Friday, May 10, 2024
HomeGagasanDokumen Fikih Yang Terlupakan

Dokumen Fikih Yang Terlupakan

LAGI asyik membaca Kitab Fiqih Muhammadiyah Jilid Telu terbitan Taman Poestaka Jogjakarta,1925 (cetakan pertama Kiai Badawi,1967) yang ditulis dengan huruf Arab pegon, basa Jawi. Menarik, karena sebagaimana termaktub dalam buku jadoel itu, fikihnya Kiai Ahmad Dahlan, sang pencerah yang mendirikan Muhammadiyah ternyata sama dengan Kiai Hasyim Asy’ari, salah satu ikon pendiri Nahdlatul Ulama (NU): tarawih 20 rakaat di luar witir, baca ushalli, qunut subuh, dan seterusnya..

Belakangan Muhammadiyah bergeser kiblat fikihnya. “Fatwa” Kiai Dahlan yang satu guru, satu ilmu dan satu nasab dengan Kiai Hasyim dikoreksi. Keduanya sama-sama murid, bahkan sekamar, saat mondok di Kiai Muhammad Saleh bin Umar As-Shamarani alias Mbah Sholeh Darat di Semarang. Satu halaqah kala mengaji di Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, mufti jenius, imam dan pengajar non Arab pertama di Masjidil Haram, Mekah, yang lahir di Koto Tuo, di barat Kenagarian Koto Gadang, di kaki Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Mereka berdua bahkan sama-sama keturunan Sunan Giri yang kalau ditarik dari atas sampai ke Fatimah binti Muhammad SAW.

Perubahan arah ubudiyah Muhammadiyah ini terjadi setelah Kiai Mas Mansur mendirikan Majelis Tarjih pada 1927. Semua keputusan majelis inilah yang sampai kini dijadikan pegangan para pengikut Muhammadiyah dalam menjalankan amal ibadahnya–ada sarjana yang menyebutnya sebagai mazhab Tarjih. Kiai Mas Mansyur, saat memimpin, mengemban peran ganda yang tak mudah: membentengi arus pengaruh hegemoni Wahabi, mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi yang anti tradisi, sekaligus juga mencari ekuilibrium antara puritanisme-modernisme versus tradisionalisme-konservatifisme dengan cara merevisi sejumlah keputusan Kiai Dahlan demi kemaslahatan umat agar tak terbebani tradisi yang memberatkan.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap non mazhab (semula Kiai Dahlan dan Kiai Mas Mansyur serta Kiai Hasyim pengikut mazhab Syafi’ie seperti juga dianut guru-guru mereka, termasuk Syaikh Khatib) dengan slogan anti takhayul, bid’ah dan churafat atau TBC ini menguat sejak ada pengaruh Haji Rasul (ayahanda Buya Hamka) di Sumatera Barat. Sebab itulah ada pameo: Muhammadiyah lahir di Yogya tapi “ideologi” dan ruh gerakannya menggumpal di Sumatera Barat.

Sikap puritan yang hendak memurnikan ajaran tanpa bermazhab ini dikukuhkan di Muktamar Pekalongan 1972. Sikap ini berbeda dengan NU, yang berideologi ahl sunnah wal jama’ah, berfikih mazhab arba’ah (empat), khususnya Imam Syafi’ie; sedangkan sisi kalam atau teologinya bersandar pada Imam Al-Asy’ary.

Mengapa bergeser? “Karena Muhammadiyah bukanlah Dahlaniyah,” ujar salah seorang Ketua PP Muhammadiyah Prof. Yunahar Ilyas. Maknanya, mencegah terjadinya kultus individu walau tertuju pada pendiri organisasi.

Perkara pengkultusan ini, hemat saya, juga tak hendak dihidupkan oleh kaum Nahdliyin kendati mereka sangat hormat kepada para kiai sepuh dan guru-guru mereka. Sistem tata nilai yang kerap disebut tawadu’ ini dijaga betul di pesantren yang secara khusus mengajarkannya melalui kitab Ta’lim Muta’allim.

Muara kedua ormas ini sejatinya bertemu di titik yang sama: niat luhur untuk mengayomi umat dan menjaga negeri agar bergerak ke arah yang lebih baik. Memahami sejarah pendirian mereka niscaya bisa menajamkan permakluman dan menumbuhkan rasa saling pengertian.

Sama bagus argumen keduanya. Sama kuat hujjahnya. Sama pula benarnya? Barangkali. Sikap yang sudah pasti benar dan terpuji adalah manakala para pemeluk dan pengikut kedua ormas Islam ini saling menghormati pandangan dan penafsiran atas ajaran masing-masing. Tersebab kebenaran hakiki hanyalah milik Allah SWT. Rahasia Ilahi Rabbi. Kulil haqq min rabbikum. Katakanlah kebenaran itu sejatinya dari Tuhanmu. Ayat lain dalam Qur’an menyebut kulil haqq min amri rabbi..

Dokumen berharga yang terlupakan ini menjadi bukti penting betapa kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini punya akar pijakan yang semula sama. Mungkin sampai sekarang pun prinsipnya juga sama, walau melahirkan varian praktik ibadah yang berbeda terutama pada 30-an perkara ranting ritual atau furu’iyah.

Pokok ajaran atau ushul keduanya berada dalam satu biduk. Tak usah kaget, namanya juga ikhtiar. Mazhab NU yang dikaji terus via bahtsul matsail diniyah atau non mazhabnya Muhammadiyah yang berpatokan pada majelis Tarjih, sejatinya merupakan pendekatan menuju kebenaran. Bukan kebenaran itu sendiri, sehingga siapapun tak berhak memonopoli kebenaran apalagi memutlakkan kebenaran pendapatnya.

Dus, tak usah ribut…

Pondokgede, 1 Ramadan 1437/5 Juni 2016

WAHYU MURYADI 
Komunitas Santri Bakiak Ujungaspal (KUBUS)

(tulisan ini dimuat ulang atas seizin penulis)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular