
Salah satu faktor penyebab kegagalan sebuah bangsa untuk membangun diri menjadi negara maju adalah birokrasi yang inkompeten dan korup. Korupsi akan menyebabkan anggaran pembangunan menjadi berkurang dan salah sasaran, menurunkan daya tarik investasi dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah. Korupsi juga akan menyebabkan inkompetensi birokrasi karena meritokrasi tidak berkembang dalam budaya birokrasi sebagai pelayan publik. Dampak korupsi bersifat luas sehingga disebut extra ordinary crime. Korupsi pada aparat penegak hukum akan menyebabkan hukum menjadi tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah. Ketidakadilan marak, mutual trust di antara anggota masyarakat menurun sehingga masyarakat menjadi rentan dan rapuh. Ini memudahkan upaya untuk memecah belah dan mengadu domba.
Pemberantasan korupsi adalah salah satu agenda reformasi selain demokratisasi dan desentralisasi. Namun sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002, partai politik menjadi lembaga yang sangat berkuasa karena memperoleh hak untuk memonopoli politik. Rekrutmen pejabat-pejabat publik melalui pemilu terbukti makin mahal, tapi tidak meningkatkan layanan publik secara bermakna. UUD 2002 yang liberal kapitalistik menyebabkan layanan pendidikan dan kesehatan menjadi makin tidak terjangkau pada saat uang makin berbicara di jagad politik. Salah satu sumber motif korupsi adalah biaya politik yang makin mahal. Para pejabat publik berusaha keras mencari peluang untuk mengambil manfaat dari APBN dan APBD melalui berbagai cara yang tidak terpuji, terutama melalui gratifikasi untuk kepentingan pribadi, keluarga ataupun kelompoknya.
UUD 2002 memang mengamanahkan pembentukan KPK sebagai lembaga ad hoc untuk segera memberantas korupsi. Terbukti, sudah 20 tahun lebih sejak UU KPK diterbitkan, korupsi masih gagal diberantas. Salah satu sebabnya adalah KPK justru dilemahkan oleh DPR melalui revisi atas UU KPK. DPR tidak menginginkan KPK yang kuat dan efektif untuk memberantas korupsi. Sebagai lembaga ad hoc, mestinya KPK harus menyusun peta jalan pemberantasan korupsi yang jelas dan tegas sehingga dalam waktu tertentu (misalnya 10 tahun) bisa membubarkan diri. Pada saat itu, korupsi sebagai gejala sistem sudah dapat diatasi secara terstruktur dan sistemik.
Hambatan sistemik agenda pemberantasan korupsi justru melekat pada UUD 2002 yang memberi partai politik hak untuk memonopoli politik secara radikal, Pilpres dan Pilkada secara langsung. Benar yang dikatakan oleh Noam Chomsky bahwa organisasi yang paling berbahaya di dunia ini bukan ISIS atau Al-Qaeda, apalagi HTI, FPI atau JI, tapi partai politik. Di Amerika Serikat, partai itu adalah partai Republik dan Partai Demokrat. Di Indonesia di era Soekarno, partai itu adalah PKI. Di era Soeharto, partai itu adalah Golkar. Selama 10 tahun terakhir, partai itu adalah PDIP. Hanya Gerindra yang memiliki platform politik kembali ke UUD 1945.
Hanya parpol yang bisa mengajukan paslon capres dan cawapres. Praktis juga hanya parpol yang bisa mengajukan paslon dalam Pilkada. Calon independen dipersulit oleh UU politik yang berlaku saat ini. Pilpres dan Pilkada langsung terbukti makin mahal bagi KPU juga bagi peserta Pemilu. Akibatnya, peran para taipan dan cukong menguat sebagai bandar politik yang menyediakan logistik bagi para kontestan Pemilu. Akibatnya, seperti sinyalemen Opu Mulyadi dari FISIP UI, jagad politik diisi oleh para bandit, badut dan bandar politik yang juga sering berperan sebagai gendham, glembuk dan copet politik.
Maklumat Yogyakarta, Konvensi Konstitusi Yogya Kembali, dan Konvensi Konstitusi Surabaya baru-baru ini, yang diikuti oleh para tokoh masyarakat, purnawirawan, dan akademisi sudah menyerukan agar kita kembali ke UUD 1945 naskah asli untuk mengembalikan kedaulatan kembali ke tangan rakyat; merebutnya dari tangan elite partai politik dan oligarki yang membiayai logistik mereka. Polity as public goods tidak boleh lagi dimonopoli oleh lembaga swasta seperti partai politik. Kedaulatan rakyat harus dikembalikan ke wakil-wakil rakyat di MPR yang akan memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden melalui musyawarah bil hikmah, bukan melalui asal coblos massal oleh 160 juta pemilih untuk sekedar memilih presiden petugas partai dan boneka oligarki.
Dengan menurunkan biaya rekrutmen pejabat-pejabat publik, insentif laten korupsi bisa diturunkan secara drastis. Rekrutmen pejabat publik dan aparat birokrasi baik sipil maupun militer akan makin meritokratik sekaligus dijauhkan dari KKN. Kinerja kepolisian dan aparat hukum dan penegakan hukum akan berangsur-angsur membaik. Tidak seperti saat sekolah makin banyak, pendidikan justru makin langka, kita juga tidak berharap, saat aparat hukum dan penegakan hukum makin banyak, keadilan justru makin sulit ditemui. Kita tidak ingin melihat KPK makin besar dan masa kerjanya makin panjang karena itu berarti korupsi masih subur merampok kesejahteraan masyarakat dan masa depan generasi yang akan datang.
Surabaya, 1 November 2024
DANIEL MOHAMMAD ROSYID
Guru Besar dan Direktur Rosyid College of Arts



