Thursday, April 25, 2024
HomeEkonomikaBenarkah Perubahan Tarif KRL Bisa Picu Konflik Sosial? Ini Jawaban Sosiolog

Benarkah Perubahan Tarif KRL Bisa Picu Konflik Sosial? Ini Jawaban Sosiolog

Masyarakat pulang kerja naik KRL. Saat ini ada isu kenaikan tarif KRL berdasarkan status ekonomi penumpangnya sehingga menimbulkan pro dan kontra. (foto: bustomi/cakrawarta)

 SURABAYA – Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berencana melakukan pembedaan tarif kereta rel listrik (KRL) berdasarkan status ekonomi penumpang. Penumpang dengan status kaya harus membayar tarif normal, sementara penumpang dengan status ekonomi rentan hingga miskin akan tetap mendapatkan subsidi. Meski seolah-olah memihak masyarakat kelas bawah, tetapi kebijakan tersebut menuai pro-kontra dari berbagai kalangan.

Pakar sosiologi Universitas Airlangga Prof. Dr Bagong Suyanto, M.Si mengatakan bahwa penggolongan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam penentuan kebijakan publik, terlebih lagi hal itu berkaitan dengan penyesuaian subsidi.

“Yang harus diingat pemerintah adalah realitas dimana kelas sosial dan status ekonomi merupakan isu sensitif di Indonesia. kalau dibedakan begitu, dengan penggunaan istilah si kaya dan si miskin, mungkin saja bisa menyakiti hati kalangan tertentu,” kata Prof Bagong, dalam keterangan yang diterima redaksi cakrawarta.com, Rabu (4/1/2023).

Berbagai pihak cenderung menyangsikan wacana perubahan tarif KRL tersebut. Tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga dari aspek sosial, seperti potensi munculnya konflik horizontal di masyarakat. Meski demikian, Prof Bagong beranggapan bahwa kebijakan itu tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.

Dengan status ekonomi yang dimiliki, kelas menengah ke atas sudah seharusnya memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Sehingga, hal itu diharapkan dapat menekan terjadinya konflik dan gesekan di masyarakat.

“Kalau memicu konflik saya kira tidak. Saya kira mereka yang dari golongan kelas menengah ke atas itu bukan pihak yang menuntut apa yang telah dibayarkan. Artinya mereka juga harus tahu dan paham arah tujuan kebijakan ini,” imbuhnya.

Lebih lanjut, menurut Prof Bagong, pemerintah justru perlu waspada terhadap munculnya reaksi berbeda dari golongan masyarakat dengan status ekonomi rentan hingga miskin. Penggolongan masyarakat miskin secara eksplisit dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sakit hati.

“Justru yang mengkhawatirkan itu perasaan masyarakat miskin jika mereka terekspose seolah-olah statusnya itu membebani. Mungkin harus dicari istilah lain. Atau mungkin juga pembuatan tiket khusus sebagai penanda bagi mereka yang mampu dan kurang mampu,” jelasnya.

Menurut Prof Bagong, penggunaan istilah ‘berdasi’, ‘si miskin’ dan ‘si kaya’ merupakan hal yang tidak perlu. Tidak heran apabila kebijakan itu menimbulkan berbagai reaksi lantaran penggunaan terminologi yang kurang tepat.

“Menurut saya, ini perkara terminologi saja. Saya rasa pemerintah itu sebenarnya berpikiran bahwa kelas menengah ke atas bisa membantu kelas yang di bawahnya, tetapi kata yang digunakan memang kurang pas, kurang bijak,” jelasnya.

Karena itu, Prof Bagong meminta pemerintah hendaknya berhati-hati dalam memilih terminologi. Pemerintah perlu lebih bijak mengutarakan maksud dan tujuannya agar tidak memicu kegaduhan masyarakat.

“Saya rasa yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah bisa menyampaikan wacana ini dengan pemilihan terminologi yang tepat sehingga tidak memicu ketersinggungan atau kegaduhan,” tandasnya mengakhiri keterangan.

(mar/pkip/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular