Tuesday, December 30, 2025
spot_img
HomePendidikanGus Baha’: Jika Tidak Mampu Menjadi “من”, Maka Jadilah “مع”!

Gus Baha’: Jika Tidak Mampu Menjadi “من”, Maka Jadilah “مع”!

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha’. (foto: istimewa)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Ketika Allah disebut, setidaknya Dia disifati dengan tiga sifat. Misalnya dalam Surah Al-Fatihah, Allah disifati sebagai:
(1) Ar-Rahman Ar-Rahim,
(2) Rabb al-‘Alamin, dan
(3) Maliki Yaumiddin.

Ketika berdoa, seseorang harus memiliki sandaran atau pegangan. Karena itu dalam Al-Fatihah disebutkan: Shirathalladzina… Ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa berjalan sendiri secara independen.

Menjadi orang baik itu harus memiliki sandaran. Sandaran itu adalah Nabi dan para wali yang telah mendahului kita. Kebaikan membutuhkan sanad, membutuhkan keterhubungan, dan harus bersandar kepada yang lebih tinggi.

Karena itulah Al-Qur’an ketika menyebut orang-orang baik berfirman:

“Mereka itu bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh.”
(QS. An-Nisa: 69)

Lalu, siapa orang baik itu?
Yaitu orang yang diberi hidayah.
Dan siapa orang yang diberi hidayah?
Mereka yang memiliki sanad—sebagaimana disebut dalam shirathalladzina.

Abu Hasan Asy-Syadzili berkata, “Kesalehanmu itu tidak akan pernah sempurna.” Karena itu Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah dengan orang-orang yang benar.”
(QS. At-Taubah: 119)

Sebab, menjadi orang yang benar secara sempurna itu tidak mungkin bagi kita. Yang mungkin adalah bergabung dan menyertai orang-orang yang benar. Karena itu redaksi Al-Qur’an menggunakan kata مع (bersama), bukan من (dari).

Mengapa Nabi menggunakan من, sementara kita menggunakan مع?

Karena Nabi benar-benar termasuk golongan yang Allah beri nikmat:
أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّينَ.
Sedangkan kita belum tentu. Maka jalan kita adalah ikut bergabung dan menyertai—menggunakan مع.

Lalu siapa orang-orang yang benar itu?
Jawabannya adalah:
مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم.

Ciri mereka adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya:

“Barang siapa menaati Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi…”
(QS. An-Nisa: 69)

Dawuh Imam Asy-Syadzili: jika ingin memiliki adab, maka maqam kita adalah bergabung (مع). Intinya, posisi kita adalah “mengikuti saja”.

Ketika kita berdoa meminta jalan yang lurus—Ihdinash Shirathal Mustaqim—Allah mengajarkan jawabannya:
Shirathalladzina an‘amta ‘alaihim, yakni jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat. Siapa mereka? Para nabi dan para wali.

Jika kita merasa mampu berjalan sendiri, itu berarti terlalu tinggi hati. Maka dawuh Abu Hasan Asy-Syadzili: jika ingin beradab, harus berinduk.

Jangan seperti sebagian orang sekarang yang merasa tidak membutuhkan sanad. Mereka tidak percaya pada sanad. Katanya, “Kalau mereka bisa berpikir, kita juga bisa berpikir. Nahnu rijal wa antum rijal.” Padahal, yang tepat untuk orang seperti itu justru, “Nahnu rijal wa antum junun.” (Kita orang, kalian orang gila).

Maka meskipun seseorang merasa dirinya orang baik, ia tidak bisa berdiri sendiri.

Pesan Gus Baha’, dalam memaknai Al-Qur’an jangan hanya memakai Tafsir Jalalain, tetapi sesekali pahami juga dengan pendekatan mazhab para ahli thariqah. Abu Hasan Asy-Syadzili sangat cermat dalam memahami perbedaan makna من dan مع dalam Al-Qur’an.

Jika tidak mampu menjadi من, maka jadilah مع. Jika sulit menjadi orang saleh, maka bergabunglah dengan orang-orang saleh.

Jika sudah paham ini, maka pasti lahir sikap tawaduk. Karena kebaikan kita sejatinya adalah berkah dari orang-orang saleh terdahulu, bukan semata-mata karena diri kita sendiri. Maka jangan merasa bangga berlebihan. Semua itu adalah karunia Allah semata, dzālika faḍlun minallāh. (*)

Kontributor: Hafid Amrullah

Editor: Abdel Rafi

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular