
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Perubahan itu tidak diumumkan. Tidak pula disertai konferensi pers atau siaran resmi. Namun sejak akhir Oktober hingga awal Desember 2025, sesuatu bergerak diam-diam di dalam Kantor Staf Presiden (KSP). Perubahan itu pelan, senyap, tetapi terasa bagi mereka yang bekerja di dalamnya.
Sejumlah Tenaga Profesional KSP diberhentikan lebih awal, meski kontrak mereka sejatinya masih berlaku hingga 31 Desember 2025. Pemutusan kerja dilakukan pada dua fase yaitu 31 Oktober dan 1 Desember, tanpa penjelasan terbuka kepada publik. Bahkan di lingkungan internal, prosesnya nyaris tanpa suara.
Informasi ini diterima redaksi melalui surat elektronik dari seorang pengirim anonim yang menyebut dirinya “rakyat yang peduli pada negaranya”. Nada pesannya tenang, tidak provokatif, namun menyimpan keprihatinan mendalam terhadap arah lembaga yang seharusnya menjadi pengawal utama kebijakan Presiden.
Sumber tersebut menggambarkan bahwa sebelum pergantian Kepala KSP, situasi lembaga relatif kondusif. Para Tenaga Profesional, sebagian di antaranya purnawirawan jenderal dan perwira tinggi. bekerja dengan pembagian peran yang jelas dan pengalaman panjang dalam birokrasi maupun keamanan nasional.
Namun setelah pergantian kepemimpinan, pola itu disebut berubah. Hampir seluruh jenderal yang sebelumnya menjabat sebagai Pelaksana Tugas Deputi maupun Tenaga Profesional tidak diperpanjang kontraknya. Mereka digantikan secara perlahan oleh figur-figur baru yang disebut berasal dari lingkaran dekat pimpinan KSP.
“Pergantiannya senyap, tapi dampaknya besar,” tulis sumber tersebut.
Menurutnya, pengganti yang masuk dinilai minim pengalaman dan belum memiliki rekam jejak yang memadai untuk posisi strategis setingkat KSP. Jika benar, perubahan ini bukan sekadar rotasi biasa, melainkan pergeseran mendasar dalam cara lembaga ini dikelola.
Sorotan lain tertuju pada peran Staf Khusus. Dalam pesan tersebut, seorang Stafsus berinisial TIT disebut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pengambilan keputusan personalia. Bahkan, kewenangannya disebut melampaui struktur formal, termasuk Wakil Kepala KSP.
Nama TIT juga dikaitkan dengan dua isu sensitif. Pertama, dugaan pelecehan seksual secara verbal terhadap sejumlah Tenaga Profesional perempuan di lingkungan KSP. Hingga kini, tidak ada klarifikasi terbuka atau mekanisme etik yang diketahui publik terkait dugaan tersebut.
Kedua, TIT disebut pernah menjadi saksi dalam perkara suap hakim agung yang tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta mengembalikan uang sebesar Rp200 juta ke KPK. Meski statusnya masih sebagai saksi dan bukan tersangka, fakta ini menimbulkan pertanyaan etik mengenai standar integritas di lingkar kekuasaan strategis negara.
KSP dan Taruhan Profesionalisme
Kantor Staf Presiden bukan sekadar unit administratif. Lembaga ini dibentuk untuk memastikan program prioritas presiden berjalan, mengoordinasikan lintas kementerian, sekaligus menjadi penyaring utama informasi strategis.
Karena itu, kualitas sumber daya manusia di KSP selalu menjadi soal krusial. Profesionalisme, pengalaman, dan integritas bukan sekadar nilai tambah, melainkan prasyarat utama.
Jika benar terjadi penggantian besar-besaran terhadap figur-figur berpengalaman tanpa penjelasan transparan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya karier individu, melainkan kualitas pengambilan kebijakan nasional. Lebih jauh, perubahan senyap semacam ini berisiko menggerus kepercayaan internal dan publik terhadap lembaga itu sendiri.
Menariknya, pengirim pesan tidak meminta kegaduhan. Ia justru berharap media menelusuri informasi ini secara cermat dan bertanggung jawab. “Saya tidak ingin kegaduhan,” tulisnya. “Jika memang benar, sampaikan kepada publik dengan bijaksana.”
Ia menyebut dorongan utamanya adalah keprihatinan terhadap Presiden Prabowo. Baginya, KSP seharusnya diisi oleh orang-orang terbaik yang berpengalaman, berintegritas, dan mampu menjaga marwah lembaga negara.
Hingga berita ini ditulis, belum ada penjelasan resmi dari Kantor Staf Presiden terkait alasan pemutusan kontrak sebelum masa berakhir, mekanisme rekrutmen pengganti, maupun dugaan pelanggaran etik yang disebutkan.
Dalam negara demokratis, pergantian pejabat adalah hal lumrah. Namun ketika perubahan itu berlangsung diam-diam, tanpa penjelasan publik, dan disertai isu integritas, maka pertanyaan menjadi keniscayaan.
Ada yang berubah di Kantor Staf Presiden. Perubahannya senyap. Tapi justru karena itulah, publik berhak mengetahui arahnya, yang jelas bukan untuk gaduh, melainkan untuk memastikan negara tetap dijalankan oleh orang-orang yang layak dipercaya. Semoga. (*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



