Wednesday, November 12, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomDromologi Whoosh

Dromologi Whoosh

 

“Kecepatan cahaya tidak hanya mengubah dunia. Ia menjadi dunia itu sendiri. Globalisasi adalah kecepatan cahaya. Dan tidak ada yang lain!“ — Paul Virilio (1932-2018), Speed and Politics (Perancis 1977; Inggris 2006)

Dalam pusaran kebijakan ekonomi-politik Indonesia dua dekade terakhir, kecepatan telah menjadi mantra utama.

Dromologi yang merupakan ilmu tentang kecepatan yang dikembangkan oleh filsuf Paul Virilio, menjadi lensa kritis untuk memahami bagaimana kalkulasi cepat dalam pembangunan justru melahirkan ketimpangan struktural.

Kasus terbaru yang mencuat adalah soal utang proyek kereta cepat Whoosh, warisan era Presiden ketujuh, Joko Widodo, yang kini menjadi beban fiskal dan moral bagi pemerintahan berikutnya.

Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa (63) menolak menggunakan APBN untuk membayar cicilan utang proyek tersebut, yang mencapai dua triliun rupiah per bulan, sementara pendapatan dari operasionalnya hanya sekitar satu setengah triliun.

Penolakan ini bukan sekadar soal anggaran, melainkan refleksi atas model pembangunan yang terlalu mengandalkan relasi kecepatan antara kalkulasi ekonomi dan keputusan politik.

Dalam perspektif Virilio, kecepatan bukan hanya soal waktu, melainkan tentang dominasi: siapa yang lebih cepat, dia yang menguasai. Seperti ungkapnya, “kecepatan sekarang menerangi realitas sedangkan cahaya pernah memberi bentuk pada objek-objek di dunia.”

Proyek Whoosh, seperti halnya Ibu Kota Negara (IKN), MBG, Bansos, Kartu Indonesia Sehat (KIS), mega tambang ilegal (Timah), megakorupsi (Pertamina), pinjaman online (pinjol), dan judi online (judol), adalah manifestasi dari realisme spekulatif yang digerakkan oleh mesin politik percepatan.

Keputusan diambil bukan karena kebutuhan publik, melainkan karena dorongan untuk menunjukkan kemajuan secepat mungkin, meski tanpa fondasi yang kokoh.

George Soros (95) dalam The Age of Fallibility: Consequences of the War on Terror (2006), mengingatkan bahwa kecepatan dalam ekonomi global sering kali mengabaikan keseimbangan antara developmentalisme dan environmentalisme.

Kritik Soros tentang bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat, ketika di bawah pemerintahan AS (2001-2009), George W. Bush (79), telah merusak prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan keterbukaan masyarakat.

Soros mengkritik pendekatan unilateral dan militeristik yang menurutnya mempercepat kerusakan tatanan global dan memperdalam ketimpangan.

Ia menekankan pentingnya refleksi dan pengakuan atas keterbatasan manusia (fallibility) dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi.

Juga, Soros menyerukan perlunya memperlambat dan menimbang ulang arah kebijakan agar lebih manusiawi dan adil.

Ketika pembangunan dipacu tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kapasitas sosial, maka yang tumbuh bukanlah kemakmuran, melainkan diskrepansi.

Proyek-proyek besar yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan justru menjadi lubang hitam fiskal, menghisap dana publik tanpa memberikan manfaat yang sepadan.

Dalam konteks Whoosh, utang yang ditanggung oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menjadi beban yang tidak bisa lagi disangga oleh APBN, dan pemerintah kini mencari jalan keluar melalui Badan Pengelola Investasi Danantara.

Dromologi mengajarkan bahwa kecepatan bukanlah netral. Ia membawa konsekuensi politik, sosial, dan ekologis.

Ketika kebijakan diambil dengan logika percepatan, maka ruang deliberasi publik menyempit, dan keputusan menjadi elitis. Publik hanya menjadi penonton dalam pertunjukan pembangunan yang megah namun rapuh.

Ketimpangan tumbuh bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena pilihan sadar untuk mengabaikan keseimbangan demi kecepatan. Kahnamen menyebutnya: noise!

Dalam fakta ini, pembangunan bukan lagi soal keberlanjutan, melainkan soal siapa yang bisa berlari paling cepat, meski menuju jurang.

Kritik Virilio dan Soros menjadi relevan untuk membaca ulang arah pembangunan Indonesia. Kecepatan yang tidak diimbangi dengan refleksi dan partisipasi publik hanya akan melahirkan kebijakan yang timpang dan merugikan.

Proyek Whoosh adalah cermin dari dromologi yang kehilangan kendali yang cepat, megah, tapi tak berkelanjutan dan publik menanggung siklus mega hutang.

Kini saatnya memperlambat, bukan untuk mundur, tetapi untuk menata ulang arah agar pembangunan benar-benar berpihak pada publik, bukan pada kalkulasi politik yang terburu-buru.

#coversongs: „Morningtown Ride” adalah lagu lullaby (nina bobo) yang ditulis oleh Malvina Reynolds (1900-1978) dan dipopulerkan oleh grup folk-pop asal Australia, The Seekers (1962).

Lagu ini pertama kali direkam oleh The Seekers (Judith Durham, Athol Guy, Keith Potger, dan Bruce Woodley) dalam album Hide & Seekers (1964).

“Morningtown Ride” menggambarkan perjalanan malam yang tenang dan penuh imajinasi, seolah-olah anak-anak menaiki kereta menuju kota fiktif bernama Morningtown.

Maknanya menyentuh tema universal: rasa aman, kenyamanan, dan transisi lembut dari dunia nyata ke dunia mimpi.

Lagu ini tetap menjadi favorit lintas generasi karena kesederhanaan melodinya dan pesan kasih sayang yang hangat.

REINER EMYOT OINTOE

Fiksiwan

RELATED ARTICLES

Pangan, Energi dan Air

Dua Wajah Sherly

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular