Friday, April 19, 2024
HomeGagasanBedhaya Semang dan Pemahaman Kewilayahan

Bedhaya Semang dan Pemahaman Kewilayahan

Bedhaya Semang. Arti harafiahnya adalah kegelisahan atau kekhawatiran. Sedangkan Bedhaya adalah tarian sakral dan penting di Kraton Yogyakarta. Tarian yang sangat lembut dengan tempo lambat dengan durasi dua hingga empat jam. Dipentaskan oleh enam, tujuh, hingga sembilan penari putri. Hingga bedhaya ini sendiri masuk ragam beksan putri di Kraton Yogyakarta.

Tari Bedhaya, bukan hanya sekedar tarian. Tetapi merupakan sarana atau media dari penciptanya untuk menyampaikan pesan kerajaan dan juga penanda zaman.

Sultan Agung Hanyokrokusumo(1593-1645), Raja ketiga dari Kasultanan Mataram yg telah berdiri sejak Abad ke-8, mungkin menjadi salah satu Raja Mataram yang terkenal karena sepak terjangnya untuk Mataram dan Nusantara. Kekuasaan Kerajaan Mataram di era Sultan Agung saat itu, meliputi seluruh Tanah Jawa (Kecuali Banten dengan pelabuhan utamanya Sunda Kelapa di Jayakarta), Madura, Palembang, Jambi, dan Kalimantan. Sultan Agung mengelola wilayah-wilayah kekuasaannya tersebut dengan titik tumbuhnya di pelabuhan-pelabuhan.

Terkenal sebagai sosok yang lugas, dengan cara bicara apa adanya, cenderung dianggap kasar, Sultan Agung ternyata adalah ahli strategi dan pemikir yang visioner. Pemikirannya terutama relasi dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi wilayahnya ditulis dalam Sastra Gendhing. Untuk menjelaskan arahannya kepada patih dan pengikutnya, Bedhaya menjadi media yang paling sering digunakan untuk menjelaskan  tactical ground floor (TGF) TACTIC (TGF) kalau bahasa yang awam digunakan TNI atau Polisi saat ini. Strategi pengendalian kewilayahan.

Jangan heran, Sultan Agung yang terkenal kasar itu menciptakan banyak Bedhaya, yaitu: Bedhaya Bedah Mediun (Perlawanan dalam Pemberontakan Madiun ke Mataram); Bedhaya Arjuna Wiwaha (mengisahkan babak Baratayudha pada segmen Pernikahan Arjuna dengan Supraba); dan Bedhaya Semang.

Yang terakhir ini, merupakan Bedhaya yang diciptakan karena kegelisahan Sultan Agung melihat kondisi perbatasan kerajaannya dengan Kerajaan Pasundan, yang berada dibawah kekuasaan Kasultanan Banten. Sehingga diutuslah, Ki Tumenggung Nampabaya dan Ki Tumenggung Lirbaya untuk melakukan perjalanan ke perbatasan negara dengan Kerajaan Pasundan. Dua utusan ini bertugas untuk membuat kikis sebagai tapal batas dua kerajaan.

Selama perjalanan, kedua kakak beradik yang merupakan utusan Sultan Agung ini, mengikuti jejak Badak sebagai penunjuk jalan. Sehingga mereka melewati wilayah-wilayah yang kini kita kenal dengan nama Banyumas, Kendal, Tegal, Cirebon, dan Sumedang.

Kedua utusan tersebut sekaligus melakukan babad alas dan menyapa masyarakat yang selanjutnya mengikuti langkah mereka. Menitipkan wilayah-wilayah tersebut kepada masyarakatnya, mengajari mereka tandur dan Mataram akan memberikan perlindungan keamanan dari gangguan yang sering datang dari Kerajaan Pasundan karena masalah tapal batas yang sumir.

Setiap kegiatan terkait tapal batas dengan Kerajaan Pasundan, sebagai bagian dari Kasultanan Banten inilah yang menimbulkan SEMANG atau rasa kegelisahan pada Sultan Agung. Terutama kekhawatiran akan rakyat dan wilayahnya. Semua pergerakan utusan Sultan Agung itu, mengikuti TGF dari Bedhaya Semang. Yang disaksikannya sejak sebelum berangkat misi memasang kikis.

Selanjutnya,berdasarkan sumber dari sastrawan Sunda yang bernama Yuhana alias Joehana, Ki Tumenggung Nampabaya, diterima sebagai Pangeran di Kerajaan Pasundan dan diberi wilayah Cihaya,  tepian Sungai Citarum. Yang kini menjadi bagian wilayah Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Daerah bebas perdagangan antara Kraton Mataram dan Kerajaan Pasundan.

Lirbaya kembali ke Mataram yang berpusat di Kotagede, Yogyakarta saat itu. Dan ketika Sultan Agung, pada tahun 1625 hendak melakukan penyerangan ke Batavia, atas bantuan permintaan Kasultanan Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa. Lirbaya lah yang menjadi panglima perangnya.

Jalur-jalur babad alas yang ditempuh oleh Lirbaya dan kakaknya Nampabaya yang diinisiasi dari Bedhaya Semang menjadi jalur militer dan jalur logistik kekuatan Mataram melawan VOC.

Jalur-jalur tersebut kini pun masih berfungsi bagi Indonesia, untuk jalur logistik di Pulau Jawa. Wilayah Pangdam Diponegoro dan Pangdam Siliwangi.

Nusantara luar biasa. Kenali sejarah wilayah kita dengan benar. Tugas utama kita saat ini, membaca ulang Kepulauan Nusantara untuk paham potensi wilayah sendiri yang sesungguhnya.

Peninggalan sejarah fisik dan non fisik harus dibaca dan dipahami dengan jernih. Mitos, Pamali dan hal-hal yang dianggap tidak masuk akal orang-orang jaman now, tak lepas hanyalah karena keterbatasan pemahaman banyak orang kala itu, macam hoax kalau jaman sekarang.

 

ARUM KUSUMANINGTYAS

Pengamat Kebijakan Publik dan Pemerhati Isu Sosial

RELATED ARTICLES

Most Popular