Thursday, December 25, 2025
spot_img
HomeEkonomikaNasionalTragedi Bus Cahaya Trans di Semarang, Tanggung Jawab Tak Bisa Berhenti pada...

Tragedi Bus Cahaya Trans di Semarang, Tanggung Jawab Tak Bisa Berhenti pada Sopir

Ilustrasi.

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Kecelakaan bus antarkota PO Cahaya Trans di exit Tol Krapyak, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (22/12/2025), yang menewaskan 16 penumpang dan melukai sedikitnya 17 orang, memunculkan penilaian bahwa penanganan hukum atas peristiwa tersebut tidak semestinya berhenti pada pengemudi semata.

Pegiat perlindungan konsumen sekaligus Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi menilai penetapan sopir sebagai tersangka oleh kepolisian telah tepat secara prosedural. Namun, menurut dia, kecelakaan dengan korban massal itu menunjukkan adanya persoalan yang lebih luas dan berlapis.

“Informasi yang beredar menyebutkan sopir yang mengemudikan bus adalah sopir cadangan dan baru dua kali membawa kendaraan tersebut. Fakta ini perlu ditelusuri lebih jauh, karena menyangkut pendelegasian kewenangan dan kompetensi pengemudi,” kata Tulus, Rabu (24/12/2025).

Ia menilai, sopir utama yang saat itu disebut sedang beristirahat juga patut dimintai keterangan oleh penyidik. Menurut Tulus, pendelegasian kemudi kepada sopir cadangan yang belum memiliki pengalaman memadai berpotensi mengandung unsur kelalaian.

“Tanggung jawab tidak bisa dilepaskan begitu saja. Dalam konteks tertentu, sopir utama juga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum,” ujarnya.

Selain individu pengemudi, Tulus mendorong kepolisian untuk menelaah peran manajemen PO Cahaya Trans. Ia menilai kecelakaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari tata kelola perusahaan, mulai dari pengaturan jam kerja, rekrutmen dan pelatihan pengemudi, hingga kelayakan armada.

“Kecelakaan bus umum yang berulang menunjukkan adanya masalah sistemik. Karena itu, pendekatan pidana korporasi perlu dipertimbangkan agar ada efek jera dan perbaikan menyeluruh,” kata Tulus.

Ia juga menyoroti peran Kementerian Perhubungan dan dinas perhubungan daerah dalam pengawasan angkutan umum. Menurut dia, lemahnya pengawasan perizinan dan uji kelaikan kendaraan masih menjadi persoalan serius dalam keselamatan transportasi darat.

“Uji KIR di sejumlah daerah kerap dipersepsikan sebagai formalitas. Jika pengawasan hanya administratif, maka aspek keselamatan penumpang menjadi taruhan,” ujarnya.

Ketua FKBI, Tulus Abadi. (foto: istimewa)

Di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan didorong untuk lebih serius memperhatikan aspek ketenagakerjaan pengemudi, termasuk hak, kewajiban, serta peningkatan kompetensi. Tulus menilai keberadaan sekolah pengemudi yang terstandar dan bersertifikat, khususnya bagi pengemudi bus dan truk, menjadi kebutuhan mendesak.

“Pengemudi angkutan umum harus dipersiapkan secara profesional. Tanpa sistem pelatihan yang jelas, risiko kecelakaan akan terus berulang,” katanya.

Tulus menyebut kecelakaan PO Cahaya Trans sebagai kado buruk di penghujung 2025 bagi sektor transportasi darat. Ia berharap tragedi tersebut menjadi momentum evaluasi bersama agar keamanan dan keselamatan benar-benar menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan transportasi publik.

“Tragedi ini seharusnya menjadi yang terakhir. Tanggung jawab harus dilihat secara utuh, dari individu, korporasi, hingga negara sebagai pengawas,” ujarnya.(*)

Kontributor: Tommy

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular