Saturday, December 20, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomMemulai di Madinah: Dari Keagungan ke Kelembutan, dari Gelar ke Teladan

Memulai di Madinah: Dari Keagungan ke Kelembutan, dari Gelar ke Teladan

Masjid Nabawi Madinah, Rabu (2/7/2025) subuh. (foto: Firman Arifin)

Tulisan ini menjadi penanda awal babak baru kami di Madinah, setelah lebih dari sebulan menapaki jejak ibadah di tanah suci Makkah. Seperti halnya hijrah Rasulullah SAW, kepindahan ini bukanlah bentuk lari dari ujian, melainkan langkah pertama dalam membangun peradaban. Di sinilah, kami jamaah Kloter 92, memasuki fase baru. Tak sekadar menunaikan ibadah individu, tapi mulai merenungi hakikat menjadi umat yang membawa rahmat bagi semesta.

Madinah: Lima Waktu, Lima Lapisan Kedamaian

Selasa (1/7/2025) pagi, sekitar pukul 09.00, kami berangkat dari Hotel 1021 di kawasan Misfalah, Makkah. Perjalanan ke Madinah bukan hanya soal berpindah kota, tapi juga berpindah suasana batin. Setelah menjalani rangkaian ibadah yang mengguncang jiwa di Makkah, penuh semangat, haru, dan getaran spiritual, perjalanan ini terasa seperti hembusan angin sejuk bagi jiwa yang mulai tunduk dan bersimpuh.

Sekitar pukul 15.00 kami tiba di Madinah. Seusai istirahat sejenak, kami langsung menunaikan shalat berjamaah di Masjid Nabawi. Sejak shalat Dhuhur pertama hingga Subuh keesokan harinya, termasuk tahajud sebelum fajar di dekat Raudhah, ada nuansa berbeda yang meresap diam-diam ke dalam hati. Setiap sujud terasa lebih ringan, setiap duduk lebih dalam, dan setiap salam membawa ketenangan yang lembut.

Keindahan di Masjid Nabawi tidak semata berasal dari keagungan arsitekturnya atau merdunya lantunan imam, melainkan dari rasa kesatuan dan kebaikan yang merayap pelan ke dalam relung hati. Seperti pelukan langit pada bumi, seperti pertemuan antara doa dan air mata, seperti harapan yang akhirnya menemukan rumahnya.

Nabawi: Cahaya yang Menyusup Tanpa Menggedor

Masjid Nabawi tak mengejutkan seperti Ka’bah. Ia tidak mengguncang, tapi justru menyusup perlahan. Ia tidak menghentak, melainkan mengalir lembut. Dan justru di situlah letak kenikmatan spiritual yang paling dalam. Di dalamnya, kita merasa tak ingin banyak bicara, cukup diam, larut, dan menikmati kehadiran-Nya.

Saya teringat dua perjalanan umrah sebelumnya, di tahun 2013 dan 2017. Setiap kali tiba di Madinah, hati ini selalu diliputi damai. Namun kali ini terasa berbeda. Kali ini, saya datang bukan sekadar sebagai tamu yang singgah, melainkan sebagai hamba yang ingin tinggal, tinggal dalam nilai-nilai Nabawi yang membentuk akhlak dan peradaban.

Dari Pembangkit ke Jaringan Kehidupan

Jika diibaratkan dalam dunia teknik, maka Makkah adalah pusat pembangkit listrik, penuh daya, panas, dan ledakan semangat. Sedangkan Madinah adalah sistem distribusi, tenang, stabil, dan menyala dalam senyap.

Makkah adalah letupan energi ibadah. Madinah adalah kesinambungan amal yang terpelihara. Di Makkah kita diajari untuk taat. Di Madinah kita dilatih untuk istiqamah. Inilah fase di mana ibadah tak lagi hanya kobaran sesaat, tetapi menjadi nyala yang tenang dan abadi.

Dari Gelar ke Peran

Kini, gelar “haji” telah melekat di nama kami. Namun Madinah mengingatkan, bahwa gelar hanyalah awal. Ia adalah pakaian yang bisa dilepas kapan saja, tapi peran adalah jejak yang ditinggalkan dalam hidup. Menjadi umat Nabi bukan berhenti pada rukun yang tertunaikan, tetapi dimulai dari akhlak yang dipraktikkan.

Di kota ini, tempat Rasulullah SAW membangun masyarakat, kami belajar bahwa haji mabrur bukan hanya hasil dari ritual yang sah, tapi buah dari akhlak yang matang dan amal baik yang terus tumbuh.

Madinah sebagai Awal, Bukan Akhir

Madinah bukan ujung perjalanan. Ia justru awal dari misi besar. Di sinilah Rasulullah SAW menanam benih cinta, membangun masyarakat, dan meletakkan fondasi peradaban. Dan di sinilah pula, kami ingin meneguhkan kembali niat kami, untuk pulang dengan jiwa yang lebih ringan, hati yang lebih lapang, dan arah hidup yang lebih jelas.

Semoga lima waktu pertama kami di Madinah menjadi pembuka bagi lima tahun ke depan, dan seterusnya, yang lebih bermakna. Semoga dari kota yang lembut ini, mengalir kembali tekad untuk menjadi hamba yang utuh. Hamba yang mengerti arah, memahami peran, dan sadar untuk siapa ia hidup.

FIRMAN ARIFIN

Dosen PENS dan Jamaah Haji 2025 Kloter 92 Nurul Hayat

RELATED ARTICLES

Pil Hasrat

Kartel, Babat Saja

Ilusi Transparansi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular