Pada kolom opini yang dimuat pada tanggal 12 Januari 2024 pada salah satu koran surat kabar daerah, dengan judul “Pengelolaan Fiskal Pusat Tidak Apple to Apple Diperbandingkan dengan Pengelolaan Fiskal Daerah”, saya berpendapat bahwa pemerintah daerah (Pemda) seharusnya tidak merencanakan anggaran untuk defisit, karena banyaknya batasan alias ketidakleluasaan untuk mencari sumber penerimaan pembiayaan khususnya utang untuk menutup defisit. Selanjutnya, pemda harus melakukan reformasi tata kelola keuangan dengan penerapan nilai dan prinsip good governance pada regulasi pengelolaan keuangan daerahnya dan membangun sistem keuangan yang terdigitalisasi. Tentunya tidak terhenti di situ, perencanaan anggaran khususnya berkaitan dengan target penerimaan yang rasional dan kecepatan dalam melakukan perubahan anggaran manakala terdapat kondisi tidak tercapainya target penerimaan harus menjadi prinsip yang dijalankan. Selanjutnya, Pemda juga harus melakukan perencanaan kas secara baik, untuk menjamin likuiditasnya dalam melakukan pembayaran tagihan secara tepat waktu.
Adanya sejumlah rekanan memprotes pemda karena telat membayar tagihan sejumlah proyek yang telah selesai sesuai kontrak adalah bukti buruknya perencanaan kas pemda yang berdampak pada masalah likuiditas (dibaca kelangkaan kas). Pemda berdalih kelangkaan kas itu terjadi karena kebijakan treasury deposit facility (TDF) dalam rangka penyaluran dana transfer ke daerah (TKD) berupa Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) secara nontunai. Padahal pemda sendiri menikmati kebijakan TDF karena remunerasi (imbal hasil) yang diperoleh dari penempatan DBH/DAU pada Bank Indonesia. DBH/DAU yang ditempatkan di Bank Indonesia memiliki holding period, yaitu suatu masa di mana DBH/DAU nontunai belum dapat disalurkan ke rekening kas umum daerah (RKUD) selama 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal penempatan DBH dan/atau DAU di rekening TDF Bank Indonesia. Kebijakan tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19 Tahun 2023.
Apakah benar bahwa TDF menjadi penyebab kelangkaan kas pemda? Jika kita membaca regulasi yang ada (PMK Nomor 19 Tahun 2023), proporsi DBH/DAU yang disalurkan secara nontunai ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), setelah melakukan penghitungan perkiraan saldo kas untuk menentukan daerah, besaran DBH/DAU yang akan disalurkan secara nontunai melalui TDF, dan batas saldo kas. DJPK dalam melakukan penghitungan perkiraan saldo kas menggunakan data yang disampaikan oleh Pemda pada sistem informasi keuangan daerah (SIKD) yang dikelola oleh DJPK. Dengan demikian, Pemda mempunyai peranan untuk menyajikan data saldo kas yang dijadikan dasar penghitungan perkiraan saldo kas oleh DJPK. Tentunya Pemda harus menyajikan data saldo kas pada SIKD secara jujur, karena DJPK dapat meminta konfirmasi ke perbankan mengenai posisi kas di RKUD.
Lantas, mengapa kas tunai yang tersedia tidak cukup untuk membayar semua tagihan? Hal itu terjadi karena posisi kas tunai yang tersedia dan dilaporkan Pemda pada SIKD terlalu besar, sehingga DJPK menghitung DBH/DAU nontunai pada sisa penyaluran DBH/DAU lebih besar, dengan asumsi menghindari saldo mengendap di RKUD. Pada kenyataannya, besarnya saldo mengendap di RKUD karena lambatnya Pemda dalam membayar tagihan yang telah jatuh tempo bahkan sejak awal tahun anggaran. Sehingga, akar masalahnya adalah belum adanya norma waktu di Pemda kapan harus melakukan pembayaran tagihan yang telah jatuh tempo atau telah ditagihkan oleh pemilik hak tagih.
Pemerintah daerah mesti mencontoh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan C.Q Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dalam membangun norma atau regulasi dan sistem penerimaan dan pengeluaran negara. Dalam mekanisme pelaksanaan anggaran, Kemenkeu C.Q. DJPb mengatur norma waktu berapa lama (hari) suatu kontrak yang telah ditandatangani harus dicatatkan dalam sistem beserta identitas penyedia barang/jasa (vendor list/supplier), norma waktu tagihan harus dibuat setelah berita acara serah terima barang/jasa (BAST) dan/atau berita acara penyelesaian pekerjaan (BAPP) ditandatangani, norma waktu penggantian uang persediaan (petty cash), norma waktu perencanaan penarikan dana harus dibuat setelah menerima tagihan, norma waktu permintaan pembayaran dari pejabat pembuat komitmen harus dibuat setelah menerima tagihan dari penyedia barang/jasa, norma waktu perintah pembayaran harus dibuat setelah menerima permintaan pembayaran, dan hingga proses akhir penerbitan surat perintah pencairan dana dan kas didebet dari rekening pengeluaran bendahara umum negara (RPK BUN), beserta penyelesaian retur juga diatur norma waktunya. Norma waktu tersebut ditegakkan dalam suatu sistem informasi yang andal (SPAN dan SAKTI) dengan database terpusat, realtime, dan tidak dapat direkayasa oleh operator/user aplikasi sekalipun. Demikian juga penerimaan negara dikelola dengan sistem informasi berupa modul penerimaan negara (MPN) yang terhubung dengan ekosistem sistem penerimaan dan pengeluaran negara, dan terhubung dengan tata kelola (manajemen) kas pemerintah, dengan satu pintu masuk dan keluar dalam Treasury Single Account (TSA). Kekurangan kas harian diatasi dengan manajemen kas yang prudent terhubung dengan manajemen investasi pemerintah dan pengelolaan pembiayaan dengan bridging oleh treasury dealing room (TDR).
Membangun sistem informasi yang andal seperti yang digunakan oleh pemerintah pusat memang mahal. Namun, bukan berarti tidak ada alternatif yang lebih murah. Komitmen kepala daerah dan para pimpinan SKPD (OPD) dituntut menjadi prasyarat yang utama terbangunnya budaya, norma, dan sistem yang menerapkan nilai-nilai good governance. Selanjutnya adalah membangun regulasi baik berupa peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah yang mengadopsi manajemen pengelolaan keuangan khususnya pelaksanaan anggaran yang diterapkan oleh pemerintah pusat sebagai benchmark. Sedangkan digitalisasi dapat diadopsi menggunakan opsi lebih murah, misalkan dengan cara mempekerjakan pengembang teknologi informasi lokal.
Oleh karena itu, kebijakan TDF janganlah dijadikan “kambing hitam” oleh Pemda untuk menjawab gagalnya membangun sistem pelaksanaan anggaran termasuk manajemen kas yang andal. Meskipun kebijakan TDF menyisakan perdebatan sengit mengenai potensi dilanggarkan asas dan prinsip otonomi daerah pada tataran teoritis, konseptual, dan konstitusi. Pada kenyataannya kebijakan TDF menggembirakan pemerintah daerah karena remunerasi atau imbal hasil yang diperoleh Pemda. Mari jadikan TDF sebagai cambuk agar Pemda lebih meningkatkan komitmennya membangun tata kelola keuangan yang baik.
WERDHA CANDRATRILAKSITA
Pemerhati Kebijakan Publik