![](https://www.cakrawarta.com/wp-content/uploads/2024/12/8aeb6afa-d77b-42b3-8ee4-85db05fb4574.jpg)
Surabaya, – Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terungkap fakta bahwa partisipasi pemilih dalam Pilkada tahun 2024 menunjukkan tren penurunan yang signifikan yakni di bawah 70% dibandingkan misalnya pada pelaksanaan Pilkada sebelumnya yang berada di angka 76,09%.
Merespon hal tersebut, pengamat politik Irfa’i Afham mengatakan bahwa fenomena ini mencerminkan skeptisisme masyarakat terhadap proses politik.Menurutnya, banyak masyarakat menilai bahwa politik tidak berdampak pada kehidupan mereka sehari-hari.
“Voting tidak dianggap prioritas, bahkan ketika pemerintah menetapkan hari libur Pilkada,” ujarnya, Kamis (5/12/2024).
Irfa’i Afham memaparkan bahwa sejumlah masalah daerah yang tidak kunjung selesai, seperti kemiskinan, ketimpangan pembangunan, hingga maraknya kejahatan sosial, turut menyumbang rasa frustrasi publik. Praktik politik transaksional dan ketidaknetralan aparat juga semakin memperburuk kepercayaan publik.
“Publik semakin rasional, tapi kurangnya pendidikan politik mengarah pada rendahnya partisipasi pemilih,” imbuhnya.
Irfa’i Afham mengatakan bahwa fenomena penurunan partisipasi ini tidak hanya berdampak pada legitimasi pemimpin terpilih, tetapi juga pada kualitas demokrasi secara keseluruhan. Ia menegaskan bahwa jika masalah ini tidak segera teratasi maka siklus apatisme politik akan terus berlanjut dan memperlemah demokrasi, terutama di tingkat daerah.
“Rendahnya partisipasi membuat legitimasi pemimpin dipertanyakan. Ketika praktik politik transaksional dinormalisasi karena alasan biaya politik yang tinggi, hal ini menurunkan kualitas demokrasi kita,” tukasnya.
Karena itu, ia menekankan pentingnya perbaikan demokrasi di internal partai politik. Irfa’i Afham mengatakan bahwa partai politik perlu memprioritaskan kaderisasi kepemimpinan yang demokratis, bukan hanya memilih kandidat yang memiliki modal besar.
“Penting pula memastikan netralitas aparat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu. Selain itu, generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, harus kita ajak terlibat aktif dalam isu-isu politik yang berdampak langsung pada kehidupan mereka,” katanya.
Namun, menurutnya fenomena serupa juga terjadi di negara-negara demokrasi maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Di negara-negara itu, lanjutnya, masyarakat yang rasional cenderung tidak memilih jika menilai bahwa voting tidak membawa manfaat. Namun, hal itu tidak berarti mereka tidak peduli terhadap politik.
“Dari pengalaman negara-negara lain, kita perlu meningkatkan kualitas pemilu. Netralitas aparat, khususnya kepolisian, harus dijaga agar kepercayaan publik tidak runtuh. Hal ini harus dilakukan secara konsisten di semua tingkatan, dari pusat hingga akar rumput. Hanya dengan langkah-langkah ini, kita dapat memperkuat demokrasi Indonesia,” pungkas dosen FISIP Universitas Airlangga itu.
(pkip/rafel/tommy)