Thursday, March 28, 2024
HomePolitikaKasus Wartawan Jadi Kapolsek Dinilai Jadi Momentum Reformasi Kualitas Dunia Pers

Kasus Wartawan Jadi Kapolsek Dinilai Jadi Momentum Reformasi Kualitas Dunia Pers

Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah, Iptu Umbaran Wibowo

SURABAYA – Iptu Umbaran Wibowo, wartawan TVRI Jawa Tengah yang menjadi Kapolsek Kradenan, Blora, ramai menjadi kontroversi. Kejadian itu memicu respon dari Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI), meski belakangan yang bersangkutan dikabarkan dicopot dari jabatannya. Sebab, tindakan penyamaran yang dilakukan Iptu Umbaran Widodo dinilai menyalahi regulasi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pakar komunikasi politik Suko Widodo menilai kejadian penyamaran Iptu Umbaran sebagai wartawan bisa mempengaruhi kepercayaan pers di mata masyarakat. Pasalnya, seorang wartawan harus bersifat independen dan terbebas dari kepentingan kelompok lain selama bertugas melakukan liputan.

“Jika wartawan terlibat di lembaga lain akan menimbulkan conflict of interest dan mempengaruhi kualitas liputan yang ada. Wartawan sendiri memiliki hak tolak dan hak jawab yang juga bisa disalahkangunakan untuk kepentingan pihak lain yang tentunya mengganggu kode etik jurnalistik,” ujar Suko dalam keterangannya pada media, Kamis (22/12/2022).

Penasehat PWI Jatim ini menggarisbawahi keanggotaan Iptu Umbaran Widodo yang tergabung dalam Dewan Pers dan sudah memiliki sertifikasi wartawan madya. Menurutnya, perlu pengujian secara mendalam terkait penyusupan dan penyamaran oleh pihak kepolisian. Selain itu, perlu ditinjau kembali proses uji kompetensi wartawan yang telah dilakukan. Ada potensi kelalaian dalam proses pengujian yang mengakibatkan lolosnya Iptu Umbaran.

“Memang ada wartawan lepas yang tidak memiliki status keanggotaan di Dewan Pers, PWI, maupun di AJI. Biasanya mereka berasal dari media komunitas yang juga tidak terverifikasi secara resmi di Dewan Pers. Sehingga sangat disayangkan jika seorang anggota pers resmi yang berpengalaman namun pada akhirnya statusnya bisa dicabut karena telah melanggar kode etik sejak awal,” paparnya.

Suko menjelaskan bahwa tidak dapat dipungkiri kontroversi Iptu Umbaran ini dapat mempengaruhi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pers sekaligus berdampak tidak bagus bagi instusi kepolisian. Perlu adanya reformasi oleh dewan pers agar tetap menjaga kode etik jurnalistik yang berlaku.

“Apalagi di era digital, dengan mudah siapa saja dapat memproduksi sebuah berita. Namun wartawan dan jurnalis yang memiliki kewenangan untuk membuat konten jurnalistik sesuai dengan kode etik yang ada. Sehingga jika ditemukan pelanggaran kode etik dari wartawan atau jurnalis, bisa dipertimbangkan untuk mencabut status keanggotaan dari Dewan Pers maupun PWI. Hal ini untuk menjaga nilai pers tetap independen dan mematuhi kode etik jurnalistik yang berlaku,” jelas Suko.

Suko menjelaskan bahwa aat memasuki era jurnalisme digital perlu dilakukan berbagai perbaikan untuk menjaga kualitas pers. Seperti penertiban anggota pers, sosialisasi kepada masyarakat agar bisa melakukan verifikasi keanggotaan pers, dan peningkatan kesejahteraan jurnalis lewat gaji yang memadai dari perusahaan.

“Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas pers yang sudah mulai melakukan transformasi di era digital,” pungkas dosen ilmu komunikasi FISIP Unair tersebut.

(bus/pkip/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular