Sunday, March 16, 2025
spot_img
HomeGagasanMemaknai #KaburAjaDulu, Sebuah Catatan Kritis

Memaknai #KaburAjaDulu, Sebuah Catatan Kritis

Tiba-tiba #KaburAjaDulu meramaikan jagad media sosial belakangan ini. Kaum milenial dan Gen Z menyuarakan #KaburAjaDulu, sebagai ekspresi atas kekecewaan dan keprihatinan anak-anak muda terhadap kondisi Indonesia, yang dianggapnya justru makin banyak kesenjangan. Antara harapan dan kenyataan semakin “jauh panggang dari api”. Hari-hari ini, masalah Indonesia dianggap makin kompleks, makin memprihatinkan.

Paling sederhananya, anak-anak muda hari ini merasakan semakin tidak mudah mencari kerja, seolah-olah makin tidak punya masa depan yang lebih baik di negerinya sendiri. Belum lagi ditambah “ketidak-beresan” yang melukai hati nurani masyarakat, mulai dari masalah gas elpiji 3kg, pagar laut, korupsi, hingga harga-harga kebutuhan pokok yang kian memberatkan. Apapun alasannya, keadaan Indonesia dianggap tidak makin baik. Indonesia memang tidak sedang baik-baik saja, maka muncullah #KaburAjaDulu. Itulah realitas yang beredar di berbagai platform media sosial.

Anggaran berbagai kementerian dan instansi pemerintah diketatkan dan dipotong. Kabarnya mencapai Rp. 360 triliun. Ramai pula di mana-mana berita pemotongan anggaran, bahkan menyebut gaji pegawai lembaga negara hanya bisa dibayar sampai dengan Oktober 2025. Tapi di sisi lain, Deddy Corbuzier baru saja diangkat sebagai staf khusus Menhan, kan butuh ana juga? Kabinetnya gemuk, ada 48 menteri, 56 wakil menteri, dan 5 Kepala Badan. Belum lagi staf khusus dari kalangan selebriti. Lebih dari itu, pemotongan anggaran pun bisa berdampak signifikan terhadap terjadinya PHK tenaga honorer di instansi pemerintah. Iuran BPJS Kesehatan sebentar lagi naik. Bahkan bukan tidak mungkin, biaya UKT mahasiswa di kampus-kampus “terpaksa” dinaikkan gara-gara pemotongan anggaran.

Pemotongan anggaran, kabarnya, untuk kasih makan anak-anak Indonesia melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tapi di sisi lain, malah menjadikan kondisi ekonomi penuh ketidak-pastian, ekonomi justru stuck. Ekonomi Indonesia dianggap lebih lambat tumbuhnya daripada negara tetangga seperti Singapura, Malaysia atau Vietnam. Masih tingginya angka pengangguran, ancaman PHK, dan sulitnya mencari kerja kini menjadi realitas yang harus dihadapi. Maka beredar ajakan #KaburAjaDulu, mungkin karena apa yang dinarasikan dan realitas yang terjadi seakan tidak nyambung. Anak-anak Indonesia makan bergizi, tapi Gen Z dan milenial kepusingan sampai ingin #KaburAjaDulu.

Kita memang harus mengerti. Apa yang dirasakan anak-anak muda Indonesia hari ini adalah aspirasi sekaligus ekspresi kegelisahan akan bangsanya sendiri. Mencari kerja semakin susah. Sudah bekerja pun merasa kurang dihargai, bahkan gajinya dianggap tidak sebanding dengan biaya hidup yang kian mencekik. Status pekerjaan kian tidak pasti, kapanpun bisa diganti atau diberhentikan sehingga ancaman PHK selalu menghantui. Kelas menengah kian menurun, kini hanya tinggal 17% dari sebelumnya 21%. Pekerja formal yang katanya ada 40% dari total angkatan kerja pun bila ditelisik secara dokumentatif mungkin riil-nya hanya 24%. Selebihnya bekerja di sektor informal, yang lebih bersifat tidak pasti dari segi pendapatan maupun pekerjaannya.

Ilustrasi. (foto: ist)

ILO merekomendasikan apa yang disebut “kerja layak”. Yaitu bekerja yang nyaman, produktif, bermartabat, bebas diskriminasi, ada perlindungan sosial, dan punya gaji yang memadai. Bukan bekerja yang kondisinya tidak nyaman, dihantui ketakutan oleh PHK, atau sehari-hari mengeluh akibat gajinya tidak cukup. Maka #KaburAjaDulu semestinya dipahami sebagai aspirasi kaum Gen Z dan milenial yang menuntut negara untuk menciptakan iklim ekonomi dan dunia kerja yang layak, yang selalu tumbuh dan membangkitkan optimisme. Gen Z dan milenial menyuarakan #KaburAjaDulu sebagai bentuk perlawanan moral untuk mengajak semua pihak berpikir objektif, mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

#KaburAjaDulu, tentu harus dimaknai bukan ajakan secara harfiah untuk “bekerja di luar negeri”. Akan tetapi sebagai metafora atas realitas dan harapan yang semestinya, di samping menjadi pesan moral untuk pemimpin dan negara akan pentingnya memperkecil kesenjangan sosial yang terlihat semakin melebar. Ekonomi global memang sedang melambat, ekonomi bangsa pun tidak sedang baik-baik saja. Namun kebijakan dan program nyata pemerintah pun jangan sampai malah kian menyusahkan masyarakat. Harus ada kesesuaian antara yang dinarasikan dengan apa yang dilakukan. Di saat kondisi tidak baik-baik saja, harus jelas perbedaan antara yang pantas dan yang tidak pantas dilakukan. Intinya, harus nyambung dan pantas.

Kita semua menyadari, tidak ada negara yang tanpa masalah. Tidak ada negara tanpa ketimpangan sosial. Tapi spirit dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hidup Masyarakat harus nyambung antara yang dikatakan dengan yang diperbuat. Dari hati yang paling dalam dan dari pikiran yang jernih, jelas yang dirasakan menjadi “lebih baik”, bukan “tidak lebih baik” atau “biasa-biasa saja”. Ajakan #KaburAjaDulu, harus dimaknai sebagai kontrol sosial anak-anak muda terhadap bangsanya sendiri. Untuk mengajak semua elemen bangsa, termasuk pemerintah melalukan introspeksi diri dan memperbaiki keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

#KaburAjaDulu, tentu bukan ajakan kabur ke luar negeri. Tapi jeda untuk berpikir ulang dan menata kebijakan untuk mendekatkan harapan dan kenyataan, untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih baik ke depannya. Itulah suara konkret tentang cinta terhadap bangsa Indonesia, memberikan pesan moral bukan membiarkan ketidak-beresan yang terjadi. Sejatinya #KaburAjaDulu memberi makna, ayo kita bikin rakyat happy, cari kerja gampang, dan ekonomi stabil. Baru kita bisa sama-sama makan siang bergizi, di mana pun. Salam literasi!

 

SYARIFUDIN YUNUS

Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular