Saturday, April 20, 2024
HomePendidikanKasus Ponorogo, Pakar: Nikah Muda Bisa Disebabkan Rendahnya Pendidikan!

Kasus Ponorogo, Pakar: Nikah Muda Bisa Disebabkan Rendahnya Pendidikan!

ilustrasi pernikahan. (foto: istimewa)

SURABAYA – Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mencatat pada tahun 2022 terdapat 198 permohonan pengajuan dispensasi kawin usia anak. Pengajuan dispensasi pernikahan tersebut didominasi oleh hamil di luar nikah.

Pakar bidang kependudukan dan kesehatan reproduksi Dr. Lutfi Agus Salim, SKM., M.Si., mengatakan bahwa saat ini angka perkawinan anak di Indonesia masih tergolong tinggi. Laporan badan pusat statistik (BPS) tahun 2020 menyebutkan bahwa 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun, yaitu sebesar 1,2 juta jiwa.

“Jika dilihat berdasarkan angka absolut kejadian perkawinan usia anaknya, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah adalah tiga provinsi yang paling tinggi,” terang Lutfi yang merupakan Ketua Koalisi Kependudukan Provinsi Jawa Timur pada media ini, Senin (16/1/2023).

Lutfi menjelaskan, perkawinan anak terjadi bisa disebabkan oleh empat faktor utama yaitu faktor pendidikan, pemahaman agama yang sempit, ekonomi, dan sosial budaya.

“Kenaikan angka perkawinan anak di Ponorogo bisa saja disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Remaja mencoba melakukan aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya, sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan akhirnya terpaksa terjadi pernikahan anak,” imbuhnya.

Menurut Lutfi, perkawinan anak cenderung berdampak pada pihak perempuan dimana secara umum, dampak yang timbul antara lain dampak pendidikan, ekonomi, psikologi, dan kesehatan. Terlebih jika melihat kasus yang ada di Ponorogo yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan tentu akan berdampak pada segi kesehatan.

“Menikah muda berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak, berisiko kelahiran prematur, anak yang dilahirkan stunting, dan bisa membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian. Perkawinan anak juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan seksual dan gangguan kesehatan reproduksi,” jelas Lutfi.

Menurut Lutfi, diperlukan penegakan UU Nomor 16 tahun 2019 tentang batasan usia minimum pernikahan, yaitu 19 tahun dengan tindakan serius seperti penyediaan akses yang sama ke pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas untuk anak perempuan dan laki-laki terutama dalam membahas edukasi seks sejak dini.

“Pemberdayaan anak perempuan secara komprehensif melalui sumber daya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Termasuk dengan memungkinkan penyediaan informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” tandas Dosen Universitas Airlangga tersebut mengakhiri keterangan.

(mar/pkip/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular