Friday, April 26, 2024
HomeGagasanMenelaah Sejarah Supersemar

Menelaah Sejarah Supersemar

 

Surat Perintah Sebelas Maret (Superdemar) 1966 di diskusikan hari Selasa, 10 Maret 2020 di Ruang Rapat Kemahasiswaan, Universitas Pancasila. Kali ini Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila yang dipimpin Dr. Hendra Nurtjahjo, SH, M.Hum, membuka diskusi yang dihadiri beberapa staf pengajar dan mahasiswa di lingkungan Universitas Pancasila.

Diacara memperingati 54 Tahun Supersemar itu (11 Maret 1966-11 Maret 2020), saya menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, sedangkan sebagai pembanding Prof. Astim Riyanto.

Saya memulai diskusi dengan mengutip pernyataan Dr. Asvi Warman Adam kepada saya, bahwa ia dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melaksanakan rapat dan sepakat bahwa beberapa arsip, termasuk Daftar Pencarian Arsip (DPA) Supersemar yang asli segera direalisir.

Untuk itu, ujar Asvi, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) harus merealisukan pencairan Dana Multiyers tersebut. Kalau tidak, ujar Asvi, dana untuk penelitian tersebut bisa hangus.

Inti pokok dari dana penelitian itu, adalah sebuah usaha untuk tetap mencari Supersemar yang asli. Hal ini sudah tentu bertolak belakang dengan pernyataan Sejarawan Anhar Gonggong, bahwa masalah Supersemar itu dianggap selesai, karena pelaku sejarahnya Soeharto dan ketiga jenderal (Basoeki Rachmat, M. Jusuf dan Amirmachmud), juga Abdul Kadir Besar, sudah meninggal dunia.

Pernyataan Anhar Gonggong ini bisa dianggap benar, karena para pelaku sejarah Supersemar telah tiada. Tetapi dengan keinginan Arsip Nasional RI untuk menyiapkan Dana Multiyers untuk penelitian, sudah tentu termasuk pencarian Supersemar yang asli, masih tetap penting. Hanya pertanyaannya ke mana harus berburu Supersemar asli itu?

Akhirnya dengan berbagai keraguan tentang di mana Supersemar yang asli, maka muncul beberapa pendapat tentang di mana Supersemar asli tersebut.

Pertama, pendapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di “Media Indonesia,” (Sabtu, 11 Maret 1966 halaman 12) bahwa naskah asli Supersemar yang tidak tahu keberadaannya …saat ini berada di tangan mantan Presiden Soeharto.

Kedua, pendapat Sejarawan Asvi Warman Adam, bahwa naskah asli Supersemar tersebut boleh jadi berada di Jalan Cendana.

Pertanyaan selanjutnya, setelah 54 tahun Supersemar, apakah naskah asli Supersemar itu masih ada di Jalan Cendana? Boleh jadi ada, tetapi tidak mungkin dikeluarkan, karena memunculkan masalah baru.

Supersemar dikeluarkan Presiden Soekarno, karena sebelumnya telah terjadi apa yang dinamakan Gerakan 30 September 1965, Gestapu, atau juga disebut Gestok. Gestok adalah istilah dari Bung Karno, karena terjadi tanggal 30 September 1965, tetapi melewati pukul 12.00 malam. Bagaimana pun istilah yang sering dipakai adalah Gerakan 30 September 1965.

Gerakan ini adalah gerakan penculikan oleh anggota PKI terhadap tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain. Mereka dibunuh dalam suatu usaha kudeta.

Oleh sebab itu, pembubaran PKI yang dilakukan Soeharto juga berdasarkan alasan-alasan ini.

Faktor lain lahirnya Supersemar dikarenakan pertikaian berlarut-larut antara Presiden Soekarno dan Letnan Jenderal TNI Soeharto yang telah terjadi sejak dikeluarkannya Supersemar 1966.

Saya mengutip di halaman 167, buku ” Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya,” oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H, bahwa Soeharto pernah mengungkapkan:

“Beliau (Presiden Soekarno) mempunyai satu pendirian, saya punya pendirian lain. Tetapi, saya tidak menentang begitu saja. Saya sebagai bawahan, sebenarnya harus taat. Apa yang diperintahkannya seharusnya saya patuhi. Tetapi saya sebagai pejuang tidak mungkin patuh begitu saja.”

Sebaliknya Presiden Soekarno sejak awal telah menganggap Soeharto sebagai perwira yang “begudul” (kepala batu). Hal tersebut diungkapkan beliau pada pidato 20 November 1965 di depan empat panglima angkatan di Istana Bogor. Bung Karno mengatakan:

“Begudul. Itu apa? Hei, Bung, apa itu begudul? Ya, Kepala Batu…Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio, Bukan Leimana, Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto…berbeda dari yang lain, nama Soeharto disebut dua kali secara berturut.

Saya berpendapat pengulangan nama dengan kata “bukan” Soeharto, sudah tentu kalimat berlawanan dengan apa yang terjadi sebenarnya. Arti sebenarnya memang benar Soeharto yang “begudul.”

Oleh karena itu, pertentangan antara Soekarno dan Soeharto telah lama terjadi. Apalagi, Soekarno itu bukan anggota Partai Politik. Ia mengatakan netral, memang begitulah yang terjadi. Sehingga, yang bisa dilakukan Soekarno berdiri di tengah-tengah dan memainkan kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah masuk ke dalam susunan kabinet dan satu lagi memainkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sewaktu Supersemar terjadi dan PKI dibubarkan, inilah saatnya Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat melihat Soekarno sudah di bawah cengkeraman partai komunis, apalagi Soekarno jelas-jelas mendukung keberadaan PKI. Hal ini terlihat dari dibentuknya Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang dan kalau diperhatikan, maka ini adalah Poros Jakarta dengan negara-negara komunis.

Juga dipertegas dengan pidato Presiden Soekarno pada tahun 1957. Ia mengatakan :

“Yah. Saya tahu saudara-saudara misalnya terhadap PKI ada beberapa saudara-saudara atau pihak yang keberatan dia duduk dalam kabinet. Saya bertanya dengan setenang-tenangnya, saudara, apakah kita dapat terus menerus mengabaikan satu golongan yang di dalam Pemilu mempunyai suara enam juta manusia ? Sungguh, saudara-saudara, saya tidak memihak. Saya sekedar menghendaki adanya perdamaian nasional. Saya sekedar ingin mengadakan cara pemerintah gotong royong dengan tidak memihak sesuatu pihak.”

Sangat jelas di tahun 1957, Presiden Soekarno ingin mempertahankan keberadaan PKI. Oleh karena itu, lahirnya Orde Baru merupakan kemenangan kelompok militer melawan PKI. Waktu itu mulailah Indonesia berada di bawah kekuasaan militer, mulai dari pemerintah pusat hingga ke daerah, mayoritas jabatan dikendalikan oleh militer. PKI betul-betul tersingkir dari penerintahan, yang kemudian dibubarkan.

Di samping itu, penyingkiran dan pemberangusan naskah-naskah, juga dilakukan Soeharto, ujar istri Nasution, Yohana Sunarti:

“Abdul Kadir Besar, sejumlah pengurus Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan pengelola Percetakan Siliwangi malah semuanya diinterogasi. Tuduhannya seram, ujar ibu Nasution. Yaitu membocorkan rahasia negara. Nasution kemudian dicekal dari tahun 1972 sampai 1993. Sejak itu, penjagaan dan fasilitas ditarik. Bahkan air PAM di rumah dicabut. Setiap hari intelijen mengamati keluarga Pak Nasution. Bahkan semua yang dekat-dekat Nasution akan dibikin susah.

Itulah pernyataan ibu Nasution kepada Majalah “Tempo.” Nasution juga mengatakan kepada istrinya, bahwa ia telah memaafkan Soeharto. Tetapi tidak memaafkan satu orang. Dalam hal ini Nasution tidak akan mengungkapkan.

Kalimat ini persis sama dengan kalimat Bung Karno di atas. Tidak menuduh orang yang keras kepala itu adalah Soeharto. Ternyata yang dimaksud Soehato. Di dalam kalimat Nasution juga persis sama, kalimat awal dimulai telah memaafkan Soeharto. Hanya satu orang yang tidak dimaafkan. Apakah itu juga Soeharto? Semua masih dalam tanda tanya.

Faktanya, hubungan dingin antara Soeharo dan Nasution berakhir setelah Nasution diberi pangkat Jenderal Besar, juga Soeharto sendiri dan Jenderal TNI Soedirman. Ini adalah pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang perwira TNI Angkatan Darat. Pemberian pangkat ini hanya untuk perwira-perwira yang sangat berjasa. Selebihnya, pangkat Jenderal yang biasanya dicapai oleh perwira-perwira tinggi. Pangkat ini ditandai dengan lima bintang emas di pundak.

Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pernah juga ditawari bintang lima itu, tetapi ia menolaknya. Jadi dalam sejarah Indonesia hanya ada tiga orang Jenderal Besar, yaitu Soeharto, Nasution dan Soedirman. Hubungan keduanya bisa kembali baik dengan pemberian bintang tersebut.

Saya juga menegaskan dalam diskusi ini bahwa Soeharto itu adalah seorang pendendam. Hal ini saya contohkan ketika melakukan wawancara penulisan buku “Rais Abin” di rumah atasan Rais Abin, Laksamana Soedomo. Ada tiga orang yang disukai Soeharto. Kalau di dalam sebuah acara, Soeharto selalu menelpon Soedomo untuk mencek, apakah salah seorang dari mereka hadir di acara tersebut. Jika hadir, Soeharto menunda untuk menghadiri acara tersebut. Setelah mereka pulang, Soeharto baru berangkat memenuhi undangan itu.

Perkataan Soedomo bukan isapan jempol semata. Ketika sakit, Soeharto menolak dijenguk oleh orang yang disebutkan Soedomo tersebut.

Terakhir, saya menegaskan bahwa pengaruh Amerika Serikat dalam menumpas PKI sangat besar, hingga sekarang.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis dan Sejarawan Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular