
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Bagi Daruti Dinda Nindarwi, mengajar di kampus bukanlah titik akhir pengabdian seorang akademisi. Ia memilih melangkah lebih jauh yakni membawa ilmu akuakultura keluar dari ruang kelas, menurunkannya ke kolam-kolam budidaya, dan menjadikannya fondasi bagi tumbuhnya industri perikanan yang berkelanjutan.
Saat ini, Dinda menjalani dua peran sekaligus. Ia mengabdi sebagai dosen akuakultura di Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Universitas Airlangga, sekaligus menjadi pendiri perusahaan nasional yang bergerak di sektor budidaya perikanan. Dua dunia itu, baik akademik dan industri, tidak ia pisahkan, melainkan ia rajut sebagai satu kesatuan.
“Bagi saya, ilmu pengetahuan akan menemukan maknanya ketika diterapkan,” kata Dinda, Selasa (30/12/2025). Sejak awal, dorongan itu berangkat dari keinginannya untuk tidak hanya menguasai teori, tetapi juga menciptakan dampak nyata. Cita-cita menjadi entrepreneur telah ia miliki sejak kecil, dan ilmu akuakultura menjadi pijakan utama untuk mewujudkannya.
Selepas menyelesaikan studi di FPK Unair, Dinda memilih tidak tergesa-gesa membangun usaha. Ia bekerja di sejumlah perusahaan untuk mengumpulkan pengalaman, memahami dinamika industri, serta membangun jejaring. Dari proses itu, keyakinannya kian menguat bahwa sektor perikanan, khususnya akuakultura, menyimpan potensi ekonomi jangka panjang.
“Bidang ini sangat luas. Banyak pelaku usahanya justru bukan berasal dari latar belakang perikanan. Di situlah saya melihat peluang besar,” ujarnya.
Keputusan mendirikan perusahaan di sektor budidaya perikanan tidak datang tanpa keraguan. Di awal, ia menyadari keterbatasan yang dimiliki, mulai dari modal, pelanggan, hingga pengalaman teknis di lapangan. Namun, tantangan terbesar justru datang dari dalam diri.
“Saya bukan berasal dari keluarga pebisnis. Jadi yang harus saya latih pertama kali adalah kedisiplinan, keberanian keluar dari zona nyaman, dan kemampuan memimpin diri sendiri,” tuturnya.
Tantangan lain muncul ketika konsep yang telah disusun secara akademik harus diuji di lapangan. Menurut Dinda, jarak antara perencanaan dan pelaksanaan sering kali sangat jauh. “Eksekusinya yang paling berat. Ada banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan seperti cuaca, musim, sumber daya manusia, hingga faktor sosial,” katanya.
Namun, proses panjang itu perlahan membuahkan hasil. Usaha yang semula hanya beroperasi di satu lokasi dengan sepuluh pekerja kini berkembang menjadi perusahaan dengan empat lokasi operasional dan total 98 karyawan. Bagi Dinda, pertumbuhan itu bukan sekadar angka, melainkan bukti bahwa ilmu yang dikelola dengan konsisten dapat menjadi penggerak industri.
Sebagai alumnus sekaligus dosen FPK Unair, Dinda kerap merefleksikan perjalanan akademiknya. Ia menilai, keterhubungan antara kampus dan industri masih perlu diperkuat. Jika dapat mengulang masa kuliah, ia mengaku ingin lebih banyak terlibat langsung dengan dunia usaha sejak dini.
“Pengalaman lapangan, magang, dan interaksi dengan industri itu modal intelektual yang sangat penting,” katanya.
Kepada mahasiswa, Dinda berpesan agar tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar di bidang yang sarat potensi ini. “Kalian sudah berada di jalur yang tepat. Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang luar biasa, tetapi yang menggarapnya secara serius masih belum banyak. Ini ladang emas,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya kesabaran dalam proses, keberanian mengambil risiko, serta kesiapan menghadapi kegagalan. “Berjuang memang tidak mudah. Tetapi tidak ada cerita orang berjuang lalu tidak berhasil. Harus berani mencoba dan berani jatuh, karena kesuksesan selalu bersahabat dengan kegagalan,” katanya.
Melalui peran gandanya, Dinda menunjukkan bahwa mengajar tidak harus berhenti pada transfer pengetahuan. Di tangannya, ilmu berkembang menjadi praktik, praktik tumbuh menjadi usaha, dan usaha perlahan membentuk industri perikanan yang berakar pada pengetahuan dan keberlanjutan.(*)
Kontributor: Khefti PKIP
Editor: Abdel Rafi



