
SEMARANG, CAKRAWARTA.com – Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali menyingkap rapuhnya tata kelola lingkungan di Indonesia. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 27 Desember 2025 mencatat 1.138 orang meninggal dunia, 163 orang hilang, dan 449.846 warga terpaksa mengungsi akibat rangkaian banjir dan tanah longsor.
Bagi banyak pihak, angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan cermin kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan ekologis. Bencana yang berulang di wilayah Sumatera itu dinilai menjadi alarm keras bagi negara untuk meninjau ulang cara pandang terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
Merespons situasi tersebut, Pengurus Pusat Pergerakan Mahasiswa Moderasi Beragama dan Bela Negara (PP PMMBN) menggelar “Workshop Ekoteologi” di Aula Fakultas Kedokteran Kampus II Universitas Wahid Hasyim, Semarang, Sabtu (27/12/2025). Kegiatan ini bertujuan menggugah kesadaran publik agar bencana tidak lagi dipahami semata sebagai takdir alam, melainkan sebagai konsekuensi dari pilihan kebijakan dan perilaku manusia terhadap lingkungan.
Ketua Umum PP PMMBN, Derida A. Bil Haq, menilai bencana di Aceh dan Sumatera tidak dapat dilepaskan dari persoalan struktural, khususnya lemahnya pengawasan kawasan hutan dan daerah resapan air. Ia merujuk pada data yang menunjukkan bahwa hampir 99% bencana sepanjang 2023-2024 merupakan bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir dan tanah longsor.
“Bencana ini tidak sepenuhnya dipicu oleh cuaca ekstrem. Kerusakan hutan, pembalakan liar, serta alih fungsi lahan yang tidak terkendali ikut memperparah dampaknya,” ujar Derida.
Menurut PMMBN, realitas tersebut mencerminkan kegagalan serius dalam tata kelola lingkungan yang seharusnya menjadi benteng perlindungan masyarakat. Karena itu, organisasi mahasiswa ini mendorong pendekatan ekoteologi, yang memadukan kesadaran ekologis dengan nilai-nilai spiritual dan kebangsaan.
“Sudah saatnya membela negara dimaknai lebih luas. Tidak hanya soal keamanan, tetapi juga tentang menjaga alam sebagai ruang hidup bersama. Inilah yang kami sebut sebagai jihad ekologis,” kata Derida.
Pandangan senada disampaikan Ni’am Azhari dari Bidang Kajian Strategis PP PMMBN. Ia menjelaskan bahwa workshop tersebut dirancang sebagai ruang dialektika untuk membedah krisis etika di balik eksploitasi alam yang terus berulang.
“Kami ingin mahasiswa memiliki kepekaan ekologis sebagai bagian dari iman dan cinta tanah air. Spiritualitas tidak boleh berhenti pada ritual, tetapi harus hadir dalam tanggung jawab sosial dan ekologis,” ujarnya.
Sebagai narasumber utama, Akhmad Fauzan Hidayatullah menegaskan bahwa banyak bencana di Indonesia berkaitan erat dengan rusaknya sistem ekologis. Menurut CEO CFS Environmental Institute itu, krisis lingkungan juga mencerminkan krisis cara pandang manusia terhadap alam.
“Kita masih terjebak pada paradigma antroposentris yang memosisikan alam semata sebagai objek eksploitasi. Padahal, manusia memiliki amanah moral sebagai penjaga dan pelestari bumi,” katanya.
Melalui diskusi dan forum kelompok terarah (FGD), peserta didorong untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang akan menjadi pijakan PMMBN dalam mengawal isu lingkungan ke depan. Rangkaian kegiatan ditutup dengan penyerahan puluhan bibit pohon kepada peserta sebagai simbol komitmen aksi nyata.
Penyerahan bibit tersebut menandai bahwa gagasan jihad ekologis tidak berhenti pada wacana, tetapi diwujudkan melalui tindakan konkret di tingkat lokal.
Workshop Ekoteologi yang diinisiasi PP PMMBN ini diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai daerah di Jawa Tengah, melibatkan pengurus wilayah, komisariat, organisasi kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan, serta masyarakat umum.(*)
Kontributor: Tommy
Editor: Abdel Rafi



