Friday, March 29, 2024
HomeGagasanPlagiat di Bidang Musik Bisa Dibuktikan, Bagaimana dengan Plagiat Buku?

Plagiat di Bidang Musik Bisa Dibuktikan, Bagaimana dengan Plagiat Buku?

 

Dikutip dari wikipedia, Rahmawati Kekeyi Putri Cantika atau lebih dikenal sebagai Kekeyi, lahir di Nganjuk, Jawa Timur, usia 25 tahun, adalah seorang selebritas Youtube dan Instagram di Indonesia. Ia terkenal setelah membuat konten tutorial tata rias menggunakan balon untuk mengganti fungsi beauty blender. Bayangkan, per 11 Juni 2020, kanal Youtubenya memiliki 900.000  lebih pelanggan.

Tetapi Youtuber bernama Rahmawati Kekeyi Putri Cantikka itu, baru-baru ini tengah heboh diperbincangkan publik. Itulah berita terakhir tentang plagiat di bidang lagu yang diduga dilakukannya.

Adapun hal tersebut lantaran sang Youtuber baru saja merilis single perdananya pada Jumat, 29 Mei 2020.

Tak main-main, lagu debutnya tersebut bahkan sampai merajai trending Youtube.

Kendati baru dirilis, Kekeyi harus menelan pil pahit lantaran ada bagian dalam lagu tersebut yang diduga hasil plagiat.

Bagian lagu tersebut adalah pada lirik ‘Keke bukan boneka’ yang diulang beberapa kali.

Netizen menyebut bagian tersebut adalah hasil plagiasi dari bagian lagu yang dipopulerkan oleh Rini Idol atau Rinni Wulandari berjudul ‘Aku Bukan Boneka’.

Mengetahui hal itu, pencipta lagu ‘Aku Bukan Boneka’, Novi Umar lantas buka suara.

Ia pun memberikan tanggapan mengenai lagu Kekeyi yang tengah viral di media sosial tersebut.

Hal itu diungkapkan Novi dalam akun Instagramnya @novi_umar81 pada 30 Mei 2020.

Dalam unggahan itu, Novi memberikan tanggapannya mengenai bagian lagu ciptaannya yang dipakai oleh Kekeyi.

Bagaimana Plagiat di Bidang Buku?

Dari lagu, kita beralih ke persoalan buku. Pada diskusi para penulis di Yayasan Pustaka Obor Indonesia beberapa waktu yang lalu, saya ikut menghadirinya. Di acara tersebut dibahas tentang pembajakan buku yang sulit dilacak.

Benar bahwa di era reformasi ini, para penulis buku dapat berkreasi dengan seluruh ide cemerlangnya untuk menghasilkan sebuah buku yang berbobot, tetapi kurangnya pemahaman kesadaran akan hukum oleh masyarakat dalam menikmati dan menghargai suatu karya seseorang sering kita temui buku-buku yang dijual di emperan kaki lima, buku-buku bajakan.

Di dalam buku bajakan tersebut, penulis dan isi buku persis sama. Hanya ukuran buku yang beda. Biasanya sedikit besar dari yang aslinya. Buat orang yang membeli, mungkin tidak terlalu peduli, karena harganya lebih murah dari aslinya. Memang di samping penulis dirugikan, juga negara, yaitu dengan berkurangnya pajak penghasilan negara (PPh), pihak penerbit dan terutama bagi penulis itu sendiri, juga dirugikan.

Sudah tentu hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Hak Cipta, tetapi apa yang dapat kita lakukan?

Para pengacara dan dosen-dosen di Fakultas Hukum selalu mengatakan bahwa Hak Cipta pada dasarnya ada atau lahir bersamaan dengan lahirnya suatu karya cipta atau ciptaan. Undang-Undang memberikan pengertian terhadap hak cipta, dengan diberikannya perlindungan hukum sejak suatu ide diwujudkan dengan suatu yang nyata dalam arti dapat dilihat, didengar, dibaca oleh orang lain maka hal tersebut merupakan hak cipta. Hak cipta sendiri memberikan perlindungan terhadap ciptaan yaitu hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.

Melihat kenyataan tersebut maka sangatlah penting adanya jaminan hukum yang mengatur masalah hal ini, khususnya Hak Cipta.

Jangan heran, banyak juga para dosen di sebuah perguruan tinggi melakukan plagiat dari mahasiswanya. Baru-baru ini juga tersiar berita tentang dugaan (sekali lagi, dugaan) plagiat yang pernah terjadi pada seorang Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Dr. Fathur Rokhman. Beritanya mencuat ke permukaan setelah hal tersebut dilaporkan pihak universitas ke kepolisian.

Pihak universitas tidak menerima tuduhan plagiat terhadap rektornya. Tetapi pihak yang dilaporkan, media sosial (on line) “serat.id,” dibela Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Semarang dalam pernyataan sikap bersama. Intinya pihak universitas menyalahi prosedur, karena hal-hal yang berkaitan dengan wartawan, pengaduan dialamatkan kepada Dewan Pers, bukan ke kepolisian.

Pihak polisi sedang meneliti, apakah media online ini memang benar media online yang resmi terdaftar. Jika benar, berkemungkinan besar Dewan Perslah yang menanganinya. Jika tidak resmi, maka pihak kepolisianlah yang berhak mengatasinya.

Rektor Unnes, Prof. Dr. Fathur Rokhman dituduh atau disangkakan menjiplak (plagiat) tulisan mahasiswanya. Hal seperti ini bukan sekali ini saja kita dengar. Sudah banyak para dosen sebelumnya yang berasal dari berbagai universitas dituduh melakukan plagiat. Sungguh memprihatinkan.

Plagiat ini dilakukan hanya karena kita malas berpikir dan segala hal cepat tersaji. Saya pribadi pada tanggal 12 Juli 1996 pernah mengadukan plagiat ini kepada Ketua Dewan Kehormatan PWI tentang plagiat harian “Merdeka,” setelah pendiri media perjuangan itu, Burhanudin Mohamad (B.M.) Diah meninggal dunia.

Setelah B. M. Diah meninggal dunia, Pemimpin Redaksi harian “Merdeka,” dipegang oleh menantu almarhum, yaitu Tribuana Said. Memang saya waktu itu merasa kecewa dengan penerbitan harian “Merdeka,” edisi 11 Juni 1996, 14 Juni 1996 dan 16 Juni 1996.

Di sini terlihat seakan-akan di dalam tulisan itu dilakukan oleh wartawan tahun 1996 tersebut. Sebenarnya seluruh tulisan itu diambil dari halaman buku yang saya tulis pada tahun 1992, “Butir-Butir Padi B M Diah.”

Dewan Kehormatan PWI yang waktu itu diketuai Sjamsul Basri dan Sekretaris, R H.Siregar menjembataninya. Saya yang menyaksikan keseriusan Pemred Harian “Merdeka,” Tribuana Said  dan Dewan Kehormatan PWI mengatasinya, bersedia berdamai. Oleh karena itu, memang benar, segala hal yang menyangkut pers diselesaikan melalui Dewan Pers.

Budaya malas berpikir para intelektualnya perlu diubah. Ada dana pemerintah yang disediakan buat mempromosikan hasil penelitian di setiap kementerian, meski tidak sebanyak yang diharapkan.

Buat seorang wartawan, memang harus jelas sumbernya diambil. Mengambil alih pendapat seseorang tanpa sumber otentik pun akan menjadi bumerang di kemudian hari.

Bagaimana pun, cara mengatasi plagiat di dunia musik bisa terberitakan dengan baik. Berbeda dengan plagiat di bidang buku. Sepertinya sering kita dengar, tetapi penyelesaiannya tidak pernah tuntas. Apakah karena sulit membuktikan? Tidak seperti membuktikan plagiat di bidang musik?

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis Senior dan Penulis Buku

RELATED ARTICLES

Most Popular