Tulisan ini adalah bagian pertama dari rangkaian refleksi tentang tiga doa utama yang sering disertakan saat meneguk air zamzam: ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas, dan kesehatan dari segala penyakit.
Tiga permintaan ini bukan sekadar lafaz doa. Ia adalah kebutuhan pokok kehidupan manusia. Dan di antara ketiganya, ilmu adalah magnet pertama, penarik awal yang membuka jalan bagi datangnya rezeki dan terjaganya kesehatan.
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.”
(THR. Bukhari dan Muslim)
Surga adalah puncak dari segala rezeki. Dan jalan menuju ke sana dibuka dengan ilmu.
Ilmu adalah magnet pertama dalam hidup. Dari sinilah arah ditentukan, langkah disusun, dan keyakinan dikokohkan. Bahkan rezeki pun sering datang lebih ringan kepada mereka yang membuka pintu dengan ilmu.
Ilmu adalah cahaya. Ia menerangi jalan saat dunia gelap. Ia adalah peta, agar kita tidak tersesat dalam labirin pilihan hidup. Bahkan dalam ibadah haji, ilmu menjadi pembeda antara sekadar hadir secara fisik dan benar-benar hadir secara sadar.
Tanpa ilmu, niat bisa tersesat. Seseorang bisa menempuh ribuan kilometer ke tanah haram, tapi tak tahu untuk siapa ibadah itu dilakukan. Bisa menjalankan rukun dan wajib, tapi lalai dalam adab dan kesadaran yang lebih utama dari sekadar formalitas manasik.
Ilmu dan Hidup Bermakna
Ilmu menjadikan setiap gerak ibadah bermakna.
Ilmu menuntun thawaf agar tertib.
Ilmu mengingatkan adab saat melempar jumrah.
Ilmu menjaga lisan saat panas dan lelah mendera.
Ilmu membisikkan bahwa sabar lebih tinggi nilainya daripada sekadar ingin cepat selesai.
Analoginya seperti teknisi listrik. Sebagus apapun peralatannya, jika tak tahu jalur kabel, mana tegangan tinggi, mana grounding, bisa berbahaya. Tapi dengan ilmu, ia bekerja efektif, efisien, dan selamat.
Atau seperti mediator konflik. Tanpa ilmu komunikasi dan manajemen emosi, ia memperkeruh suasana. Tapi dengan ilmu, ia bisa menjadi penenang, penengah, dan pemersatu. Maka dalam ibadah pun, ilmu menjadikan kita lembut, tidak mudah menyalahkan, dan tahu kapan bicara atau diam.
Menariknya, ilmu bukan hanya membukakan jalan ibadah. Ia juga membuka pintu rezeki.
Karena rezeki tak selalu turun dari langit, ia juga naik lewat usaha dan perencanaan. Dan keduanya membutuhkan ilmu.
Orang yang berilmu tahu menjaga diri agar sehat (maka datang rezeki kesehatan).
Tahu menjaga relasi sosial (datang rezeki pertemanan).
Tahu bersikap dalam musyawarah (datang rezeki kepercayaan).
Bahkan ketika seseorang tidak mengejar rezeki, rezeki sering kali mengejar orang yang berilmu. Ingat magnet, ia akan menarik “rezeki” di sekitarnya. Semakin besar medan magnet, semakin luas area jangkauannya.
Maka, jadikanlah haji ini juga sebagai perjalanan menuntut ilmu. Tak hanya fiqih manasik, tapi juga ilmu kehidupan.
Belajar dari sesama jamaah. Dari kejadian tak terduga, yang lain sakit, ada yang tidak. Dari sabar yang diuji, ada keluarganya yang wafat. Dari ikhlas yang awalnya dipaksa.
Karena dari ilmu, lahir kesadaran.
Dari kesadaran, lahir ketenangan.
Dan dari ketenangan, rezeki mengalir.
Jika sehat adalah kendaraan, maka ilmu adalah GPS-nya. Ia menunjukkan arah agar kita tak hanya sampai, tapi juga selamat.
Ilmu yang bermanfaat bukan yang membuat tinggi hati, tapi yang menundukkan kepala. Yang menjadikan kita semakin dekat kepada Allah dan semakin lembut kepada sesama.
Ilmu adalah magnet pertama. Tanpanya, magnet rezeki hanya akan berputar-putar tanpa arah.
FIRMAN ARIFIN
Dosen PENS, Jamaah Haji 2025 Kloter 92 KBIH Nurul Hayat