Thursday, May 2, 2024
HomeGagasanImpotenisasi Mekanisme Parpol

Impotenisasi Mekanisme Parpol

 

Menyaksikan panggung politik tanah air dalam beberapa waktu terakhir ini memunculkan satu pertanyaan penting bagi kita semua “Sepenting itukah kepemimpinan bagi bangsa Indonesia sehingga lagi-lagi pembahasan politik selalu berkaitan dengan figur?”

Tak ayal, sebuah enigma yang dilandasi oleh sentimen pribadi bergejolak mengatasnamakan kepentingan publik (public interest) kembali menjadi ancaman bagi regenerasi kepemimpinan dalam politik kita. Sangat ironis, tatkala munculnya figur-figur pemimpin kontemporer justru tidak diikuti dengan adanya gerbong kepemudaan yang kuat untuk menyangganya. Konsekuensinya jelas, lokomotif populisme berlari terlalu kencang melindas suara-suara inovatif yang merindukan terobosan berbasis gagasan dan program.

Kini, yang terjadi justru ruang publik (public space) makin keruh oleh pertarungan romantisme pemuja “nabi-nabi palsu” yang sama ngaco-nya dengan cagar budaya politik dinasti. Dengan kata lain, gerbong oligarki renta justru diuntungkan oleh munculnya kader-kader polesan “ketok magic”.

Hal tersebut semakin diperparah oleh oligopoli media, sorak-sorai dan puja-puji terhadap figur tak ubahnya junior yang siap tawuran menjilat seniornya demi sesuap rente. Jelas berbeda misalnya dengan tangisan para fans di konser Ariana Grande yang tulus walau harus pingsan tanpa dibayar.

Menjelang penetapan pasangan calon (paslon) untuk Pemilihan Presiden (pilpres) 2019, acapkali muncul berita terkait safari tokoh politik demi mencari atensi publik. Terlepas dari volatilitas elektabilitas para kandidat calon presiden (capres), para fungsionaris partai politik (parpol) ternyata hanya menjadi penonton ditengah berseliwerannya para ketua partai.

Ironisnya, para pemilik partai tidak segera memanaskan mesin parpolnya. Sebaliknya, senyum percaya diri mereka di depan kamera justru menihilkan mekanisme rapat dan konvensi yang harusnya digunakan dalam menetapkan pasangan calon.

Bioritmik berita yang sangat cepat, membuat para tokoh takut kehilangan panggung virtual. Padahal terlalu sering cari muka, changing mood masyarakat yang cenderung temporer dengan mudah akan cepat berubah.

Diantara sekian partai yang mencoba berselancar menaklukkan presidential threshold, tampaknya hanya Partai Golkar yang sedikit mampu menguasai emosi. Sedangkan parpol pengusung Prabowo Subianto tampaknya masih penasaran mengikuti jejak selebgram Bowo Alpenliebe.

Tak ayal, kekuatan kaderisasi yang dikangkangi oleh nama besar sang owner justru menjadi distrust di dalam internal parpol sendiri. Hal ini tentu sangat disayangkan, padahal dalam pemilihan umum yang akan dilaksanakan serentak dengan pemilihan legislatif, soliditas antara calon legislatif (caleg) dan capres menjadi kunci utama. Jika tidak, maka sosok Joko Widodo dengan kertas contekannya akan kembali mempermalukan para “tokoh” tersebut. 

 

ZIYAD FALAHI

Pengamat politik, tinggal di Jakarta

RELATED ARTICLES

Most Popular