JAKARTA – Ketua Majelis Jaringan Aktivis Prodemokrasi Bob Randilawe menegaskan bahwa salah satu amanat gerakan reformasi 1998 adalah tuntutan amandemen UUD45 dengan tujuan tidak lagi memberi jalan munculnya penguasa despotik dan otoriter tanpa pengawasan dan kekuatan pengimbang, tidak lagi memberi jalan terhadap setiap upaya monopoli ekonomi serta penjarahan SDA oleh pihak asing dan aseng dalam industri dan perdagangan nasional, tidak ada lagi “regulasi pesanan” yang dibungkus agenda privatisasi dan globalisasi dan mengadili rejim Soeharto yang telah menyebabkan kemunduran sehingga bangsa kita kehilangan momentum lompatan kemajuan seperti dialami oleh Cina, Malaysia, Korea Selatan dan Singapura.
“Kini kita harus menebus dengan kerja dan kerja sampai rakyat sendiri yang “ngos-ngosan” demi mengejar ketertinggalan itu sambil merevitalisasi prinsip kedaulatan bangsa yakni Trisakti. Tetapi kemajuan ekonomi dan teknologi tanpa kedaulatan bangsa dan kesejahteraan rakyat menengah ke bawah ibarat orang berlari tak tentu arah. Perubahan dan kemajuan bangsa harus memiliki fondasi ideologis yakni Pancasila,” ujar Bob Randilawe dalam keterangannya kepada pers, Kamis (25/8/2016).
Bob menambahkan bahwa saat ini suasana psikologis para elit politik tengah labil dan saling curiga membuat pembahasan perubahan UUD khususnya tentang penguatan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan isu memfungsikan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi tidak progresif dan jauh dari suasana kebatinan seperti para pendiri bangsa dahulu.
“Nampak sekali adanya tarik-menarik kepentingan pribadi, kelompok, dan partai lebih dominan dibandingkan kepentingan bangsa dan negara,” imbuh Bon dengan nada kecewa.
Bahkan menurut Bob, salah satu produk amandemen konstitusi pasca Reformasi 1998 adalah Pilkada yang telah menciptakan kontroversi yang memicu sentimen SARA yang reaksioner dan kekanak-kanakan seperti nampak pada hiruk-pikuk Pilkada DKI. Bob menilai arogansi kepala daerah atas nama otonomi daerah (otoda) telah memperlemah nasionalisme, kerukunan dan harmoni sosial.
“Sentimen etnosentris di Pilkada DKI ini misalnya menunjukkan adanya arogansi kepala daerah. Kepala negara tidak boleh didikte oleh cagub manapun termasuk Ahok. Karena itu, polarisasi horisontal dalam Pilkada harus dicegah karena memperlemah nasionalisme dan pluralisme bangsa,” tegas Bob.
Selain itu, Bob mendesak para elit politik seharusnya menjadi teladan dalam mengecilkan ego personal, kelompok, golongan, demi kedaulatan bangsa dengan tidak menjadi antek asing terutama dalam melahirkan perubahan konstitusi yang modern, demokratis dan berjiwa proklamasi 1945.
“Arus balik untuk kembali ke UUD 1945 yang asli akan sulit dibendung apabila para elit politik gagal fokus merumuskan perubahan UUD. Pilihan alternatif reformasi konstitusi yakni: Kembali Ke UUD 45 asli cukup dengan adendum pasal Pemilihan Presiden secara langsung, bukan tidak mungkin terjadi apabila setiap orang baik yang pro demokrasi dan yang cinta NKRI turun ke jalan, bersatu memperjuangkannya. Ingat itu,” pungkas Bob mengakhiri keterangannya.
(bm/bti)