
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Pujangga “Celurit Emas” D. Zawawi Imron menegaskan, Pertempuran 10 November 1945 tak bisa dilepaskan dari Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Menurutnya, peristiwa heroik di Surabaya itu hanya bisa dimengerti sepenuhnya bila dipandang sebagai buah dari getaran spiritual yang digelorakan para ulama pesantren.
“Saya yakin semangat dalam pertempuran 10 November itu didorong oleh fatwa ulama se-Jawa dan Madura yang menyatakan wajib melawan penjajah, dan syahid bila gugur dalam pertempuran,” ujar Zawawi dalam pengantar puisinya pada “Mujahadah Pejuang” di Gedung HBNO (Hofd Bestuur Nahdlatul Oelama), Surabaya, Minggu (9/11/2025) malam.
Acara itu digelar dalam rangka memperingati Hari Pahlawan, dihadiri oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Rais Syuriah PBNU Prof. Dr. Mohammad Nuh, DEA, Kapolda Jatim Irjen Pol Nanang Avianto, serta ribuan pengurus NU dari berbagai tingkatan.
Mujahadah dibuka dengan khatmil Qur’an, istighotsah, dan doa untuk para pejuang NU yang gugur mempertahankan kemerdekaan. Dalam suasana khusyuk itu, Zawawi membacakan puisi dengan nada bergetar — antara sejarah dan doa, antara patriotisme dan spiritualitas.
“Proklamasi memang membebaskan bangsa, tapi Resolusi Jihad yang menghidupkan jiwanya,” ucapnya lantang.
“Dari pesantren, dari rahmat para kiai, lahirlah semangat jihad yang membuat Surabaya menjadi lautan api.” imbuhnya.
Zawawi menegaskan keyakinannya diperkuat oleh pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, bahwa Pertempuran 10 November takkan pernah terjadi tanpa Resolusi Jihad. Ia lalu menuturkan kembali bagaimana KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura setelah Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Dari pertemuan itulah, pada 22 Oktober 1945, lahir resolusi jihad yang mengguncang penjajah.
Semangat itu kemudian dilesatkan ke seluruh penjuru Surabaya lewat suara Bung Tomo, yang atas saran Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menyerukan pekikan “Allahu Akbar!” melalui siaran radio perjuangan. “Pekik itu bukan hanya suara manusia,” kata Zawawi, “tapi gema keyakinan dari bumi pesantren yang menyala di dada para pejuang.”
Ia melanjutkan, para ulama telah mengajarkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathon minal iman). Karena itu, perjuangan melawan penjajah bukan sekadar politik, tapi ibadah. “Maut menjadi kecil, karena Allah Maha Besar,” seru Zawawi, yang malam itu turut mengajak cicitnya membaca puisi bersama.
Dalam acara yang juga ditandai dengan penyerahan lukisan KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karya pelukis muda Nabila Dewi Gayatri, suasana terasa seperti jembatan antara masa lalu dan masa kini antara darah, doa, dan cinta tanah air.
Sementara itu, KH Miftachul Akhyar menegaskan bahwa mujahadah dan perjuangan fisik adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
“Doa yang sungguh-sungguh memiliki kekuatan melampaui senjata,” ujar Rais Aam PBNU itu. “Pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing bisa menewaskan 1.500 serdadu dan dua jenderal penjajah, karena mereka tidak hanya berjuang, mereka berdoa.” tegasnya menambahkan.
Kiai Miftach kemudian menutup mujahadah dengan lantunan ayat suci: Innallaha ma’ana, sesungguhnya Allah bersama kita. “Kemenangan 10 November itu seperti kisah Nabi Musa yang terjepit di Laut Merah, atau Nabi Muhammad yang dilindungi sarang laba-laba di gua. Itulah kekuatan rohani yang menjaga bangsa ini. Itulah NU,” ujarnya.
Dan semalam, gema zikir dan takbir di Gedung HBNO seakan menjadi pengingat bahwa Hari Pahlawan hidup bukan hanya di tugu dan monumen, melainkan di dada setiap orang yang berani berjuang dengan iman. (*)
Kontributor: Cak Edy
Editor: Abdel Rafi



