Monday, April 29, 2024
HomeGagasanMenyoal Kampanye Presiden, Wakil Presiden, dan Pejabat Negara

Menyoal Kampanye Presiden, Wakil Presiden, dan Pejabat Negara

(foto: suara.com)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Nomor 7/2017) mendefinisikan kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu (pasal 1 angka 35 UU Nomor 7/2017). Dalam definisi tersebut terdapat frasa “ditunjuk oleh peserta pemilu”. Undang-undang tidak mengatur penerapan frasa tersebut dalam pasal tertentu, namun dipahami bahwa makna frasa tersebut adalah didaftarkan ke KPU sebagai anggota tim kampanye (pasal 299 ayat (3) huruf b UU Nomor 7/2017) maupun pelaksana kampanye (pasal 299 ayat (3) huruf c UU Nomor 7/2017). Hal tersebut masih sangat sumir dan tidak memberikan pemaknaan secara jelas karena pasal 299 ayat (3) tersebut berkaitan dengan pejabat negara lainnya yang bukan berstatus anggota partai politik. Sehingga akhirnya menimbulkan multi-interpretasi.

Pasal 299 ayat (1) UU Nomor 7/2017 menyatakan bahwa Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Dalam penjelasan undang-undang tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut, mengenai hak kampanye presiden dan wakil presiden tersebut. Undang-undang mengatur presiden dan wakil presiden yang melaksanakan kampanye wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara (pasal 300 UU Nomor 7/2017) dan dilarang menggunakan fasilitas negara (pasal 304 ayat (1) UU Nomor 7/2017).

Lantas, apa saja yang dikategorikan fasilitas negara dijelaskan dalam pasal 304 ayat (2) UU Nomor 7/2017 berupa: sarana mobilitas, gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan, sarana perkantoran, dan “fasilitas lainnya yang dibiayai APBN atau APBD”. Kalimat yang saya beri tanda petik maknanya luas dan sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan undang-undang. Sehingga memunculkan pertanyaan: apakah bantuan sosial yang diberikan langsung termasuk kategori fasilitas lainnya yang dibiayai APBN atau APBD? Kebetulan hal itu sedang mengemuka akhir-akhir ini sebagai perbincangan publik. Demikian juga aksi menunjukkan dukungan kepada salah satu paslon oleh presiden/wakil presiden di saat melaksanakan tugas negara, misalkan dengan menunjukkan simbol jari, pernyataan tertentu, dan memasang alat peraga kampanye paslon tertentu, apakah hal-hal tersebut dapat dikategorikan melakukan kampanye dengan fasilitas APBN/APBD?

Bagaimana dengan pejabat negara selain presiden/wakil presiden? Pejabat negara selain presiden/wakil presiden dikelompokkan menjadi dua klaster, yaitu: 1) pejabat negara yang berstatus sebagai anggota partai politik, dan 2) pejabat negara yang bukan berstatus sebagai anggota partai politik. Untuk klaster pertama, undang-undang tidak mengatur syarat tambahan. Namun, untuk klaster kedua, undang-undang mengatur syarat tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 299 ayat (3), bahwa Pejabat negara yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan kampanye apabila yang bersangkutan sebagai: a) calon presiden atau calon wakil presiden, b) anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU, atau c) pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU. Perlu juga diketahui bahwa UU Nomor 7/2017 mengkategorikan gubernur, bupati, dan walikota sebagai pejabat negara, mengacu pada pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Perbincangan publik mengemuka mengenai adanya “oknum” pejabat negara (seperti Menteri dan kepala daerah) yang menyatakan dukungan dan melakukan kampanye, bahkan di saat menjalankan tugas yang tentunya ia menggunakan fasilitas yang dibiayai oleh APBN/APBD, sedangkan ia tidak menjadi anggota partai politik atau menjadi bagian dari anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang didaftarkan ke KPU, lantas apa sanksinya? Demikian juga apa sanksi bagi presiden/wakil presiden dan pejabat negara yang menggunakan fasilitas negara/daerah dan melanggar ketentuan cuti untuk kampanye? Sayangnya undang-undang tidak mengatur sanksi untuk hal tersebut.

Undang-undang hanya memberikan ketentuan sanksi pidana pemilu hanya berkaitan dengan keikutsertaan dalam tim kampanye, pelaksana kampanye, dan/atau kampanye bagi pejabat tertentu yang ditentukan dalam pasal 280 ayat (2) UU Nomor 7/2017, meliputi: a) Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua Badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi; b) Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, c) gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia; d) Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; e) pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural; f) aparatur sipil negara; g) anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; h) kepala desa; i) perangkat desa; j) anggota badan permusyawaratan desa; dan k) Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Fenomena dukungan yang dinyatakan ke publik yang dapat dimaknai sebagai keikutsertaan pada kampanye oleh “oknum” kepala desa dan perangkat desa, “oknum” ASN, pejabat BUMN/BUMD, dan pejabat lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 280 UU Nomor 7/2017 adalah jelas nyata-nyata pelanggaran pidana pemilu.

Undang-undang tidak mengatur sanksi bagi presiden/wakil presiden dan pejabat negara yang tidak mematuhi ketentuan kampanye, kecuali yang diatur dalam pasal 280 UU Nomor 7/2017, maka sanksi etika dan sosial adalah harapan terakhir. Kepala negara harus menegakkan etika, salah satunya adalah menjunjung tinggi sportivitas agar hal itu dicontoh oleh seluruh komponen bangsa. Pedomanilah TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Khusus untuk ASN, TNI, dan Polri telah diatur ketentuan disiplin tersendiri dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang merupakan penerapan kode etik. Namun, untuk pejabat lainnya, seperti pejabat Lembaga yudikatif, Lembaga negara lainnya, Lembaga nonstruktural, BUMN/BUMD, dan lainnya menjadi wilayah pimpinan tertingginya. Pada akhirnya pimpinan tertinggi negara ini adalah Presiden yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan menurut undang-undang dasar. Kami berharap Presiden menjunjung etika di atas hukum, dengan dimulai dengan memberikan contoh yang baik menurut etika dan moral. Semoga pemilu damai.

 

WERDHA CANDRATRILAKSITA

Pemerhati Kebijakan Publik

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular