Thursday, December 25, 2025
spot_img
HomeGagasanKolomMalaka Air-Lift

Malaka Air-Lift

Kasih dan pengorbanan selalu lahir lebih dulu sebagai ajaran, baru kemudian mencari tubuhnya sendiri di dunia nyata. Natal tak seharusnya berhenti sebagai perayaan. Ia mengajarkan satu hal yang kerap kita lupa: cinta kasih tidak datang untuk dikagumi, melainkan untuk dikerjakan dalam laku nyata.

Cinta kasih tidak meminta kita sibuk menghitung tepuk tangan, tetapi mengajak menakar luka yang harus ditutup. Di titik inilah kisah Ferry Irwandi menemukan momentumnya: bukan sebagai peristiwa musiman, melainkan sebagai praktik lintas iman yang kebetulan hadir di hari-hari penuh duka yang menyelimuti negeri.

Kasih yang diajarkan Yesus Kristus -Isa Almasih ‘alaihis salam- bukan metafora lembut di kartu ucapan. Ia keras, konkret, dan mahal: pengorbanan diri demi yang lain. Ajaran ini berkelindan rapi dengan Islam yang dianut Ferry, agama yang memuliakan amal shalih sebagai bukti iman, dan menjadikan rahmatan lil ‘alamin bukan slogan, melainkan kewajiban.

Ketika Nabi Muhammad Saw mengingatkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, beliau sejatinya sedang memindahkan iman dari mimbar ke jalan berlumpur. Di atas fondasi inilah Ferry Irwandi bersama kawan-kawannya di Malaka Project -yang didirikannya dua tahun lalu- bergerak cepat, tanpa banyak retorika.

Ia memperlebar solidaritas itu dengan disiplin Stoik yang ia dalami yaitu mengendalikan hal-hal yang berada dalam kuasa, dan tidak meratap pada yang berada di luar jangkauan. Banjir Sumatera adalah fakta. Jalan terputus adalah kenyataan. Maka yang bisa dikerjakan bukan mengutuk cuaca, melainkan mengubah vektor bantuan.

Islam memberi arah moral; Stoikisme mengajarkan keteguhan; Natal memberi nyawa pengorbanan. Tiga ajaran ini dipadukan dalam rangkaian diskusi di antara kolega, hingga dari sanalah logika “out of the box” menemukan alasan etisnya: jika darat buntu untuk masuk ke Sumatera, udara menjadi jawaban.

Simbolisme Malaka Project melengkapi mozaik itu. Dengan meminjam nama Tan Malaka, Ferry menaruh jangkar rasionalitas pada setiap geraknya. Madilog, karya monumental Tan Malaka yang kerap dirujuk Ferry, adalah buku kerja akal sehat. Ia memadukan materialisme, dialektika, dan logika sebagai cara membaca realitas.

Madilog menuntut kita melihat dunia apa adanya, merancang solusi tanpa takhayul, dan menimbang sebab-akibat dengan kepala dingin. Dalam konteks bantuan bencana, ini berarti menolak romantisme bantuan instan yang cepat viral namun cepat basi, dan memilih logistik yang presisi: pesawat yang tidak pulang kosong, bantuan yang tidak mematikan ekonomi lokal.

Maka lahirlah tindakan yang tampak sederhana, tetapi sarat ajaran. Biaya pesawat Susi Air ditanggung secara pribadi oleh Ferry Irwandi agar bantuan sebagai amanah publik tetap utuh; panel surya dan alat medis masuk ke Aceh; kopi Gayo keluar menuju pasar.

Kasih bekerja dengan kalkulator, bukan hanya dengan doa. Pengorbanan bersekutu dengan logika, bukan bersembunyi di balik emosi. Di sinilah Natal bertemu Islam, Stoikisme bersalaman dengan Madilog_ dan filantropi beralih rupa: dari rasa kasihan menjadi pemulihan martabat.

The Malaka Air-Lift yang digagas Ferry adalah kerja sunyi yang tak romantis, tetapi sangat efektif. Jalur udara dipilih bukan untuk tampil gagah di depan kamera, melainkan karena peta masalah memaksa begitu. Jalan darat di Aceh terputus, lumpur menelan aspal, truk bantuan berhenti sebagai monumen niat baik yang kelelahan.

Pesawat kecil jenis utility Susi Air diperlakukan seperti jarum akupunktur logistik: menusuk titik-titik paling sakit. Ke dalam wilayah bencana, ia mengangkut panel surya agar air bersih dan listrik bisa hidup tanpa menunggu genset yang rewel; alat kesehatan agar luka tak berubah menjadi statistik; serta logistik dasar yang benar-benar dibutuhkan, bukan sekadar mudah dibagi.

Namun Ferry dan tim tidak berhenti di situ. Mereka berpikir logis sekaligus ekonomis. Pesawat tidak dibiarkan keluar dari Aceh dalam keadaan kosong. Maka satu ton Kopi Gayo diangkutnya terbang ke Jakarta, disusul komoditas lain, agar petani tidak ikut tenggelam bersama banjir. Bantuan pun berjalan dua arah: menyelamatkan hidup sekaligus menjaga penghidupan.

Nama Air-Lift bukan hiasan bahasa Inggris. Ia menandai strategi: mengangkat beban dari wilayah yang terjepit dengan cara paling langsung dan terukur. Sementara kata “Malaka” menyimpan makna yang lebih dalam, merujuk pada keberanian berpikir dan bertindak ala Tan Malaka, yang menolak sentimentalitas tanpa logika.

Ini bukan air drop serba darurat, melainkan jembatan udara yang dirancang agar tidak mematikan nadi ekonomi lokal. Dengan begitu, proyek ini bukan sekadar aksi filantropi, melainkan eksperimen etika modern: kasih yang dihitung, pengorbanan yang direncanakan, dan solidaritas yang bekerja mengikuti hukum sebab-akibat.

Di situ, nama bukan slogan, melainkan ringkasan cara berpikir. Barangkali inilah pelajaran paling sunyi dari kisah ini: iman yang dewasa selalu mencari cara paling efektif untuk berguna. Ketika ajaran kasih naik menjadi lead_ tindakan turun menjadi proof.

Natal tidak berhenti sebagai tanggal, Islam tidak berhenti sebagai identitas, Stoikisme tidak berhenti sebagai wacana, dan Madilog tidak berhenti sebagai simbol. Semuanya menyatu dalam satu keputusan sederhana, menggerakkan udara ketika lumpur menutup jalan, dan dari sanalah harapan belajar terbang.

AHMADIE THAHA (Cak AT)

Wartawan Senior 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular