Wednesday, December 17, 2025
spot_img
HomeGagasanPerang Virus dan Bisnis Vaksin: Bentuk Penjajahan Gaya Baru

Perang Virus dan Bisnis Vaksin: Bentuk Penjajahan Gaya Baru

Pandemi Covid-19 telah membuka banyak tabir yang sebelumnya tersembunyi. Ia bukan sekadar bencana kesehatan global, melainkan juga menjadi cermin besar yang memantulkan kenyataan pahit: ketimpangan global semakin tajam dan sistem kesehatan dunia ternyata sangat bergantung pada logika pasar. Di balik retorika “solidaritas internasional” dan “kerja sama global”, kita justru menyaksikan bagaimana virus dan vaksin dapat dimanfaatkan sebagai alat dominasi baru—penjajahan gaya baru yang tak kasat mata, namun dampaknya begitu terasa.

Virus sebagai Senjata Tak Kasat Mata

Sejarah mencatat bahwa wabah penyakit kerap menjadi bagian dari dinamika kekuasaan. Di masa lalu, penyakit menular menyebar seiring kolonialisasi. Di era modern yang serba canggih ini, virus tak hanya menjadi ancaman biologis terhadap tubuh manusia, tapi juga senjata yang menghantam ekonomi, mengguncang sistem sosial, dan melemahkan ketahanan nasional banyak negara berkembang. Negara-negara dengan sistem kesehatan lemah dipaksa tunduk pada skema bantuan dan ketentuan yang digariskan oleh negara-negara maju dan lembaga internasional. Bantuan yang tampak manis di permukaan itu sering kali menjadi jerat ketergantungan jangka panjang.

Kapitalisme Kesehatan dan Bisnis Vaksin

Salah satu ironi terbesar dari pandemi adalah bagaimana penderitaan umat manusia justru menjadi ladang keuntungan luar biasa bagi segelintir perusahaan farmasi global. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, perusahaan-perusahaan seperti Pfizer, Moderna, dan BioNTech mencatatkan pendapatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pfizer, misalnya, meraup pendapatan sebesar 36,8 miliar dolar AS hanya dari penjualan vaksin Covid-19 selama 2021. Moderna tak kalah besar, dengan keuntungan 17,7 miliar dolar AS pada tahun yang sama.

Sebuah laporan dari Oxfam dan People’s Vaccine Alliance menunjukkan bahwa lima perusahaan farmasi terbesar di dunia menghasilkan miliaran dolar dari pandemi ini, sementara jutaan orang di negara-negara miskin hanya bisa berharap. Sistem distribusi vaksin global yang dijanjikan adil, seperti skema COVAX, kerap kali tak berjalan sesuai harapan. Banyak negara berkembang harus membayar mahal atau menunggu giliran, sementara negara kaya telah mengamankan stok vaksin dalam jumlah berlebih.

Ketimpangan Akses Vaksin yang Mencolok

Data menunjukkan ketimpangan akses vaksin yang begitu besar. Pada September 2021, hanya 3,07% dari populasi negara berpenghasilan rendah yang telah menerima vaksin, sementara di negara-negara berpenghasilan tinggi, angkanya mencapai 60,18% (UN News, 2021). Dari seluruh dosis vaksin yang telah dikirimkan secara global, 87% diterima oleh negara-negara kaya, dan hanya 0,2% yang sampai ke negara-negara miskin. Ini bukan sekadar masalah logistik atau kapasitas, tetapi cerminan dari sistem global yang lebih memprioritaskan keuntungan daripada nilai-nilai kemanusiaan.

Ketergantungan WHO pada Donor Besar

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) seharusnya menjadi benteng netral bagi kesehatan global. Namun dalam kenyataannya, lembaga ini sangat bergantung pada dukungan dana dari negara-negara maju dan lembaga filantropi besar seperti Bill & Melinda Gates Foundation. Ketergantungan tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap independensi dan netralitas WHO. Tak sedikit pengamat yang menilai bahwa arah kebijakan WHO sering kali selaras dengan kepentingan politik dan bisnis para pendonornya. Dalam situasi krisis seperti pandemi, seharusnya WHO dapat berdiri tegak membela prinsip keadilan dan kemanusiaan, bukan justru menjadi bagian dari permainan kekuasaan global.

Penjajahan Gaya Baru: Dari Tanah ke Tubuh

Penjajahan modern tak lagi dilakukan dengan senjata dan invasi militer, melainkan dengan mekanisme ekonomi dan teknologi. Jika dulu tanah dijarah, kini tubuh manusia dijadikan ladang investasi. Negara-negara berkembang dipaksa bergantung pada vaksin, obat-obatan, dan teknologi medis yang dipatenkan oleh korporasi luar negeri. Mereka tak memiliki akses terhadap teknologi produksi, sehingga terjebak dalam ketergantungan yang terus diperpanjang melalui sistem hak paten. Dominasi korporasi global dalam sektor kesehatan tidak hanya menutup peluang produksi lokal, tetapi juga memperkuat ketimpangan global yang semakin mengakar.

Menuju Kedaulatan Kesehatan Nasional

Sudah saatnya kita menyadari bahwa kedaulatan suatu bangsa tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tetapi juga dari kemampuannya menjaga dan menjamin kesehatan rakyatnya secara mandiri. Pandemi Covid-19 menjadi pelajaran penting bahwa ketergantungan pada pihak luar dalam urusan kesehatan hanya akan membuat kita menjadi pasar dan objek eksploitasi.

Untuk itu, diperlukan langkah konkret dan strategis:

  1. Membangun industri farmasi nasional yang kuat dan mandiri, mampu memproduksi vaksin dan obat-obatan sendiri.
  2. Mendorong pencabutan hak paten atas vaksin dan produk medis esensial dalam kondisi darurat global.
  3. Memperkuat riset dan pengembangan teknologi kesehatan dengan sokongan penuh dari negara, bukan semata mengandalkan swasta.
  4. Membangun kerja sama dan aliansi antar negara berkembang agar dapat saling berbagi teknologi, pengetahuan, dan distribusi sumber daya kesehatan secara adil.

Pandemi Covid-19 telah menjadi ujian bagi solidaritas dunia. Tetapi lebih dari itu, ia juga menjadi peluang untuk membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kedaulatan di bidang kesehatan. Kita tidak boleh lagi menjadi penonton dalam arena global yang dikendalikan oleh kepentingan segelintir pihak. Ini saatnya mengambil sikap: dari ketergantungan menuju kedaulatan, dari pasar menuju kemanusiaan. Semoga.

 

AGUNG NUGROHO

Ketua Umum Relawan Kesehatan (REKAN) Indonesia

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular