Monday, May 6, 2024

Notice: Array to string conversion in /home/cakrawarta/public_html/wp-includes/shortcodes.php on line 433
HomeMengenal Lebih Jauh Museum Militer Brawijaya Di Malang
Array

Mengenal Lebih Jauh Museum Militer Brawijaya Di Malang

Halaman depan Museum Brawijaya Malang. (foto: zora nugraha/cakrawarta)

MALANG – Hari masih pagi saat rombongan mahasiswa Universitas Tribuana Tunggadewi, Malang mendengarkan dengan penuh perhatian penjelasan yang disampaikan Pembantu Letnan Satu (Peltu) M. Sukni yang merupakan pemandu Museum Brawijaya. Ada sekitar 20 mahasiswa, didampingi oleh beberapa dosen menyusuri museum.

Saat itu, kepada para mahasiswa  Peltu M. Sukni menjelaskan perjuangan panjang Indonesia merebut Irian Barat (kini Papua) baik melalui jalur diplomasi maupun jalur perang. Diplomasi dilakukan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB),  yang hasilnya kemudian dilanggar Belanda. Lalu pemerintah  Indonesia berusaha membawa soal itu sebagai  salah satu pembahasan di Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung.

Puncaknya, Indonesia membawanya ke Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemerintah Indonesia juga melakukan agresi militer berupa Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) dan Operasi Mandala di Papua sebagai bentuk perlawanan pada Belanda pada akhir tahun 1961, termasuk pasukan dari Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya. Peltu Sukni menunjukkan beberapa koleksi museum dari peristiwa Trikora, berupa seragam tentara Indonesia dan senjata yang dirampas dari Belanda.

Peltu Sukni juga menjelaskan soal operasi Seroja di Timor Timur, berikut koleksi dan narasinya. Dia juga berkisah dengan fasih soal gerbong maut Bondowoso yang membawa 100 pejuang dari Bondowoso ke penjara Bubutan Surabaya, atas perintah Belanda pada tahun 1947. Mereka dibawa dalam tiga gerbong barang, tanpa ventilasi sehingga sesampai di Surabaya ada sekitar 46 orang tewas secara tragis. Kondisi dan hasil wawancara dengan saksi hidup perjuangan itu, diceritakan dengan detail oleh Sukni.

Peltu M Sukni, pemandu wisata Museum Brawijaya, saat menjelakasn mengenai museum di depan mahasiswa Universitas Tribuana Tungga Dewi, Malang. (foto: zora nugraha/cakrawarta)

Pagi itu juga, di halaman depan museum, berlangsung atraksi treatrikal perjuangan rakyat dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) melawan penjajah, ditampilkan oleh murid-murid SDN 1 Gadang Malang Jawa Timur dalam rangka memperingati 5 Oktober. Dengan riang gembira, bocah-bocah umur 6-10 tahun itu menampilkan  treatrikal itu kepada para pengunjung Car Free Day (CFD). Penonton meluber sampai halaman museum. Pengunjung juga mengalir tak henti datang ke museum.

Cair, akrab dan tidak berjarak dengan pengunjungnya; itulah yang berhasil ditampilkan oleh museum militer milik Kodam V Brawijaya ini.  Padahal, sekitar 1.642 koleksi perjuangan dan berbau militer. Sedangkan 270 koleksi non perjuangan berupa keris sumbangan Mayjen TNI (Purn.) Imam Sutomo juga terkesan serius.

Setidaknya ada lima ruang di museum ini yaitu ruang halaman depan, ruang lobby,  ruang satu, ruang dua serta ruang halaman tengah.

Seorang pengunjung memegang koleksi mortir di Museum Brawijaya, Malang. (foto: zora nugraha/cakrawarta)

Ruang halaman depan dinamai Agne Yastra Loka artinya taman senjata. Koleksinya diperoleh pada tahun 1945, terdiri dari meriam si Buang yang berhasil dirampas dari Belanda pada serangan 10 Desember 1945 dan tank amphibi, rampasan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Selain si Buang, di taman itu ada tank buatan Jepang,  juga senjata penangkis serangan udara yang merupakan rampasan arek-arek Suroboyo dari tentara Jepang.

Ruang lobby terdiri dari foto Pangdam V Brawijaya sejak tahun 1945 sampai sekarang, serta lambang seluruh Kodam. Juga terdapat dua relief. Pertama adalah relief yang menggambarkan misi yang pernah dijalani pasukan Kodam Brawijaya, dan kedua adalah relief wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit. Ada juga sedan yang pernah dikendarai oleh Panglima Divisi I/Jawa Timur yaitu Kolonel Sungkono.

Ruang satu yang berada di sayap kiri, berisi koleksi sejak tahun 1945-1949 berupa surat kabar masa kemerdekaan, alat radio yang dipakai oleh perhubungan Kodam Brawijaya. Juga beberapa pucuk senjata laras panjang dan pendek yang merupakan senjata rampasan maupun yang dipakai pasukan Kodam Brawijaya.

Sedangkan ruang dua berisi koleksi sejak tahun 1950 sampai sekarang. Ruang itu berisi narasi dan senjata rampasan dan milik pasukan Indonesia saat operasi Trikora sampai operasi Seroja di Timor Timur. Juga ada narasi dan foto serta senjata saat operasi Trisula tahun 1968 yaitu penumpasan sisa-sisa  PKI di daerah Blitar Selatan. Terdapat juga koleksi piala-piala dan alat musik dari Korps Musik Kodam Brawijaya.

“Sebagian besar koleksi kami peroleh dari Paldam (Peralatan Kodam). Namun ada beberapa dari sumbangan pribadi seperti seragam dan sepatu dari Bapak Soeparyadi yang merupakan veteran saat operasi Seroja di Timor Timur,” kata Sukni yang merupakan anggota Bintajarah Kodam V Brawijaya dan menjadi pemandu museum sejak tahun 2017. Menurutnya, gerbong maut berada di halaman tengah museum ini, merupakan gerbong asli pengangkut para pejuang dari Bondowoso.

Museum Brawijaya ini digagas oleh Panglima Komando Daerah (Pangdam) V Brawijaya, Brigjen TNI Purn Soerachman pada tahun 1962.  Arsiteknya bernama Kapten CZi Ir. Soemadi. Dibangun di atas tanah hibah dari Pemkot Malang dan telah bersertifikat. Pembangunan dilakukan pada tahun 1967 sampai tahun 1968, dan diresmikan oleh Kolonel Suwondo dengan motto Citra Utha Pana Cakra yang berarti sinar pembangkit semangat.

Museum ini terus berbenah. Saat kunjungan kerja Pangdam V Brawijaya, Mayjen TNI Farid Makruf, M.A., pada 5 Januari 2023 lalu, museum ini mulai melakukan digitalisasi museum dengan dukungan handphone dan aplikasi media Museum Brawijaya. Juga dukungan TV Smart sebagai sebagai Audio Visual Museum Brawijaya, media sosial resmi museum @museum_brawijaya serta pembaruan sarana dan prasarana museum.

Pangdam V/Brawijaya, Mayjen TNI Farid Makruf, MA saat mengunjungi Museum Brawijaya Malang, Kamis (5/1/2023) lalu. (foto: cakrawarta)

“Alhamdullilah jika masyarakat termasuk generasi muda antusias datang ke Museum Brawijaya untuk menambah wawasan kebangsaan dan belajar sejarah,” kata Mayjen Farid Makruf.

Semangat mengajak generasi muda untuk belajar sejarah memang menjadi salah satu harapan museum ini. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, TRIP atau juga disebut Brigade 17 TNI sangat berperan terutama di Surabaya dan Malang. Di Malang ada pertempuran di Jalan Salak pada 31 Juli 1947 dimana TRIP berjuang habis-habisan melawan Belanda. Peristiwa ini diperingati sebagai hari bersejarah dan penting bagi masyarakat Malang. Peristiwa ini sering diperingati dalam bentuk treatrikal.

Kepala Pelaksana Sejarah Bintaljarah Kodam V Brawijaya, Letkol Kav Tutur Suwantoro, SPd, M.I.P sebagai penganggung jawab Museum Brawijaya mengatakan, pihaknya terus menerus berupaya mendekatkan diri pada masyarakat melalui beberapa program. “Kami memberi masukan kepada pemerintah daerah agar peristiwa Jalan Salak menjadi salah satu mata ajar sejarah muatan lokal yang bisa dimasukkan pada kurikulum merdeka untuk sekolah-sekolah di Malang,” katanya. Usulan itu sedang digodok instansi terkait.

Museum Brawijaya dan Paguyupan TRIP juga kerap melakukan sarasehan bersama ratusan  pelajar SMA dan SMP beserta guru mereka.  Museum juga mendapat artefak dari TRIP. Dalam penyajiannya, tampilan artefak ini didigitalisasi dalam bentuk vintek. Menurut rencana, vintek akan dipasang di SMK 5 Malang.

(Zora Nugraha)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular