Surabaya, – Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menghapus sistem kelas dalam BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Jika sebelumnya, BPJS Kesehatan terbagi ke dalam tiga kategori kelas, yaitu kelas 1, 2, dan 3 yang menentukan besaran pembayaran iuran setiap bulan oleh peserta. Pembagian kelas tersebut menentukan kelas rawat inap yang akan diterima pasien.
Dampak dari penghapusan tersebut, tentunya tidak ada lagi kelas peserta BPJS dan maupun kamar rawat inapnya, namun pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan menggantinya dengan menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Menurut Kebijakan Kesehatan Dr. Erna, drg., MKes., kebijakan tersebut sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Dalam keputusan yang ada, lanjut Erna, Presiden Jokowi memerintahkan setiap rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS untuk memberlakukan sistem KRIS paling lambat pada 30 Juni 2025. Terkait hal tersebut, Erna mengungkapkan akan ada perubahan signifikan yang harus dijalani selama masa transisi tersebut.
“Sisi baiknya adalah tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin dalam mengakses rawat inap. Namun, kondisi rumah sakit yang saat ini masih dengan perbedaan kelas, maka perlu biaya yang mungkin relatif besar untuk menyesuaikan ruangan dan fasilitas lainnya dengan ketentuan peraturan baru,” papar Erna pada media ini, Senin (27/5/2024).
Namun, Erna juga mengingatkan bahwa muncul kekhawatiran di masyarakat terkait akan turunnya jumlah tempat tidur rumah sakit. Sehingga, akan memengaruhi pemenuhan kebutuhan rawat inap. Selain itu, sambungnya, permasalahan kemungkinan iuran yang naik juga menimbulkan gejolak di masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul, Erna menuturkan bahwa pemerintah memiliki peran penting untuk mengatasi dan menanggulangi gejolak yang terjadi di masyarakat. Pemerintah, kata Erna, harus siap mengantisipasi terjadinya gejolak di masyarakat yang utamanya akibat penyesuaian iuran.
“Pemerintah harus benar-benar menyiapkan kajian yang baik untuk penyesuaian iuran BPJS, kajian yang transparan dan dipahami dengan baik oleh masyarakat. Terpenting lagi adalah pemerintah harus menyegerakan menyelesaikan masalah distribusi tenaga kesehatan yang hingga kini belum merata di seluruh Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Erna, banyaknya fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan yang terbuka saat ini tidak menjamin lulusannya mau ditugaskan di daerah, sehingga pemerintah juga perlu memikirkan hal itu.
“Karena itu, perbaikan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan perlu juga diikuti dengan akan dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten yang merata dan hal ini juga perlu diantisipasi saat penerapan KRIS di masa mendatang,” pungkas wanita yang juga merupakan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga itu.
(khefti/rafel)