan tanggung jawab besar kepada orang tua tanpa dukungan struktural yang memadai. Sosialisasi, edukasi, dan pelatihan literasi digital bagi orang tua menjadi kebutuhan mendesak, terutama bagi kelompok ibu yang dalam banyak studi berperan sebagai mediator utama penggunaan media digital anak. Tanpa dukungan tersebut, PP Tunas berisiko menjadi regulasi yang baik secara normatif, tetapi lemah dalam implementasi di tingkat keluarga.
Di titik inilah penting untuk menggeser fokus kebijakan dari sekadar perlindungan menuju pembangunan ketahanan digital anak. Ketahanan digital merujuk pada kemampuan anak mengenali risiko, beradaptasi, dan pulih dari pengalaman negatif di ruang digital, sekaligus tetap mampu memanfaatkan teknologi secara produktif. Pendekatan ini menempatkan anak sebagai subjek aktif yang belajar berpikir kritis, mengelola emosi, menjaga relasi sosial yang sehat, serta memahami prinsip dasar keamanan dan privasi digital.
Perlindungan berbasis kontrol teknis semata seperti pemblokiran atau pembatasan akses, tidak cukup menjadi solusi jangka panjang. Anak tumbuh, kecakapan teknologinya meningkat, dan kontrol eksternal akan semakin mudah dilampaui. Tanpa ketahanan internal, anak tetap rentan meski berada dalam sistem yang serba dibatasi.
Regulasi seperti PP Tunas dapat dibaca sebagai upaya negara mengelola risiko sosial melalui pengaturan perilaku di ruang digital. Risiko yang perlu diwaspadai adalah ketika kebijakan berhenti pada logika kontrol dan disiplin, tanpa diiringi pemberdayaan warga. Agar tidak jatuh pada pola yang represif, regulasi perlu disertai kebijakan edukatif yang memperkuat kapasitas anak dan orang tua sebagai aktor yang sadar dan berdaya.
Dalam konteks keluarga, pendampingan digital idealnya bersifat dialogis, bukan otoriter. Percakapan terbuka antara orang tua dan anak mengenai pengalaman daring, risiko, dan nilai-nilai menjadi fondasi utama pembentukan ketahanan digital. Dari dialog inilah anak belajar memahami batas, tanggung jawab, dan pilihan secara reflektif.
Dengan demikian, implementasi PP Tunas perlu ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan ekosistem digital yang memberdayakan. Regulasi harus berjalan seiring dengan peningkatan literasi digital orang tua, pendidikan ketahanan digital anak, serta keterlibatan aktif sekolah, komunitas, dan platform digital. Negara tidak cukup hanya mengatur dan memberi sanksi, tetapi juga perlu memfasilitasi pembelajaran. Melalui pendekatan integratif inilah perlindungan anak di ruang digital dapat terwujud secara nyata dan berkelanjutan. Semoga. (*)
SYIFA SYARIFAH ALAMIYAH
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga sekaligus Pegiat Digital Parenting dan Literasi Media serta Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur



