
Dua puluh lima tahun setelah Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Women, Peace, and Security (WPS) disahkan, Indonesia memasuki fase konsolidasi baru dalam memahami keamanan. Ancaman keamanan tidak lagi dibatasi pada agresi militer dan senjata; ancaman keamanan berwujud krisis iklim, ketimpangan sosial, migrasi paksa, urban insecurity, hingga bencana ekologis yang saling berkelindan. Karena itu, membangun keamanan hari ini berarti membangun kapasitas insani, bukan sekadar kapasitas negara.
Selama dua bulan, rangkaian konsultasi lintas aktor yang melibatkan pemerintah, lembaga riset, organisasi kemanusiaan, akademisi, dan jaringan perempuan menunjukkan satu kesimpulan kuat bahwa integrasi agenda WPS ke dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB) bukan pilihan tambahan, tetapi fondasi dari transformasi keamanan insani Indonesia. Hasil sementara proses konsultasi tersebut telah dipaparkan dalam Indonesia Disaster Management Summit 2025 yang diampu oleh Kemenko PMK sebagai forum nasional untuk menyatukan arah kebijakan ketangguhan bencana di tanah air.
Mengapa WPS Penting dalam Pengurangan risiko bencana?
Fakta empiris konsisten di berbagai konteks bahwa bencana tidak netral gender. Risiko kekerasan berbasis gender meningkat dalam situasi darurat; akses perempuan terhadap informasi, sumber daya, dan layanan pemulihan sering terhambat; sementara beban kerja tak berbayar dan eksklusi sosial justru menebal. Namun di saat yang sama, perempuan terbukti merupakan aktor kunci ketahanan komunitas, penggerak early warning, pengelola jejaring sosial, pemimpin informal pemulihan, dan penjaga kohesi sosial.
Penting untuk digarisbawahi bahwa Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam PRB dan Integrasi WPS dalam PRB berbeda secara mendasar baik dari sisi konsep maupun tujuan. PUG berfungsi sebagai alat integrasi, sebuah mekanisme tata kelola untuk memastikan kesetaraan akses, manfaat, dan layanan publik bagi semua gender. Pendekatan ini bekerja melalui instrumen administrative, data pilah, anggaran responsif gender, indikator layanan dasar yang memastikan bahwa program PRB tidak bias dan manfaat pembangunan terdistribusi secara adil. Di sisi lain, WPS adalah agenda transformatif yang berupaya membongkar akar ketidakamanan sosial dan struktural dengan menggeser logika keamanan dari negara menuju keamanan insani (human security). Jika PUG bertanya “siapa yang mendapat manfaat?”, maka WPS bertanya “siapa yang aman, siapa yang rentan, dan siapa yang memutuskan arah pemulihan?”. Pertanyaan ini menempatkan perempuan bukan hanya sebagai penerima layanan, tetapi sebagai aktor keamanan insani yang berperan dalam pencegahan, perlindungan, pemulihan, dan pengambilan keputusan dalam konteks konflik, krisis, dan bencana. Dalam bingkai keamanan insani, PUG memastikan distribusi yang setara, sedangkan WPS memastikan esensi keamanan itu sendiri yaitu perlindungan dari kekerasan, penguatan kapasitas untuk pulih, dan kepemimpinan perempuan sebagai bagian dari infrastruktur ketahanan sosial. Dengan demikian, PUG dan WPS tidak saling meniadakan; keduanya berkelindan, namun bekerja pada level kedalaman yang berbeda, PUG memperbaiki sistem, sementara WPS mentransformasi struktur keamanan.
Agenda WPS memperkuat pengurangan risiko bencana dengan memasukkan empat pilar kunci ke dalam seluruh siklus PRB secara sistematis. Pilar partisipasi memastikan perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan strategis baik di BPBD, forum PRB daerah, maupun mekanisme koordinasi lintas sektor, sehingga kebijakan tidak sekadar responsif, tetapi juga substantif. Pilar perlindungan menegaskan bahwa situasi krisis harus bebas dari kekerasan berbasis gender, eksploitasi, dan diskriminasi, serta menghadirkan sistem layanan yang aman bagi kelompok rentan. Melalui pilar pencegahan, analisis risiko sosial, gender diintegrasikan sejak tahap mitigasi, perencanaan kontinjensi, hingga edukasi kebencanaan, sehingga risiko struktural dapat diidentifikasi dan ditekan sebelum mengemuka dalam bentuk kerentanan baru. Sementara itu, pilar pemulihan memastikan bahwa proses pasca bencana tidak hanya membangun ulang infrastruktur, tetapi juga memulihkan kehidupan ekonomi, sosial, dan martabat perempuan secara setara dan inklusif. Dengan pendekatan ini, WPS memperluas PRB dari kerja teknis menuju agenda keamanan insani yang komprehensif.
Kerangka ini sejalan dengan fondasi normatif Indonesia yaitu UUD 1945, CEDAW, UU 24/2007, PP 21/2008, hingga Perka BNPB 13/2014. Namun regulasi payung yang secara eksplisit mengintegrasikan WPS-PRB masih belum ada. Inilah ruang pembaruan kebijakan yang kini didorong ke tingkat nasional.
Dalam konteks global dan Indonesia kontemporer, krisis tidak lagi berdiri sendiri. Konflik sosial bersinggungan dengan perubahan iklim; bencana berkaitan dengan urbanisasi dan ketimpangan; keamanan individu terhubung erat dengan keamanan komunitas. Karena itu, para peneliti dan praktisi mengembangkan pendekatan Women, Peace, Security, and Resilience (WPSR), payung konsep multidisipliner yang memadukan peace building, climate resilience, DRR, dan keamanan komunitas.
Dalam kerangka WPSR, perempuan dipandang bukan hanya sebagai kelompok terdampak, tetapi aktor ketahanan (resilience agents) yang menjaga kontinuitas sosial ketika sistem formal rapuh. Pendekatan ini lebih dekat dengan human security, yang melihat keamanan bukan sebagai ketiadaan ancaman, tetapi sebagai kemampuan insani untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih.
Di banyak daerah, integrasi WPS-PRB bukan wacana, tetapi praktik. Melalui Desa Damai dan Desa Tangguh Bencana (Destana), komunitas lokal mengembangkan model ketangguhan yang bertumpu pada partisipasi perempuan, kepemimpinan informal, dan mekanisme sosial yang memediasi konflik. Ketika kedua pendekatan ini dipadukan, terbukti ada peningkatan ketahanan multidimensi mulai dari sosial, ekonomi, hingga lingkungan.
Di Papua, pelibatan pemuda dalam literasi perdamaian terbukti menurunkan ketegangan sosial. Di Jakarta, perempuan mengembangkan skema “arisan tangguh bencana” sebagai praktik ekonomi mikro yang meningkatkan kesiapsiagaan keluarga. Organisasi masyarakat menunjukkan bagaimana paralegal komunitas mampu mengidentifikasi risiko KBG dan memperkuat sistem perlindungan berbasis kampung. Praktik-praktik ini memberi pelajaran penting: ketahanan dibangun dari bawah, dengan perempuan sebagai penopang utama kohesi sosial.
Meski fondasi normatif Indonesia sudah cukup kuat, implementasi WPS-PRB masih terhambat oleh sejumlah persoalan struktural yang saling berkaitan. Kebijakan di tingkat nasional masih terpecah antara mandat gender, keamanan, dan pengurangan risiko bencana, sehingga arah integrasi tidak berjalan utuh. Koherensi lintas kementerian pun terbatas, membuat koordinasi sulit beranjak dari pendekatan sektoral. Di sisi teknis, data terpilah, analisis risiko sosial, dan analisis gender belum benar-benar terintegrasi dalam seluruh siklus PRB, sehingga banyak keputusan diambil tanpa melihat kerentanan spesifik yang dihadapi perempuan dan kelompok rentan. Peran perempuan sendiri belum terinstitusionalisasi dalam struktur formal PRB, menjadikan kontribusi mereka bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Sementara itu, pemerintah daerah menghadapi kesenjangan kapasitas dan pendanaan, yang membuat kebijakan di tingkat pusat sulit diterjemahkan menjadi praktik yang konsisten dan efektif di lapangan. Akibatnya, PRB masih beroperasi sebagai kerja teknis, bukan kerja sosial-struktural yang mempertimbangkan risiko gender secara integral.
Dari rangkaian konsultasi nasional dan analisis terhadap struktur kebijakan yang ada, tampak jelas bahwa Indonesia membutuhkan kerangka nasional yang secara tegas mengintegrasikan WPS ke dalam PRB dalam bingkai keamanan insani. Kerangka ini perlu dibangun berlandaskan mandat CEDAW, UNSCR 1325, dan Sendai Framework sebagai payung normatif yang menyatukan agenda gender, keamanan, dan penanggulangan bencana. Sinkronisasi lintas kementerian menjadi langkah penting agar duplikasi, fragmentasi, dan benturan mandat dapat dihindari. Empat pilar WPS juga harus diturunkan secara operasional ke seluruh siklus PRB mulai dari analisis risiko, perencanaan, kesiapsiagaan, respons, hingga pemulihan, sehingga keamanan perempuan dan kelompok rentan menjadi bagian inheren dari sistem ketangguhan nasional.
Pada tingkat implementasi, lokalisasi menjadi fondasi yakni memperkuat organisasi perempuan akar rumput, menyediakan ruang sipil yang aman, serta mengakui perempuan sebagai pemulih kepercayaan sosial dan penggerak ketahanan komunitas. Pembaruan ini juga mensyaratkan pengarusutamaan analisis gender seperti sosial dalam PRB, termasuk integrasi data pilah, penilaian risiko KBG, dan sistem data terpadu yang menghubungkan data kependudukan, risiko sosial, dan analisis gender secara konsisten. Perguruan tinggi harus diposisikan sebagai pusat pengetahuan, inovasi, dan kolaborasi pembiayaan multisektor untuk memperkuat basis evidensi dan mempercepat adopsi kebijakan berbasis bukti.
Keseluruhan arah reformasi ini ditempatkan dalam kerangka keamanan insani, yang tidak hanya berbicara tentang perlindungan fisik, tetapi juga pemulihan martabat, akses layanan yang setara, dan keadilan ekologis sebagai inti dari ketahanan masyarakat.
Mengintegrasikan WPS ke dalam PRB berarti menggeser lensa keamanan Indonesia. Bukan lagi keamanan yang terpusat pada negara, melainkan keamanan yang berakar pada insani yaitu perempuan, anak, kelompok rentan, dan komunitas yang setiap hari menghadapi risiko sosial dan ekologis.
Dengan pendekatan ini, resilience bukan hanya kemampuan untuk bertahan dari bencana, tetapi kemampuan untuk membangun kembali kehidupan yang lebih adil, setara, dan damai. Indonesia memiliki fondasi normatif dan pengalaman komunitas yang kuat; yang dibutuhkan saat ini adalah kerangka kebijakan terpadu dan komitmen jangka panjang untuk menempatkan perempuan sebagai aktor utama ketahanan bangsa.
TANTY S. THAMRIN
Tulisan ini merupakan bagian dari riset dalam bidang Feminist Security Studies, dengan fokus pada konflik dan bencana di wilayah timur Indonesia, dibawah Program Studi Ilmu Sosial Program Doktor Universitas Tadulako



