Kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia terus meningkat, mulai dari tumpahan minyak, limbah industri, hingga pencemaran tanah oleh pestisida. Dalam menghadapi tantangan ini, teknologi bioremediasi muncul sebagai solusi yang ramah lingkungan. Bioremediasi adalah proses yang memanfaatkan mikroorganisme, tanaman, atau enzim biologis untuk mengurai dan menetralkan polutan di lingkungan. Bagi Indonesia, dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, teknologi ini menjadi peluang besar untuk memulihkan lingkungan yang tercemar.
Sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 400.000 spesies mikroorganisme yang tersebar di tanah, air, dan udara. Mikroorganisme seperti Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. telah terbukti mampu menguraikan hidrokarbon dari minyak bumi, sebagaimana yang ditemukan dalam penelitian di tanah-tanah yang tercemar minyak di Indonesia. Hal ini menjadi dasar bahwa potensi biologis lokal dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Namun, dibalik potensi besar ini, penerapan bioremediasi di Indonesia menghadapi sejumlah kendala. Salah satunya adalah rendahnya kesadaran dan dukungan dari pemerintah serta sektor industri. Meski bioremediasi lebih ekonomis dan ramah lingkungan dibandingkan metode konvensional seperti penggalian atau pembakaran, investasi di bidang ini masih minim. Regulasi yang ada lebih berfokus pada pencegahan pencemaran daripada pemulihan lingkungan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, lebih menekankan pengendalian limbah, sehingga teknologi seperti bioremediasi belum mendapat prioritas dalam penanganan kerusakan lingkungan.
Sektor swasta juga cenderung memilih opsi membayar denda ketimbang menginvestasikan sumber daya untuk teknologi pemulihan lingkungan. Paradigma ini perlu diubah melalui insentif pemerintah bagi perusahaan yang memilih solusi berbasis bioremediasi. Misalnya, pemberian potongan pajak atau sertifikasi hijau dapat mendorong lebih banyak perusahaan untuk mengadopsi pendekatan ini.
Di sisi lain, peluang untuk pengembangan bioremediasi di Indonesia sangat menjanjikan. Tumpahan minyak yang sering terjadi di perairan Kalimantan dan Papua menjadi salah satu contoh kasus pencemaran yang membutuhkan solusi cepat dan berkelanjutan. Mikroorganisme laut lokal dapat dioptimalkan untuk membersihkan perairan tersebut. Selain itu, pencemaran logam berat di wilayah tambang di Sulawesi dan Sumatra dapat diatasi dengan menggunakan tanaman hiperakumulator seperti rumput vetiver atau kangkung laut. Penelitian telah menunjukkan bahwa tanaman ini mampu menyerap logam berat dari tanah dan air secara efektif.
Beberapa keberhasilan penerapan bioremediasi juga sudah terlihat di Indonesia. Contohnya adalah proyek PT Pertamina yang menggunakan mikroorganisme lokal untuk memulihkan lahan-lahan tercemar minyak bumi di Riau dan Kalimantan Timur. Hasilnya, lahan yang tadinya rusak dapat kembali digunakan untuk aktivitas pertanian. Universitas Gadjah Mada juga berhasil menggunakan jamur Trichoderma sp. untuk mengatasi pencemaran pestisida pada lahan pertanian. Meski demikian, keberhasilan ini masih terbatas pada skala kecil dan belum menjadi standar nasional dalam pemulihan lingkungan.
Untuk menjadikan bioremediasi sebagai solusi utama, diperlukan sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat, dan sektor swasta. Pemerintah harus mengeluarkan regulasi yang mendukung implementasi bioremediasi, termasuk pemberian insentif kepada pelaku industri. Akademisi dan peneliti berperan mengembangkan inovasi bioremediasi yang lebih efisien dan sesuai dengan kondisi lokal. Sementara itu, sektor swasta dapat mendanai penerapan teknologi ini pada skala besar.
Pendidikan dan sosialisasi juga menjadi kunci. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa bioremediasi tidak hanya bermanfaat untuk lingkungan, tetapi juga memiliki dampak ekonomi positif. Misalnya, masyarakat pesisir yang dilatih menggunakan mikroorganisme tertentu untuk membersihkan pantai dari tumpahan minyak dapat memanfaatkan lingkungan yang telah pulih untuk kegiatan ekowisata, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan mereka.
Teknologi bioremediasi juga memiliki nilai strategis bagi perekonomian Indonesia. Dengan memanfaatkan kekayaan hayati lokal, Indonesia berpotensi menjadi pusat pengembangan bioteknologi bioremediasi di Asia Tenggara. Mikroorganisme atau enzim yang dihasilkan dari penelitian lokal dapat diekspor untuk memenuhi kebutuhan global. Selain itu, adopsi bioremediasi secara luas dapat meningkatkan citra Indonesia di kancah internasional sebagai negara yang berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan.
Pendekatan ini juga sejalan dengan visi ekonomi hijau (green economy) yang kini mulai diterapkan di berbagai negara. Dengan menggunakan teknologi berbasis alam, biaya pemulihan lingkungan dapat ditekan, sekaligus meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem lain. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya memperbaiki lingkungan, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru, seperti ekowisata dan ekspor teknologi hijau.
Selain itu, dengan meningkatnya kesadaran global tentang pentingnya solusi berkelanjutan, bioremediasi dapat menjadi peluang strategis untuk menarik investasi asing. Kolaborasi dengan negara-negara lain dalam penelitian dan pengembangan teknologi bioremediasi dapat mempercepat penerapan teknologi ini di Indonesia. Dengan demikian, bioremediasi tidak hanya menjadi solusi untuk masalah lokal, tetapi juga berkontribusi pada upaya global untuk melestarikan lingkungan.
Kesimpulannya, bioremediasi adalah solusi penting yang harus segera dimanfaatkan untuk mengatasi kerusakan lingkungan di Indonesia. Teknologi ini tidak hanya memberikan manfaat ekologis, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang signifikan. Tantangan seperti kurangnya regulasi, minimnya dukungan pemerintah, dan rendahnya kesadaran masyarakat harus diatasi dengan kolaborasi lintas sektor. Dengan langkah ini, Indonesia dapat memanfaatkan keanekaragaman hayatinya sebagai kekuatan untuk memulihkan alam sekaligus menjadi pionir dalam teknologi bioremediasi di kawasan Asia Pasifik.
ARI BUDI SURYAWINATA
Mahasiswa Program Magister Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga