Friday, December 12, 2025
spot_img
HomeEkonomikaJob Hugging, Ketika Pekerja Bertahan Meski Tak Lagi Bahagia di Tempat Kerja

Job Hugging, Ketika Pekerja Bertahan Meski Tak Lagi Bahagia di Tempat Kerja

Ilustrasi. (gambar: tim Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Pernah merasa ingin resign tapi urung karena takut tak dapat pekerjaan baru? Fenomena itu kini punya istilah tersendiri yang dikenal dengan nama job hugging, sebuah kecenderungan seseorang bertahan di tempat kerja meski tak lagi bahagia, produktif, atau berkembang.

Fenomena ini tengah ramai dibicarakan di dunia kerja modern, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, di mana stabilitas ekonomi menjadi pertaruhan besar bagi banyak pekerja.

Menurut pakar ekonomi ketenagakerjaan Achmad Sjafii, job hugging sejatinya bukan hal baru. Hanya saja, istilah ini, kini mengemuka kembali seiring meningkatnya ketidakpastian ekonomi dan kompetisi di pasar kerja.

“Sekarang mempertahankan pekerjaan saja sudah sulit, apalagi mencari yang baru. Jadi banyak orang berpikir, sing penting iso mangan (yang penting bisa makan). Rasa aman itulah yang akhirnya membuat mereka bertahan,” ujar Sjafii dalam keterangannya, Jumat (17/10/2025).

Sjafii menjelaskan bahwa kondisi ekonomi yang dinamis membuat banyak pekerja lebih berhati-hati mengambil keputusan karier. Namun, keputusan untuk bertahan demi keamanan justru sering berujung pada hilangnya motivasi dan semangat kerja.

“Kalau seseorang tidak bahagia di pekerjaannya, kinerjanya pasti menurun. Lama-lama pekerjaan jadi rutinitas monoton tanpa makna, dan perusahaan pun ikut terdampak,” imbuhnya.

Fenomena job hugging ini, lanjut Sjafii, memperlihatkan bagaimana pilihan individu dapat berimbas secara kolektif. Ketika banyak pekerja kehilangan gairah kerja, produktivitas nasional pun bisa ikut melemah.

Untuk itu, Sjafii menekankan perlunya sinergi antara individu, perusahaan, dan pemerintah dalam menciptakan ekosistem kerja yang sehat. Ia menilai, beban solusi tak bisa hanya dipikul individu semata.

Pakar Ekonomi ketenagakerjaan FEB UNAIR, Achmad Sjafii. (foto: dokumen pribadi)

“Perusahaan perlu punya program pelatihan dan pengembangan keterampilan yang berkelanjutan, agar karyawan tidak merasa stagnan,” katanya.

Pelatihan semacam itu, menurutnya, tidak hanya meningkatkan kemampuan, tetapi juga memberi rasa dihargai dan kesempatan berkembang bagi pekerja.

Sementara itu, pemerintah berperan strategis dalam menciptakan kebijakan yang berpihak pada pengembangan sumber daya manusia (SDM). Mulai dari penyediaan pelatihan kerja, insentif bagi perusahaan yang berinvestasi pada pengembangan SDM, hingga kampanye nasional tentang pentingnya peningkatan kapasitas diri di era ekonomi yang terus berubah.

“Pelatihan itu mahal. Kadang perusahaan tak punya anggaran atau arah strategis yang jelas. Sementara pemerintah pun terbatas karena anggaran besar harus dibagi untuk banyak program,” ungkapnya.

Meski begitu, Sjafii menegaskan bahwa perubahan sejati tetap bergantung pada kesadaran individu.

“Individu harus proaktif meningkatkan keterampilan. Perusahaan perlu punya kebijakan pengembangan SDM yang jelas. Dan pemerintah harus memperkuat dukungan agar tenaga kerja tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang,” pungkas pria yang merupakan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga itu. (*)

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular