Saturday, December 13, 2025
spot_img
HomeGagasanBioremediasi, Pengelolaan Lingkungan Menuju Indonesia Emas 2045

Bioremediasi, Pengelolaan Lingkungan Menuju Indonesia Emas 2045

Gong Indonesia Emas 2045 bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, sekitar 20 tahun lagi diharapkan menjadi masa kejayaan bangsa Indonesia. Pemerintah telah mempersiapkan berbagai kebijakan untuk mewujudkan. Di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, berbagai kebijakan untuk mewujudkan langkah itu, salah satunya program makan siang gratis yang diharapkan mampu meningkatkan gizi generasi muda sehingga dapat meningkatkan prestasi dan semangat belajar. Selain itu, peningkatan tunjangan guru diharapkan mampu memberikan semangat dan peningkatan kualitas. Jika guru sejahtera, siswa semakin sehat dan cerdas  terpenuhi, maka menuju Indonesia Emas 2045 menjadi optimis.

Namun, lingkungan juga harus dipersiapkan sedari dini, mengingat bahwa lingkungan yang tidak sehat bisa menjadi ancaman bagi generasi selanjutnya. Sumber air dan makanan yang tidak sehat akan memperparah keadaan. Krisis lingkungan yang terjadi dapat dinilai sebagai kekurangpedulian kita. Air yang menjadi sumber kehidupan manusia, terkontaminasi berbagai polutan yang bisa mengganggu kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Apabila hewan dan tumbuhan terkontaminasi polutan, maka bisa dipastikan siklus rantai makanan lainnya bisa berpengaruh.

Berkaitan dengan pencemaran di air, fakatnya perairan Indonesia telah tercemar sejak lama yang diakibatkan diantaranya karena masyarakat condong buang sampah (plastik) sembarangan hingga membuang air bekas cucian yang menggunakan detergen secara bebas. Tak hanya itu, terkadang beberapa industri rumah tangga skala mikro maupun makro kerap juga menjadi kontributor dalam pencemaran perairan, dimana mereka membuang  limbah industri secara langsung ke badan air tanpa diolah terlebih dahulu. Apabila terjadi pencemaran di sungai, maka polutan yang masuk ke sungai tersebut akan terbawa ke ekosistem perairan lainnya, yakni ekosistem estuaria hingga berakhir di lautan. Hal ini akan memberikan dampak semakin banyaknya biota perairan yang mengalami pencemaran tersebut.

Terkait pencemaran plastik di perairan, banyak penelitian melaporkan bahwa sampah plastik yang ada di perairan akan bermigrasi dari sungai ke laut dan akan berubah ukurannya dari makro ke mikro dan terakhir nanoplastik. Tak hanya bersumber dari sampah botol minuman, komponen plastik juga dibawa bersama air limbah cucian pakaian masyarakat, dari serat pakaian ketika dilakukan proses pencucian. Detergen saja sudah cukup berbahaya bila masuk perairan yang ada biotanya, apalagi bercampur dengan serat pakaian yang merupakan bentuk lain dari mikroplastik. Penelitian melaporkan bahwa biota perairan seperti ikan banyak terpapar mikro-nanoplastik, dan bahkan di laut mikroplastik dan nanoplastik juga memberikan dampak paparan yang luas. Paparan mikro-nanoplastik telah dilaporkan ditemukan pada ikan di sungai, di estuaria, dan bahkan di laut. Paparan tersebut juga telah memberikan dampak pada sistem organ dari pada biota tersebut, bahkan plastik yang berukuran nanoplastik bisa masuk ke dalam sel hewan. Penelitian lainnya melaporkan bahwa garam laut di Indonesia juga terkontaminasi mikroplastik. Ini jadi ancaman. Sumber protein dan sumber mineral gizi masyarakat mengalami kontaminasi karena ulah kita.

Di daratan, pencemaran plastik juga memberikan dampak munculnya gunung sampah seperti yang terjadi di Bantar Gebang, Tangerang; Bintara, Bekasi;  Benowo, Surabaya; dan lainnya.  Tidak terpilahnya sampah antara organik, plastik, botol dan anorganik mengakibatkan sulitnya proses penguraian dan pemilahan, sehingga menjadi gundukan sampah yang menimbulkan bau tak sedap dan menjadi faktor penyebab munculnya penyakit pernapasan. Di beberapa daerah seperti di Surabaya dan Bantar Gebang, pemerintah telah mencoba melakukan  upaya untuk mengelola sampah menjadi bahan baku untuk pembangkit listrik tenaga sampah (PLTs). Namun langkah ini belum menjawab tantangan terhadap pengelolaan sampah, karena kapasitas pengelolaannya tidak sebanding dengan produksi harian masyarakat. Overcapacity.  Karenanya, perlu ide dan langkah elaborasi berbagai pihak untuk menanggulanginya.

Selain  masalah sampah, di daratan, penambangan dan pengeboran minyak  juga menimbulkan masalah yang serius bagi lingkungan sehingga perlu mengambil langkah antisipasi dan perbaikan. Adanya penambangan tersebut membuat beberapa wilayah menjadi kubangan-kubangan yang justru apabila dibiarkan dan tidak diolah kembali akan menimbulkan penyakit seperti demam berdarah karena lokasi tersebut menjadi wadah munculnya jentik nyamuk. Adanya pengeboran minyak di wilayah tersebut mengakibatkan tanah yang terkena minyak di sekitar wilayah pengobaran menjadi kurang produktif kembali. Oleh karenanya, harus dilakukan aksi bersama antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder untuk mencegah dampak yang lebih luas.

Bioremediasi Sebagai Solusi

Dari berbagai macam masalah lingkungan yang ada, beberapa langkah dan kebijakan harus dilakukan untuk melindungi lingkungan ini untuk generasi Indonesia ke depannya. Upaya ini bisa dikembangkan dengan pendekatan “bioremediasi” yang merupakan proses biologis yang menggunakan mikroorganisme untuk menghilangkan atau menguraikan kontaminan dari lingkungan, seperti tanah, air, atau udara. Berdasarkan lokasinya, bioremediasi dapat dilakukan di luar lokasi tercemar (Ex-Situ), dapat juga dilakukan di lokasi tercemar (In-Situ). Bioremediasi In-Situ terdiri dari bioventing, biosparging, bioaugmentation, dan biostimulasi. Sedangkan Bioremediasi Ex-Situ terdiri dari landfarming, composting, biopile, dan bioslurry. Setiap pencemaran, memiliki kekhasan tersendiri dalam proses bioremediasinya, tergantung apakah di wilayah kontaminasi itu sudah terdapat bakteri yang mampu menguraikan polutan tersebut atau belum, dan tergantung bagaimana nutrisi, kelembapan, pH, suhu, dan oksigen yang ada di area pencemaran untuk mendukung kehidupan mikroorganisme yang membantu proses bioremediasinya.

Terkait pencemaran sampah, limbah rumah tangga, dan limbah di tengah masyarakat tersebut, maka perlu langkah preventif. Terkait kebiasaan masyarakat yang membuang sampah sembarangan di selokan maupun muara sungai, maka perlu adanya aturan dan sanksi yang tegas kepada oknum yang membuang sampah sembarangan tersebut. Kita bisa meniru Singapura yang mampu mengendalikan kebiasaan pembuangan sampah sembarangan. Selain edukasi sejak dini, perlu juga dibuat aturan, sistem dan mekanisme mengenai bagaimana proses pengelolaan sampah yang tepat. Faktanya, di masyarakat belum tercipta kultur pengelolaan sampah mulai dari pemilahan, pengumpulan, pengangkutan sampah, dan pengelolaan berdasarkan kategori organik, anorganik, dan bahan B3. Adanya kultur, maka overcapacity di TPA akan teratasi, karena sampah-sampah yang dari masyarakat sudah terkategori sejak awal, sehingga sampah-sampah tersebut bisa langsung diarahkan ke tempat pengelolaan khusus, tidak perlu ke TPA lagi.

Sementara untuk sampah plastik yang terlanjur menggunung di TPA, perlu mengolah sampah tersebut dengan metode bioremediasi. Sebelum melakukan langkah bioremediasi tersebut, maka di wilayah tersebut perlu dilakukan pengecekan mikroorganisme apa saja yang ada disana yang bisa dimanfaatkan untuk proses bioremediasi. Apabila di wilayah tersebut belum ada bakteri pendegradasi plastik, maka langkah “bioaugmentasi” menjadi alternatif solusi. Bioaugmentasi sendiri merupakan upaya penambahan mikroorganisme pengurai polutan ke dalam lingkungan yang tercemar untuk meningkatkan laju dekomposisi seperti stenotrophomonas maltophilia, Bacillus velezensis, dan Acinetobacter radioresistens yang dapat memecah plastik ini, bisa mempercepat penguraian sampah plastik yang ada disana. Namun, kelemahan metode ini adalah risiko ketidakcocokan mikroba dengan kondisi lingkungan atau kemungkinan mikroba tidak berkembang biak dengan efektif. Jika mikroba terlalu banyak, mereka bisa memperebutkan sumber daya dan mengurangi efisiensi. Sebaliknya, jika terlalu sedikit, proses dekomposisi bisa berjalan sangat lambat. Karena itu, perlu menghitung berapa luasan daerah yang mau dilakukan bioaugmentasi dan jumlah bakteri yang dibutuhkan atau ditambahkan ke wilayah tersebut, sehingga tidak terjadi kekurangan maupun overcapacity.

Namun, apabila di wilayah tersebut sudah ada bakteri pendegradasi plastik  atau mikroorganisme lain yang berpotensi, maka langkah biostimulasi bisa dilakukan. Biostimulasi sendiri yaitu suatu cara yang menggunakan bahan tambahan seperti nutrisi atau bahan organik untuk meningkatkan aktivitas mikroba alami dalam tanah. Jadi penambahan  nutrisi ini  dapat merangsang mikroba yang berpotensi untuk pendegradasi ini agar bisa tumbuh optimal dan lebih efektif dalam mengurai plastik yang ada di TPA.

Terkait pencemaran yang bersumber dari air cucian rumah tangga yang mengandung detergen dan mikroplastik (dari serat pakaian) dan limbah dari UMKM maupun industri, perlu membuat aturan dan program pembangunan sarana dan prasarana berupa instalasi pembuangan air limbah (IPAL) untuk mengelola limbah tersebut sebelum dibuang ke sungai. Dengan adanya IPAL (misalnya di setiap kecamatan), diharapkan limbah yang bersumber dari masyarakat maupun industri tersebut sudah layak buang ketika hendak dialirkan ke sungai ataupun laut. Jadi, pada setiap IPAL ini dilakukan bioremediasi dalam proses pengelolaan air limbahnya, dimana bisa dilakukan proses bioaugmentasi untuk menambahkan bakteri yang mampu mengurai detergen, mikroplastik, maupun mengurai senyawa lain.

Selain bioaugmentasi, mungkin bisa juga diterapkan biofilter dan fitoremediasi menggunakan bantuan tanaman air yang mampu mengurai bahan tercemat tersebut terlebih dahulu. IPAL yang terbentuk ini, nantinya bisa menjadi kontrol dalam pengendalian pencemaran. Jadi bisa diketahui dengan mudah area mana saja yang belum tertib dan dilakukan inspeksi secara berkala di setiap kecamatan misalnya. Sanksi pun akan sangat mudah diberikan kepada pihak-pihak yang melanggarnya dalam lingkup kecamatan. Apabila kecamatan A terbukti mencemari lingkungan, maka kecamatan A didenda dengan nominal yang besar. Untuk limbah yang sudah terlebih dahulu mengotori aliran sungai hingga ke laut, maka perlu adanya upaya pembersihan terhadap sampah dan polutan. Jika ukurannya besar, perlu diambil secara manual menggunakan alat. Sedangkan untuk polutan yang tidak terlihat oleh mata, maka perlu upaya tambahan menggunakan bioremediasi hingga tahap mineralisasi. Kajian dan metode untuk ini perlu dilakukan untuk memperbaiki lingkungan perairan yang semakin hari semakin mencemaskan.

Terkait pencemaran dari proses pengeboran minyak maupun terjadinya tumpahan minyak dari kapal banker, apabila terjadi kebocoran minyak maka Untuk mengatasi masalah tersebut beberapa langkah dapat dilakukan diantaranya secara mekanis (dengan menyedot atau mengambil secara manual) minyak yang tumpah tersebut; melakukan proses bioremediasi bioaugmentasi, ataupun melakukan bioremediasi biostimulasi. Beberapa bakteri yang bisa digunakan untuk bioremediasi tumpahan minyak di laut diantaranya Alcanivorax borkumensis, Pseudomonas aeruginosa, Rhodococcus erythropolis, Marinobacter hydrocarbonoclasticus dan Cycloclasticus pugetii.  Begitu juga apabila pencemaran minyak ini apabila terjadi di daratan. Proses bioaugmentasi ataupun biostimulasi juga bisa dilakukan secara in situ. Salah satuna bisa menambah bakteri Pseudomonas sp, yang mana bakteri ini memiliki kemampuan lebih untuk mendegradasi hidrokarbon poliaromatik, alkana, dan senyawa jenuh lainnya yang terdapat dalam minyak bumi dan minyak mentah.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tanah yang terkontaminasi minyak mentah/lumpur oli motor secara efektif di bioaugmentasi oleh campuran konsorsium bakteri Pseudomonas aeruginosa PP3 dan Pseudomonas aeruginosa PP4. Dengan demikian kontaminasi minyak mentah akan terselesaian dengan proses bioremediasi ini.

Dengan pengelolaan lingkungan yang efektif dan penerapan bioremediasi, maka kualitas lingkungan diharapkan akan membaik. Berbagai macam tipe pencemaran bisa diatasi dengan menerapkan proses bioremediasi di dalamnya. Hal ini untuk menghasilkan kualitas air dan tanah tempat hidup biota akan menjadi lebih baik. Apabila kualitas air baik, maka ikan yang ada di sungai, estuaria dan laut pun akan menjadi baik kualitasnya, tanpa harus takut lagi apakah terkontaminasi pencemaran atau tidak. Sehingga optimisme kita terhadap Indonesia Emas 2045 akan tercapai dengan kualitas SDM dan lingkungan yang sehat.

 

MHD IQBAL

Mahasiswa Program Magister Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular