Kualitas demokrasi menunjukkan trend merosot selama dua periode pemerintahan Jokowi. Karut marut mahkamah konstitusi dan munculnya politik dinasti merupakan puncak dari kemunduran demokrasi. Di era ini kembali terwujud stabilitas politik sebagaimana dipahami pada masa era orde baru. Stabilitas dimengerti sebagai apa yang dimaui pemerintah dapat disetujui dan tercapai dengan tanpa perdebatan dan hambatan yang panjang. Di era ini tercatat rekor pengesahan UU tercepat yakni UU IKN yang disahkan dalam waktu kurang dari dua pekan. DPR hanya mengesahkan apa yang diusulkan pemerintah. Kritik, ide dan gagasan yang berbeda dari yang diprogramkan pemerintah seperti angin berlalu. Suara rakyat yang berbeda tidak lagi menemukan salurannya.
Sejalan dengan momentum pilkada dan pilpres masyarakat semakin mengalami pembelahan. Kelompok pro pemerintah dan kritis terhadap pemerintah terus bergontok-gontokan di berbagai media. Lahirnya gerakan 212 karena adanya dugaan seseorang yang melakukan penodaan agama adalah hal yang biasa.Demo 212 juga berjalan tertib dan damai. Tuntutan 212 juga rasional bahwa yang bersalah dalam dugaan penodaan agama diproses hukum seterang terangnya. Proses hukum kemudian berjalan sampai akhirnya pengadilan menyatakan adanya pelanggaran penodaan agama. Baik pendemo dan yang dituntut akhirnya sama-sama menerima. Tetapi ternyata persoalan tidak berhenti di situ. Gerakan 212 menjadi episentrum pertempuran antara dua kubu pro pemerintah dengan kelompok kritis. Pemerintah mengembangkan narasi perlunya kewaspadaan akan bangkitnya politik identitas, adanya kelompok intoleran yang membahayakan NKRI. Kelompok 212 yang tadinya diisi oleh seluruh golongan umat Islam termasuk NU seperti KH. Ma’ruf Amin terbelah. Yang tersisa adalah Front Pembela Islam yang secara militan menyatakan sikap kritisnya pada pemerintah. Pancasila kembali digunakan sebagai alat kekuasaan sebagaimana terjadi pada masa orde baru. Anggota masyarakat yang kritis terhadap pemerintah kembali dicap sebagai kelompok masyarakat yang tidak Pancasilais.
Keterbelahan masyarakat dan penundukan terhadap masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah semakin diperburuk dengan posisi PKB-NU yang berada dikoalisi pemerintah dan PKS di luar pemerintah sebagai partai ‘oposisi’. Anggota PKB dan PKS di masyarakat muslim memiliki potensi koflik horizontal karena perbedaan madzhab dan pandangan keagamaan. Potensi konflik tersebut berkembang menjadi akut karena perbedaan posisi dihadapan koalisi Pemerintah. Posisi berhadap-hadapan tersebut mencapai klimaks pada pilpres 2019 yang memasangkan Jokowi dengan KH. Makruf Amin yang merupakan Rais Syuriah PBNU sebagai calon wakil presiden. Pasangan Jokowi KH Ma`ruf Amin berhadapan head to head dengan pasangan Prabowo Sandi yang didukung PKS. Persaingan pilpres merembet menggunakan narasi perbedaan madzhab keagaamaan antara PKB dan warga NU dengan PKS dan kelompok Islam modernis.
Wacana rekonsiliasi antara kelompok kontra dengan pro dengan masuknya Prabowo-Sandi yang merupakan rival pasangan Jokowi-KH. Ma`ruf Amin ke dalam pemeritahan Jokowi setelah pilpres 2019 merupakan wacana yang tidak jelas dan kabur. Akar keterbelahan masyarakat bukan karena karena pilpres dan juga bukan karena konflik horinzontal adanya perbedaan madzhab keagamaan. Pro kontra di masyarakat karena penundukan masyarakat yang kritis oleh yang berkuasa. Dengan demikian masukknya Prabowo-Sandi ke Pemerintah Jokowi bukan solusi keterbelahan masyarakat. Alih alih terjadi rekonsiliasi, yang terjadi justru pemerintah semakin menunjukkan taring kekuasaannya. Kelompok yang terorgansir sebagai pro Jokowi semakin merasa di atas angin dengan mengintai semua tindakan masyarakat sipil yang kritis dan siap melaporkan ke polisi bila dipandang ada yang melawan pemerintah sehingga kelompok masyarakat sipil yang kritis berada dalam posisi yang tidak nyaman. Conto ketidak nyamanan kelompok kritis adalah terjadinya kasus KM 50 yang tidak jelas hingga kini duduk perkaranya yang berujung pada pembubaran ormas FPI tanpa pengadilan. Fenomena yang sering terjadi pada masa orba.
Kekaburan gagasan rekonsiliasi antara kubu Jokowi dengan Prabowo nampaknya ditangkap oleh para kyai khos NU yang memiliki kedalaman spiritual dan kearifan. Beberapa kyai khos merekomendasikan kepada cak Imin agar berpasangan dengan Anis Baswedan dan mengurungkan niatnya untuk berpasangan dengan Prabowo. Cak Imin yang menjadi ketua umum PKB yang menjadi bagian koalisi pemerintah Jokowi sontak kaget dengan rekomendasi tersebut. Cak Imin masih memandang Anis Baswedan sebagai figur yang kontra pemerintah Jokowi. Respon cak imin ketika mendapat rekom dari kyai agar berpasangan dengan Anis Baswedan, “lo lo gak bahaya ta ini”. Hal itu karena Anis Basweadan dipetakan dalam gerbong yang tidak hanya kontra pemerintah tetapi juga kontra NU. Meskipun cak Imin merasa belum bisa menerima rekom tersebut, namun karena akar jiwanya dan partainya kepada Kyai sebagai ulama panutan maka rekom tersebut akhirnya menjadi dasar cak Imin menerima pinangan untuk berpasangan dengan Anis Baswedan. Pasangan Anis Muhamimin akhirnya juga menjodohkan antara PKB dengan PKS di antara partai pengusung pada ajang pilpres 2024.
Koalisi PKB dan PKS yang memasangkan Anis Baswedan dengan cak Imin memungkinkan untuk menjadi koalisi yang tidak hanya bersifat pragmatis untuk memenangi pilpres 2024, apabila dibangunkan pondasi ideologis yang kokoh. Hasil istikharah ulama harus dapat dijelaskan dengan argument rasional sehingga keputusan yang diambil dapat diterima berbagai pihak secara ilmiah dan bijaksana bukan secara emosional semata. Godaan pilpres dalam sistem demokrasi adalah persoalan elektoral atau popularitas dan tingkat keterpilihan calon di masyarakat yang dapat diukur dengan surve. Cak Imin dengan PKB yang merupakan partai besutan NU, diharapkan dapat mendongkrak suara Anis dari basis pemilih NU di Jawa Timur dan Jawa Tengah di mana suara Anis masih lemah. Namun kemenangan pilpres akan kurang bobot apabila perjodohan paslon hanya atas pertimbangan elektabilitas. Irisan ideologi kedua partai perlu dipertimbangkan sehingga koalisi tidak bersifat pragmatis . Untuk itu sangat tidak memadai argumen yang mendasari perjodohan paslon hanya karena kebutuhan untuk mendongkrak elektabilitas paslon.
Pencarian dasar yang melampui alasan pragmatis untuk koalisi PKB dengan PKS Setidaknya memiliki dua urgensi makna, pertama, Konflik sosial keagamaan di tengah masyarakat yang menghadap-hadapkan PKB dengan PKS karena pembelahan pro dan kotra pemerintah dan perbedaan madzhab keagamaan harus dicerahkan. Hubungan antar warga internal umat Islam yang memang memiliki akar perbedaan madzhab keagamaan tidak terus diperparah oleh dinamika politik. Partai politik tidak menunggangi dinamika internal umat beragama sehingga tidak memperburuk hubungan antar anggota dalam masyarakat yang berbeda-beda madzhab dan afiliasi pemikiran keagamaan. Kedua, Partai politik yang memiliki afiliasi atau akar dari nilai-nilai Islam dapat tumbuh menjadi partai modern. Partai-partai ‘Islam’ menjalankan obyektivikasi dimana nilai-nilai Islam dapat diterjemahkan ke dalam sistem politik yang dapat diterima oleh semua warga bangsa yang berbeda-beda latar belakang keagamaan, budaya dan suku. Agama bukan alat politik untuk sekedar mendongkrak elektabilitas dan juga bukan alat berkuasa dengan mempolitisasi perbedaan madzhab keagamaan dan memecah belah warga bangsa. Agama memberikan dasar-dasar fundamental kemajuan bangsa.
PKB dan PKS secara fundamental memiliki kesamaan sumber nilai yakni Islam. Kelompok Islam yang beragam madzhab keagamaan dan beragam pemikiran politik di Indonesia telah bersepakat untuk menurunkan nilai-nilai Islam itu dalam dasar-dasar negara Indonesia yakni Pancasila. Pancasila secara umum adalah titik tema dari ragam nilai seluruh warga Indonesia yang plural. Namun secara internal umat Islam, Pancasila juga dimaknai sebagai kalimatun sawa` antar berbagai golongan dalam Islam. Semua golongan dalam Islam di Indonesia memandang sila pertama Pancasila, yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah tauhid. Kesamaan pandangan dalam internal Islam tersebut memiliki akar historis yang kokoh bahwa kelompok kelompok dalam Islam memiliki wakil yang kompak dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Wakil-wakil kelompok Islam menjadi anggota dalam merumuskan dasar negara di BPUPKI . Kelompok Islam kompak dengan usulannya mengenai dasar negara pada 22 Juni 1945 yang dikenal dengan Piagam Jakarta dan tetap kompak menghadapi usulan revisi hingga disahkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kekompakan golongan Islam yang beragam latar belakang madzhab keagamaan dalam mempersiapkan dokumen kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari usaha sungguh-sungguh dari para tokoh Islam, untuk mewujudkan persatuan melawan kolonialisme. Melalui muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, KH Hasyim Asy`ari sudah menggariskan satu metodologi bagaimana menyatukan kekuatan Islam yang beragam madzhab. Begitu istimewa pemikiran KH Hasyim Asy`ari tersebut sebagai tonggak umat Islam menyatukan kekuatan melawan kolonialisme hingga Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 memberi catatan dengan mengutip langsung pernyataan KH. Hasyim Asy`ari tersebut. Seruan persatuan Islam tersebut mewujud dalam gerakan Islam bersatu untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Koalisi PKB dengan PKS harus berangkat dari kesamaan landasan nilai dan ideologis di atas bahwa kedua partai berakar dari nilai yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap Pancasila karena penduhulu kedua partai ini adalah yang turut serta merumuskan dasar negara. Kesadaran bersama untuk membangun pondasi koalisi yang berdasar kesamaan nilai-nilai fundamental sangat penting untuk kemajuan demokrasi dan bangsa sehingga tidak lagi terulang politik yang memainkan agama. Kemajuan pemikiran Islam yang berintegrasi dan berinterkoneksi dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dewasa ini membuka peluang partai-partai politik yang berakar pada nilai Islam berkembang menjadi partai modern. Identitas partai tidak mesti identik dengan identitas keagamaan. Partai yang berakar pada nilai Islam tidak harus menyebut dirinya sebagi partai Islam. Tetapi gagasan dan kebijakan-kebijakan yang diperjuangkan sejalan dengan tujuan hidup berbangsa yang digariskan dalam Islam. Nilai-nilai agama akan menjadikan partai politik berbeda visi misi perjuangannya. Partai yang bersumber pada nilai Islam akan siap bersaing memenangi konstestasi politik karena persaingan antar partai tidak lagi bersifat emosional tetapi rasional. Wallohu A`lam.
ANWAR MUJAHIDIN
Peneliti Studi Islam dan Pemikiran Politik Islam