
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di tengah dunia yang kian sarat ketegangan, Sekolah Hukum dan Politik Kebangsaan ISNU Jawa Timur menggelar diskusi dan telaah buku bertajuk “Konflik, Perdamaian dan Resolusi Konflik: Meneguhkan Persatuan dalam Bingkai Hukum dan Demokrasi” karya Prof. H. M. Mas’ud Said, Ph.D, hari ini, Kamis (9/10/2025) siang, di Pesantren Digipreneur Al-Yasmin Surabaya.
Kegiatan yang berlangsung secara hybrid (luring dan daring via Zoom) itu diselenggarakan oleh PW ISNU Jatim bekerja sama dengan Universitas Islam Malang (UNISMA), Pesantren Digipreneur Al-Yasmin, dan PW Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Jatim.
Acara ini menghadirkan sejumlah akademisi terkemuka yaitu akademisi dari Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana, Prof. Bagong Suyanto (Guru Besar FISIP Universitas Airlangga), serta Prof. Ghufron (Direktur Pascasarjana UIN Malang dan Koordinator Sekolah Hukum dan Politik ISNU Jatim) yang bertindak sebagai moderator.
Selain para akademisi, hadir pula Ketua BPP Masjid Al-Akbar Surabaya yang juga Ketua PW DMI Jatim, Dr. KH Sudjak; Ketua LD PWNU Jatim, KH Syukron Jazilan; jajaran pengurus PW ISNU Jatim; perwakilan ISNU kabupaten/kota se-Jatim; mahasiswa; LSM; serta pemerhati isu-isu konflik.
Acara dibuka oleh Pengasuh Pesantren Digipreneur Al-Yasmin Surabaya, H. Helmy M Noor, yang menegaskan pentingnya kolaborasi antara pesantren, perguruan tinggi, dan masyarakat dalam membangun masa depan yang inklusif.
“Pesantren siap menyongsong masa depan gemilang dengan sinergi bersama ISNU, LTN NU, kampus, sekolah, masyarakat, dan pemerintah,” ujar pria yang juga merupakan Ketua LTN PWNU Jatim itu.
Prof. Bagong: Konflik Tak Harus Dihilangkan
Dalam sesi diskusi, Prof. Bagong Suyanto menyoroti kemampuan masyarakat Surabaya menjaga harmoni di tengah perbedaan dimana ia mencontohkan studi kasus harmoni antara etnis Madura dan Tionghoa di kawasan Kembang Jepun.
“Pemilik toko Tionghoa dan pekerja Madura di Kembang Jepun hidup berdampingan dengan rukun. Orang Surabaya itu kalau misuh justru tanda akrab,” tuturnya disambut tawa peserta.
Menurut Prof. Bagong, perbedaan justru menjadi perekat sosial jika dikelola dengan sehat. Ia menilai menghapus perbedaan justru berisiko menimbulkan sensitivitas baru yang rapuh.
“Yang sering ‘berkonflik’ justru bisa langgeng, seperti rumah tangga. Tapi kalau kelihatan adem malah bisa pecah. Konflik tidak harus dihapus, tapi disalurkan dalam batas yang dapat ditoleransi,” ujarnya.
Mengutip Gus Dur, ia menegaskan bahwa “dominasi mayoritas terlihat baik bila digunakan untuk melindungi minoritas.” Menurutnya, mayoritas di Indonesia seharusnya menggunakan kekuatannya untuk memperkuat solidaritas, bukan menekan perbedaan.
“Benturan realitas itu penting agar manusia sadar bahwa ia makhluk sosial. Dari sana muncul empati dan pemahaman,” tambahnya.
Prof. Hikmahanto: Demokrasi Butuh Kesadaran Hukum
Sementara itu, Prof. Hikmahanto Juwana menilai buku karya Prof. Mas’ud kaya substansi dan penting dibaca oleh mahasiswa, akademisi, maupun pemerhati isu konflik.
“Buku ini mudah dibaca tapi sangat berbobot. Daging semua,” ujarnya.
Ia menekankan, semakin demokratis suatu negara, semakin tinggi kebutuhan masyarakat untuk memahami hukum dan politik. Ia juga menyoroti pentingnya resolusi konflik yang realistis dan manusiawi, termasuk dalam konflik global seperti di Ukraina dan Gaza.
“Isu Gaza itu soal tanah. Palestina merasa haknya dirampas, Israel merasa punya legitimasi historis. Padahal, hukum sering jadi alat pembenar, bukan alat keteraturan,” tegasnya.
Menurutnya, resolusi konflik hanya dapat tercapai bila semua pihak memahami konteks secara menyeluruh dan bersedia menjaga martabat masing-masing.
“Menyelamatkan muka para pihak yang bertikai itu kunci perdamaian. Buku ini memberi pemahaman elementer yang penting untuk memahami akar persoalan konflik,” tutupnya.
Diskusi buku yang dihadiri lintas kalangan ini menegaskan bahwa perdamaian bukanlah ketiadaan konflik, melainkan kemampuan menyalurkan perbedaan menjadi kekuatan bersama dalam bingkai hukum dan demokrasi. (*)
Kontributor: M. Syahril
Editor: Abdel Rafi



