
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Sebagai pekerja kantoran yang memelihara ayam kampung di rumah, saya sering menghadapi dilema klasik yakni bagaimana mengelola ayam dengan waktu yang sangat terbatas? Bekerja dari pagi sampai sore membuat saya tidak mungkin mengurus ayam secara intensif. Solusinya sederhana, ayam diumbar di halaman dan diberi makan sisa makanan keluarga, terutama nasi dan sisa dapur lainnya. Ini justru tujuan utamanya, menghabiskan sisa makanan agar tidak terbuang, sambil ayam mencari makan tambahan dari lingkungan.
Sistem seperti ini memang hemat dan berkelanjutan. Ayam yang diumbar juga terpapar berbagai mikroorganisme lingkungan yang membantu membangun kekebalan tubuh secara alami. Tapi di sisi lain, keterbatasan waktu membuat program vaksinasi atau
monitoring kesehatan yang rutin sulit dilakukan. Akibatnya, produksi kurang optimal.
Telur yang dihasilkan biasanya habis untuk konsumsi keluarga sendiri, dan ayam baru dijual saat sudah afkir atau tidak produktif lagi. Masalahnya, setelah memelihara berbulan-bulan lalu menjualnya dengan harga murah, rasanya kok tidak sebanding ya?
Kondisi seperti ini ternyata bukan hanya dialami saya. Sistem pemeliharaan tradisional dengan cara umbaran adalah metode yang paling umum dilakukan masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Faktanya, sebagian besar ayam kampung yang dijual di pasar tradisional berasal dari petani peternak perdesaan yang memelihara ayam secara ekstensif. Mereka memanfaatkan sisa hasil pertanian dari lumbung sendiri atau lahan yang masih luas untuk tempat ayam mencari makan. Skala pemeliharaannya pun kecil, rata-rata hanya 4 sampai 5 ekor induk per keluarga, dan hasilnya lebih banyak untuk konsumsi keluarga daripada dijual. Pakan tidak disediakan secara khusus, hanya mengandalkan sisa-sisa hasil pertanian dan alam sekitar.
Karena itu saya sangat tertarik dengan inovasi Ayam Kampung Unggul Balitbangtan atau ayam KUB yang dikembangkan melalui program seleksi genetik bertahun-tahun dan diresmikan lewat Surat Keputusan Menteri Pertanian pada 2014. Tujuannya jelas yaitu menghadirkan ayam kampung yang lebih produktif, tahan penyakit, cepat tumbuh, tapi tetap mempertahankan cita rasa khas ayam kampung asli Indonesia.
Bagi orang seperti saya yang waktu terbatas tapi tetap ingin memelihara ayam secara produktif, ayam KUB ini seperti solusi yang pas. Data penelitian menunjukkan tingkat kematian ayam KUB sangat rendah, kurang dari 5% sampai umur 6 minggu. Bandingkan dengan ayam kampung lokal yang bisa mencapai 25% sampai 30%. Artinya, risiko rugi jauh lebih kecil meski kita tidak bisa memantau setiap hari.
Soal produksi juga jauh lebih menjanjikan. Ayam kampung biasa hanya mampu bertelur sekitar 50 sampai 75 butir per tahun, sedangkan ayam KUB bisa menghasilkan hingga 180 butir per tahun. Ayam KUB mulai bertelur sejak umur 3 sampai 4 bulan. Pertumbuhannya juga lebih cepat, bisa dipanen umur 10 minggu dengan berat hampir 1 kg. Yang penting, rasa dagingnya tetap seperti ayam kampung, jadi nilai jualnya lebih bagus dan bisa bersaing di pasar tradisional.
Keunggulan lainnya, ayam KUB memiliki konversi pakan yang lebih efisien. FCR atau feed conversion ratio ayam KUB sekitar 3,8, lebih bagus dari ayam kampung yang mencapai 4,9 sampai 6,4. Artinya, untuk menghasilkan 1 kg daging, ayam KUB membutuhkan pakan lebih sedikit, sehingga lebih hemat biaya. Susunan genetiknya yang kuat juga membuat ayam ini lebih tahan terhadap berbagai penyakit.
Dengan sistem pemeliharaan sederhana seperti saya, diumbar dan diberi sisa makanan, ayam KUB memberikan hasil yang jauh lebih baik dibanding ayam kampung biasa. Keunggulan genetiknya membuat ayam ini lebih tangguh meski perawatannya tidak sempurna.
Yang menarik, ayam KUB ini bukan hanya diminati peternak rumahan. Ada kisah inspiratif dari Muhammad Riski Kurniawan di Kabupaten Semarang yang memulai usaha ayam KUB sejak 2018. Dalam sehari, dia mampu memproduksi 100 butir telur. Melalui mesin tetasnya, 2.800 telur diproses untuk menghasilkan DOC (Day Old Chick) dengan tingkat keberhasilan penetasan 85%. Hasil penetasan yang betina dijadikan indukan, sedangkan yang jantan digemukkan untuk pasar restoran. Ini membuktikan bahwa dengan manajemen yang baik, ayam KUB bisa menjadi usaha yang sangat menguntungkan.
Kalau inovasi seperti ini terus dikembangkan dan didukung program pemberdayaan masyarakat, pekerja kantoran seperti saya atau petani pedesaan yang punya bahan sisa pertanian melimpah bisa memelihara ayam lebih produktif. Mungkin dari kegiatan sederhana menghabiskan sisa makanan, bisa berkembang jadi usaha sampingan yang layak dan memberikan nilai tambah ekonomi.
Semoga makin banyak inovasi dan edukasi yang membuat peternakan lebih mudah diakses masyarakat umum. Karena mengubah sisa makanan atau hasil pertanian yang tidak terpakai jadi protein hewani berkualitas itu sebenarnya kontribusi kecil yang berarti, baik untuk ketahanan pangan keluarga maupun ekonomi lokal.
HAFIDZ MAULANA Z
Dokter Hewan Staf Bidang Advokasi Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Jatim IX



