
Hiruk pikuk kemeriahan pesta demokrasi di era reformasi terbukti memang memabukkan. Partai-partai politik baru bermunculan, dan kini menjadi instrumen meraih kekuasan yang menggiurkan. Banyak yang tidak menyadari bahwa kehidupan berbamgsa dan bernegara kita sudah tidak lagi dipijakkan secara formal di atas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD ini telah diubah sebanyak 4 kali berturut-turut selama 1999-2002 sejak pemerintahan Gus Dur hingga Megawati. Perubahan itu secara resmi disebut sebagai amandemen, padahal yang sebenarnya terjadi adalah penggantian total UUD 1945 menjadi konstitusi baru yang seharusnya disebut UUD 2002. Ini merupakan kesimpulan Prof. Kaelan Universitas Gajah Mada yang sudah resmi diterbitkan dan kini menjadi domain publik.
Walaupun belakangan disesali oleh M. Amien Rais sendiri sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) waktu itu, perubahan besar atas UUD 1945 diklaim oleh sebagian kaum reformis sebagai puncak kemenangan civil society atas otoriterianisme Orde baru yang didukung tentara. Pemilihan Presiden (Pilpres) langsung dinilai sebagai bukti bahwa Islam bisa cocok dengan demokrasi liberal. Bahkan Indonesia dipuja sebagai negara demokrasi ketiga terbesar setelah Amerika Serikat dan India, tentu digunakan untuk sekaligus mengejek China. Namun sejarah mencatat, parpol Islamis tidak pernah menang dalam Pemilu bahkan sejak Pemilu 1955. Pemilu dengan demikian adalah instrumen untuk meresmikan kekalahan Islam politik di Indonesia.
Perubahan yang paling mendasar adalah bahwa MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat. MPR yang kini terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tidak lagi memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden. MPR hanya menyelenggarakan pelantikannya di mana presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui Pilpres langsung yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan disumpah oleh seorang hakim Mahkamah Agung (MA) di depan sidang paripurna MPR. Jika presiden diduga melakukan penyimpangan, dia bisa dimakzulkan melalui proses yang rumit dan berliku, hampir-hampir seperti memasukkan unta ke lubang jarum.
Kedaulatan rakyat itu dalam praktik melalui Pilpres telah ditransfer bersih ke partai-partai politik sebagai satu-satunya lembaga yang bisa mengajukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Namun banyak Ketua Partai yang seharusnya menjadi kader terbaik untuk nyapres, ternyata cukup puas dengan hanya menjadi makelar politik bagi tokoh lain non-partai. Nasdem dan PKS misalnya mencalonkan capres Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 yang lalu. Dr. Mulyadi FISIP UI melihat gejala ini sebagai kejahatan jika bukan pelanggaran kaidah-kaidah partai politik. Ini bisa disebut sebagai demokrasi mbelgedhes.
Setelah liberalisasi pasar politik, perubahan mendasar lainnya adalah penambahan Pasal 33 UUD 1945 dengan ayat baru yang membuka gagasan kapitalistik dalam kehidupan ekonomi. Jika selama Orde Baru, telah muncul fenomena ersatz capitalism di mana lahir pengusaha yang membesar karena fasilitas negara, maka sejak reformasi, kapitalisme semu itu berkembang pesat menjadi full fledged capitalism di mana demokrasi praktis digusur oleh korporatokrasi. Para elit parpol bersekongkol dengan para taipan super rich leluasa membuat Undang-Undang (UU) sebagai instrumen untuk mengakumulasi kekuasaan dan modal di tangan mereka sendiri.
Politik menjadi barang yang semakin mahal, sehingga mendorong motif-motif korupsi baru yang mestinya diberantas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun bahkan KPK pun diperlemah, sementara RUU Perampasan Aset Koruptor masih tinggal RUU karena tidak pernah diproses oleh DPR. Tujuan reformasi demokratisasi, pemberantasan korupsi, dan desentralisasi, terbukti tinggal pepesan kosong seperti keluhan dan protes Gunawan Muhammad, Romo Frans Magnis, Butet Kartarajasa, Ikrar Nusa Bakti dan Todung Mulya Lubis dan para die hard Jokower lain yang selama 10 tahun terakhir menjadi pemuja Jokowi. Jokowisme adalah anak remaja yang dilahirkan dan dibesarkan oleh UUD 2002.
UUD 1945 telah dirumuskan oleh para tokoh, cendekiawan dan ulama pendiri dan guru bangsa dari berbagai latar belakang sebagai pernyataan perang melawan penjajahan. UUD 1945 adalah halangan terbesar upaya-upaya proyek neokolonisasi atas Republik ini. Bahkan segera setelah proklamasi, kekuatankekuatan nekolimik itu telah berhasil mencegah UUD1945 dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Kekuatan-kekuatan nekolimik itu terus bekerja hingga hari ini, setelah memperoleh kekuatan baru dari penggantian UUD 1945 menjadi UUD 2002.
Tentu Kembali ke UUD 1945 hanyalah syarat perlu. Konvensi Konstitusi ini dimaksudkan untuk memberi public pressure sekaligus public support pada pemerintahan baru pimpinan presiden Prabowo Subianto dan juga Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli. Perubahan bisa dilakukan kemudian dengan teknik addendum untuk mengakomodasi perubahan-perubahan lingkungan stratejik. Setelah itu, kita mesti tindak lanjuti dengan mewujudkan syarat cukupnya yaitu Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang mewujudkan 1) pendidikan yg memerdekakan bagi semua, 2) birokrasi pusat dan daerah yang kompeten dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), 3) pasar terbuka yang adil bebas riba, 4) investasi yang menguatkan kemandirian dan hilirisasi, 5) pasokan energi yang memadai dan berkelanjutan untuk tumbuh 5-7% per tahun selama 10-20 tahun ke depan, dan 6) pemerintahan maritim yang efektif untuk memperluas basis energi dan pangan nasional.
Dengan kedua syarat itu, insyaAllah bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur بلدة طيبة ورب غفور.
Surabaya, 25 Oktober 2024
DANIEL M ROSYID
Guru Besar ITS dan pengurus PTDI Jatim



