Monday, May 20, 2024
HomeEkonomikaBenarkah Pasar Sepi Imbas Tiktok Shop, Beginilah Sederet Faktanya

Benarkah Pasar Sepi Imbas Tiktok Shop, Beginilah Sederet Faktanya

Aksi seorang Influencer di Tiktok Shop, Rabu (4/10/2023). Mulai hari ini pukul 17.00 WIB, Tiktok Shop mengikuti aturan pemerintah Indonesia, akan berhenti beroperasi. (foto: tangkapan layar/cakrawarta)

SURABAYA – Pasar sepi pembeli belakangan ini masih menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Hal itu mencuat setelah para pedagang di Pasar Tanah Abang Jakarta beramai-ramai menunjuk TikTok Shop sebagai dalang dari permasalahan mereka.

Menanggapi hal itu, pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang memisahkan media sosial dengan lokapasar. Imbasnya, para penjual yang sebelumnya banyak menggunakan TikTok sebagai tempat berjualan melalui siaran langsung kini tidak lagi dapat melakukannya.

Menurut ekonom Made Gita Nadya Ayu Ariani, kini masyarakat membeli barang bukan untuk menggunakannya semata, tetapi juga untuk mengejar status sosial dengan membeli barang dari para influencer.

“Yang mereka kejar bukan hanya kebutuhan barangnya, tapi status sosial yang mereka dapatkan ketika seolah-olah ‘berinteraksi’ dengan para artis,”  jelasnya pada media ini.

Bahkan, tidak jarang sejumlah pembeli akan melakukan perekaman dan membagikannya di media sosial. Hasilnya, para influencer memperoleh pendapatan yang tinggi dari siaran langsungnya yang berbanding terbalik dengan pendapatan pedagang di pasar tradisional.

Menurutnya, keputusan untuk menghentikan TikTok sebagai tempat berjualan bukanlah terobosan yang efektif. Hal itu menjadikannya seolah-olah menolak kemajuan teknologi yang tentunya tidak dapat terbendung. Ia juga berkaca pada tahun-tahun sebelumnya saat pemerintah berusaha melindungi keberadaan angkutan konvensional dari angkutan online.

“Sama seperti lima-enam tahun yang lalu, pemerintah berusaha melindungi ojek, angkutan, dan taksi konvensional dari serbuan ojek online yang mana tidak berhasil juga sebenarnya,” ujarnya.

Di satu sisi, Gita melihat sejumlah pihak terlalu menyederhanakan karena menganggap TikTok sebagai satu-satunya dalang dari sepinya pasar. Padahal, di sana juga banyak pelaku UMKM lain yang tidak berkesempatan untuk berjualan karena tidak punya tempat dagang.

“Jadi sebenarnya teknologi ini justru membantu UMKM lainnya yang tidak punya akses ke pasar. Cukup punya e-mail, buka akun, sudah bisa berjualan,” ungkapnya.

Gita mengungkapkan jika penjualan melalui TikTok Shop bukanlah satu-satunya penyebab sepinya pasar tradisional. Kenyamanan menjadi salah satu faktor lain yang membuat pembeli beralih dari pembelian konvensional ke pembelian online.

“Kadang helm hilang, mobil baret, suasananya juga ga nyaman, panas, desak-desakan, orang nawarin barang juga seenaknya, itu yang membuat orang justru enggan ke sana,” ujarnya.

Untuk mengatasinya, pemerintah perlu melakukan kolaborasi bersama pedagang untuk menciptakan kenyamanan agar masyarakat kembali ke pasar. Lebih lanjut, pedagang juga sebaiknya beradaptasi dan tidak hanya terpaku pada model pemasaran konvensional sedangkan teknologi terus berkembang.

“Pelaku usaha juga jangan hanya terpaku pada model pemasaran konvensional. Sebenarnya banyak juga pelatihan dari pemerintah tentang digital marketing,” sebutnya.

Maka dari itu, ketika mereka mulai berjualan di lokapasar tentu tidak sebatas mengunggah dagangannya. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga ini pun menyarankan kepada pedagang untuk mulai rutin membuat konten terkait dagangannya sehingga dapat menarik masyarakat untuk membelinya.

(pkip/mar/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular