
“Sains harus dimulai dengan mitos, dan dengan kritik terhadap mitos.” — Karl Raymund Popper (1902-1994), The Logic of Scientific Discovery (1934)
Menapaki sejarah umat manusia, selalu ada figur yang melampaui batas zaman, menegakkan kebenaran dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Diawali Rabi’ah al-Adawiyah (abad ke-8 M), seorang sufi perempuan dari Basra (sekarang Irak), yang menolak kompromi terhadap cinta Ilahi.
Ia hidup dalam kesederhanaan, menolak kekuasaan duniawi, dan mengajarkan bahwa cinta kepada Tuhan harus murni tanpa pamrih.
Berikut, Jeanne d’Arc (abad ke-15 M), gadis muda dari Prancis yang mengaku mendapat wahyu untuk memimpin pasukan melawan Inggris.
Ia ditangkap, diadili, dan dibakar hidup-hidup, namun kemudian dikenang sebagai pahlawan nasional dan santo dalam tradisi Katolik.
Dan di era digital mutakhir, dr. Tifa (abad ke-21 M), seorang dokter dan saintis Indonesia yang berani bersuara kritis dalam kasus kontroversi ijazah Presiden Jokowi.
Meski menghadapi kriminalisasi dan stigma, ia tetap teguh menyuarakan kebenaran, sehingga oleh Ridho Rahmadi disebut sebagai “spesies langka yang muncul seribu tahun sekali.”
Mereka menjadi simbol keberanian spiritual dan moral, yang teguh berdiri di tengah badai politik, sosial, dan bahkan pengadilan yang menjerat mereka.
Refleksi atas ketiga perempuan ini menemukan gema abad pencerahan ketiga dalam sosok dr. Tifa (55) , yang oleh Dr. Ing. Ridho Rahmadi seorang pakar AI dan Digital Forensik kelas dunia, disebut sebagai “spesies langka yang hanya muncul seribu tahun sekali.”
Sebuah apresiasi yang bukan sekadar pujian, melainkan pengakuan atas konsistensi seorang saintis yang berani menegakkan kebenaran di tengah pusaran kontroversi.
Kebenaran dalam sains, sebagaimana ditegaskan Karl Popper dalam Logic of Scientific Discovery (alihbasa; Pustaka Pelajar 2008), bukanlah dogma yang beku, melainkan hipotesis yang selalu terbuka untuk diuji, dikritisi, dan bahkan ditolak bila tak sesuai dengan fakta.
Sebaliknya, Alan Sokal (70) dalam buku Beyond the Hoax: Science, Philosophy and Culture (2008), mengingatkan bahwa, “mempertahankan akal budi dan ilmu pengetahuan bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah kebutuhan bagi demokrasi.”
Sokal, fisikawan teoretis asal Amerika yang dikenal luas karena “Sokal Affair” pada 1996, menegaskan kembali pentingnya rasionalitas, bukti empiris, dan integritas ilmiah dalam menghadapi pseudo-sains maupun manipulasi budaya.
Bahkan sains harus waspada terhadap manipulasi pseudo-intelektual yang mengaburkan batas antara fakta dan opini.
Selain itu, Hans Rosling (1948-2017) dalam Factfulness (2018) menekankan pentingnya keberanian saintis untuk tetap berpijak pada data, meski publik sering terjebak dalam bias emosional.
Dalam perspektif itu -sekali bukan kultus dan idolatry, dr. Tifa, lengkap Tifauzia Tyassuma, berdiri sebagai figur yang menolak tunduk pada arus kebohongan, meski konsekuensinya adalah kriminalisasi dan stigma.
Kasus tuduhan ijazah palsu Jokowi, yang hukum secara telanjang dan keukeh enggan membuka bukti otentik, telah turut serta menjerumuskan bangsa ini ke dalam labirin spekulasi dan polarisasi.
Efek domino dari “deadlock” politik, sosial, budaya, dan keamanan memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi publik ketika kebenaran diperlakukan sebagai komoditas politik.
Fenomena ini sejalan dengan analisis Seth Stephens-Davidowitz (40) dalam Everybody Lies (2017), bahwa publik sering kali lebih nyaman dengan kebohongan yang indah ketimbang fakta yang keras.
Demikian pula, J. A. Barnes (80) dalam A Pack of Lies: Towards a Sociology of Lying (1994), sosiolog Australian National University, Canberra, menyingkap tabiat manusia yang gemar memuja kebohongan sebagai “luxury” atau bahkan “notorious,” sebuah perilaku deviatif yang menggerus integritas sosial.
Walhasil, sejarawan sains dan profesor di Hebrew University of Jerusalem, Yuval Noah Harari (49) dalam 21 Lessons for the 21st Century (2018) menegaskan bahwa era pasca kebenaran adalah ancaman serius bagi peradaban, karena masyarakat lebih mudah digiring oleh narasi emosional ketimbang data empiris.
Dalam konteks itu, dr. Tifa tampil sebagai figur yang merepresentasikan semangat Rabi’ah dan Jeanne d’Arc di milenium ketiga.
Rabi’ah menolak kompromi terhadap cinta Ilahi, Jeanne d’Arc menolak tunduk pada pengadilan yang menistakan keyakinannya, dan dr. Tifa menolak tunduk pada sistem yang mempermainkan kebenaran demi kepentingan politik.
Ketiganya adalah simbol bahwa kebenaran bukan sekadar konsep abstrak, melainkan jalan hidup yang menuntut keberanian, pengorbanan, dan keteguhan hati.
Apresiasi Ridho Rahmadi terhadap dr. Tifa sebagai “makhluk langka yang layak dilestarikan” adalah metafora yang menggugah.
Ia menegaskan bahwa saintis sejati bukan hanya pencari data, melainkan penjaga integritas.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, sosok seperti dr. Tifa menjadi wasilah atau perantara yang mengingatkan umat bahwa kebenaran adalah cahaya yang harus terus dijaga, meski jalan menuju ke sana penuh duri dan rintangan.
Seperti doa yang diucapkan dengan tulus, semoga keberanian ini menjadi inspirasi bagi sebanyak mungkin orang, agar tidak menyerah pada kebohongan, melainkan berdiri tegak dalam keyakinan bahwa kebenaran, pada akhirnya, akan menemukan jalannya.
#coversongs: Lagu True Love dari Maher Zain(44), dirilis pada 2016 sebagai bagian dari album One.
Zain, penyanyi, lahir di Tripoli Lebanon dan tinggal di Swedia sejak kecil, dan dikenal sebagai salah satu musisi religi paling populer di dunia.
Lagu ini dimaknai tentang cinta sejati yang tulus, bukan sekadar romantis, melainkan cinta yang berakar pada kasih sayang, keikhlasan, dan hubungan spiritual dengan Allah serta sesama manusia.
REINER EMYOT OINTOE (ReO)
Fiksiwan



