
VIETNAM, CAKRAWARTA.com – Di tengah polemik harga beras yang terus mencekik rakyat Indonesia, HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy, pengusaha muda NU asal Situbondo yang akrab disapa Gus Lilur pun melontarkan kritik tajam dan solusi nyata dari tanah Vietnam. Pendiri dan pemilik Badan Pangan Nusantara (BAPANTARA) Grup ini menyatakan, perbedaan harga beras antara Indonesia dan Vietnam bukan karena kualitas, melainkan karena ketimpangan sistemik yang dikuasai mafia pupuk.
“Beras kualitas terbaik di Vietnam hanya Rp 9.000 per kilogram. Tapi di Indonesia, untuk kualitas serupa bisa tembus Rp 18.000 sampai Rp 20.000 per kilogram,” tegas Gus Lilur dalam keterangannya pada Minggu (27/7/2025), saat mengunjungi lumbung beras di Distrik Sa Dec, Provinsi Dong Thap, Vietnam.
Menurutnya, rakyat Indonesia telah lama menjadi korban praktik ekonomi pangan yang tidak adil. “Ini bukan soal pasar. Ini soal struktur. Petani di Vietnam dimanja oleh negara. Di Indonesia? Petani dikebiri oleh mafia pupuk yang merajalela. Pupuk langka, subsidi tak tepat sasaran, dan sistem distribusi bobrok,” ujarnya dengan nada tajam.
Gus Lilur menyebut bahwa akar dari mahalnya beras bukan hanya soal cuaca atau inflasi, tetapi karena petani Indonesia tidak mendapat dukungan sebagaimana petani Vietnam. “Petani kita dibiarkan berjuang sendiri, padahal mereka tulang punggung ketahanan pangan nasional,” tambahnya.
Dari kunjungan ini, Gus Lilur menyatakan tekadnya untuk membuka jalur perdagangan beras kualitas tinggi dari Vietnam ke berbagai negara, termasuk Indonesia. “Kalau negara tak bisa melindungi petaninya, maka rakyat berhak mencari alternatif. Saya siap mendatangkan beras terbaik dari Vietnam ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, agar ada keadilan harga dan kualitas,” ujarnya penuh keyakinan.
Langkah ini, kata Gus Lilur, bukan hanya soal bisnis, tetapi juga misi kemanusiaan. “Bismillah. Ini bukan soal dagang semata. Ini soal menyelamatkan harga diri petani dan martabat pangan kita,” pungkasnya.
Untuk diketahui, BAPANTARA Grup adalah salah satu perusahaan pangan yang mulai berkembang di Asia Tenggara, dengan fokus pada perdagangan pangan lintas negara dan inovasi sistem logistik agrikultur. Langkah berani Gus Lilur ini dinilai sebagai pukulan telak terhadap status quo distribusi pangan di Indonesia, sekaligus sinyal bahwa era mafia pupuk harus segera diakhiri. (*/adv)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



