
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Bagi Kolonel Laut (K) Muhammad Arifin, hidup selalu kembali pada satu perkara sederhana bahwa “Hidup itu harus memberikan manfaat bagi manusia lain.” Kalimat itu bukan sekadar petuah keluarga, melainkan kompas moral yang menuntunnya menapaki dua jalan yang tidak mudah yakni menjadi dokter gigi sekaligus perwira aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di tengah ritme militer yang disiplin dan profesi medis yang menuntut ketelitian, Arifin -sapaan akrabnya- yang merupakan alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (FKG UNAIR) angkatan 1993, menunjukkan bahwa pengabdian bisa berdiri di dua kaki selama seseorang memegang teguh niatnya.
Ketertarikan Arifin pada dunia kesehatan tumbuh dari pengalaman yang tidak ia lupakan. Saat duduk di bangku SMP, ia terjatuh dan gigi depannya patah. “Setelah SMA, saya ingin masuk kedokteran gigi agar gigi depan saya bisa diperbaiki,” kenangnya kepada Cakrawarta.com, Rabu (10/12/2025).
Keinginannya terwujud. Ia diterima di FKG UNAIR, pilihan pertamanya. Di kampus itulah giginya ditangani kakak tingkat yang sedang praktik, yang menjadi momen sederhana namun cukup untuk mengikat dirinya pada dunia kedokteran gigi.
Di sisi lain, darah militernya mengalir dari kakeknya, seorang veteran pejuang. Dorongan itu membuatnya memberanikan diri mengikuti seleksi beasiswa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1996. Ia diterima, diberi waktu tiga tahun menuntaskan studi, lalu menjalani pendidikan militer sepenuhnya.
Karier di Dua Medan: Klinik dan Medan Bencana
Selepas pendidikan militer, Arifin dipercaya mengemban beragam tugas mulai dari komandan kompi hingga perwira staf personel, operasi, dan logistik. Namun satu penugasan meninggalkan jejak mendalam baginya adalah ketika menjadi Komandan Batalyon Kesehatan 1 Marinir (Yonkes-1 Mar) di Jakarta.
“Dua minggu setelah saya menjabat, terjadi tsunami Banten. Saya ditunjuk sebagai komandan pasukan reaksi cepat penanggulangan bencana,” ujarnya.
Arifin memimpin tim mendirikan rumah sakit lapangan, menembus kawasan Ujung Kulon yang terisolasi, dan memastikan logistik sampai kepada warga yang terputus aksesnya. Di tengah reruntuhan dan kepanikan, ilmu medis dan kepemimpinannya diuji, sementara prinsip hidupnya kembali menemukan relevansinya.
Selain bertugas di kesehatan militer, Arifin mengasah keahlian forensik dental. Ia menjadi bagian dari tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri, khususnya untuk identifikasi berbasis gigi, bidang yang memerlukan ketelitian ekstrem dan keteguhan mental.
“Kalau ada korban, termasuk satgas operasi DVI pesawat jatuh, saya ikut proses identifikasi. Seperti di kasus Lion Air, Sriwijaya, kebakaran pabrik Tangerang, sampai kecelakaan pesawat terakhir kemarin,” tuturnya.
Kesibukan berpindah antara ruang klinik, ruang komando, dan lokasi bencana tidak membuat Arifin melupakan nilai yang ditanamkan orang tuanya yaitu kebermanfaatan. “Walaupun saya dokter gigi, kemampuan manajerial membuat saya dapat memimpin batalyon maupun rumah sakit lapangan,” ujarnya.
Prinsip serupa ia temukan kembali di tubuh TNI. “TNI dari rakyat dan untuk rakyat. Maka apa pun bentuk kesulitan masyarakat, harus kita bantu,” katanya.
Di tengah perjalanan karier yang jarang ditempuh orang lain yang menggabungkan profesi kesehatan, kedisiplinan militer, dan misi kemanusiaan, Arifin menunjukkan bahwa pengabdian bukan hanya soal seragam atau profesi, melainkan soal keberanian menjalani dua jalan dengan satu hati yang teguh.(*)
Kontributor: PKIP
Editor: Abdel Rafi



