
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Tidak banyak yang membayangkan seorang akademisi linguistik dari Surabaya kelak dipercaya menduduki salah satu posisi tertinggi dalam Ordo Karmel dunia. Namun begitulah perjalanan hidup Dr. Hariawan Adji, Drs., ST., M.Kes atau yang akrab disapa Romo FX Hariawan Adji Ocarm, yang sejak Oktober 2025 resmi terpilih sebagai Wakil Prior Jenderal Ordo Karmel periode 2025-2031.
Dari ruang kuliah di Universitas Airlangga (UNAIR) hingga kantor pusat Ordo Karmel di Roma (Italia), jejak pengabdiannya mengalir pelan namun pasti, dituntun oleh ilmu, iman, dan kerinduan untuk menghadirkan kebaikan bagi sesama.
2001, Sebuah Titik Balik
Romo Hari, pengajar Ilmu Linguistik di Fakultas Ilmu Budaya UNAIR, mengenang tahun 2001 sebagai titik balik yang menggerakkan seluruh perjalanan spiritualnya. Ketika banyak orang datang meminta pertolongan, ia menyadari bahwa kekuatan manusiawinya tidak cukup untuk memikul beban itu seorang diri.
“Saya sadar, tenaga saya sendiri tidak cukup. Karena itu saya harus meminta kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya, Selasa (9/12/2025).
Dari kegelisahan itu, ia memilih memperdalam hidup religius di Ordo Karmel. “Tujuannya supaya saya bisa mencintai lebih baik dan menjadi saluran cinta bagi banyak orang,” katanya.
Sejak itu, dua jalan yakni akademik dan religius, ia jalani berdampingan. Mengajar di UNAIR tetap menjadi ruang pengabdian intelektualnya, sementara kehidupan ordo mengokohkan dasar spiritualitasnya.
Pemilihannya sebagai Wakil Prior Jenderal Ordo Karmel menempatkannya pada struktur kepemimpinan yang membawahi ribuan biarawan di puluhan negara. Tugas itu membuatnya harus bekerja rutin dari Roma, dekat dengan pusat koordinasi global Gereja Katolik dan Vatikan.
“Dulu saya mengurusi Karmel di Indonesia. Sekarang saya mengemban tugas di Karmel tingkat dunia,” ungkapnya.
Meski peran internasionalnya semakin besar, Romo Hari menolak melepaskan panggilannya yang lain, menjadi seorang guru.
Tetap Mengajar, Meski Mengemban Tugas Global
Setiap hari Kamis, ia kembali ke Surabaya untuk mengajar mahasiswa S1, S2, hingga S3 UNAIR. Baginya, tugas mengajar bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi membuka jalan bagi mahasiswa menemukan potensi diri.
“Setiap orang punya potensi, tapi banyak yang tak bisa mewujudkannya karena tidak ada yang membimbing,” tegasnya.
Di tengah amanah global, ia tetap menjaga akar pengabdian yang berawal dari ruang-ruang kelas kampus.
Mengomentari situasi keberagamaan di era media sosial, Romo Hari menyoroti meningkatnya ekstremisme digital. “Banyak orang belajar dari selebritas agama, bukan dari orang yang betul-betul belajar agama. Itu sangat bahaya,” ujarnya.
Menurutnya, konflik kerap muncul karena hilangnya perjumpaan antar manusia. Relasi kasih yang autentik, katanya, merupakan fondasi penting dalam merawat kerukunan.
Ia kembali menegaskan prinsip sederhana dari Aristoteles bahwa setiap orang ingin bahagia. “Saya ingin bahagia, orang lain juga ingin bahagia. Maka saya tidak boleh membuat orang lain tidak bahagia.”
Pesan itu menjadi refleksi moral di tengah derasnya arus hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial.
Sebagai alumnus UNAIR, Romo Hari berharap civitas akademika kampusnya mampu melangkah keluar dan memberi warna bagi dunia. “Kita dipanggil menjadi guru kebaikan. Bawalah mahasiswa menjadi orang yang membahagiakan dan membawa kebaikan bagi semua,” pesannya.
Perjalanan Romo Hariawan Adji dari Surabaya menuju panggung global Ordo Karmel bukan sekadar kisah karier. Ia adalah cerita tentang panggilan, ketekunan, dan upaya tanpa henti untuk menghadirkan cinta di tengah dunia yang terus bergerak.(*)
Editor: Tommy dan Abdel Rafi



