Dua esai tergeletak di atas meja. Keduanya tampak rapi, terstruktur, dan penuh referensi akademik. Satu esai ditulis oleh mahasiswa yang berbulan-bulan mengumpulkan data lapangan, menganalisis temuan, dan merumuskan argumen berdasarkan penalaran kritis. Satu lagi disusun dalam waktu kurang dari satu jam dengan bantuan artificial intelligence atau akal imitasi (AI). Pertanyaannya sekarang, apakah keduanya pantas dinilai sama, atau sebenarnya kita sedang menilai dua hal yang berbeda?
Dilema ini kini menghantui dunia pendidikan di era AI. Dahulu, mahasiswa diukur dari kemampuan mencari informasi, merumuskan argumen, dan mempresentasikan temuan berdasarkan proses berpikir yang matang. Namun, kehadiran AI telah mengubah lanskap ini secara drastis. Kini, kemampuan menulis dan berargumentasi dapat “disubkontrakkan” kepada mesin seperti ChatGPT, yang mampu merangkai kalimat koheren, menyarikan argumen, bahkan menambahkan referensi relevan. Mahasiswa dapat menghasilkan esai yang tampak “sempurna” tanpa benar-benar melewati proses intelektual yang seharusnya.
Pertanyaan mendasarnya kemudian, apakah tujuan pendidikan hanya untuk mengejar jawaban yang benar, atau justru mengembangkan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan?
AI memang dapat meniru kecerdasan, tetapi tidak dapat menggantikan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk menilai alasan, memahami konteks, serta mempertimbangkan implikasi moral dan sosial dari sebuah keputusan, kemampuan yang masih sangat manusiawi.
Nick Bostrom dalam Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (2014) mengingatkan bahwa meskipun AI mampu meningkatkan efisiensi, ia juga membawa risiko besar jika berkembang tanpa kendali yang bijaksana. Bostrom menekankan bahwa AI yang terlalu canggih dapat melampaui kemampuan manusia dalam mengambil keputusan dan bahkan berpotensi menciptakan risiko eksistensial bila tidak dikelola dengan hati-hati.
Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti bahwa pemanfaatan AI untuk menilai kemampuan mahasiswa harus dilakukan secara reflektif. Mesin memang dapat menghasilkan jawaban cepat dan efisien, tetapi apakah ia memiliki kebijaksanaan untuk memahami makna dari sebuah proses belajar?
Salah satu respons yang muncul terhadap fenomena ini adalah penggunaan detektor AI untuk membedakan karya manusia dan karya mesin. Namun, pendekatan ini belum tentu menjawab persoalan mendasar. Detektor memang mungkin mengidentifikasi teks yang ditulis oleh AI, tetapi pertanyaan yang lebih penting, apa yang seharusnya kita nilai, dan bagaimana cara kita menilainya?
Kate Crawford dalam Atlas of AI (2021) menyatakan bahwa AI bukanlah entitas netral. Ia dibentuk oleh bias sosial, ekonomi, dan politik yang melekat dalam data yang digunakan untuk melatihnya. “AI is not neutral. It is shaped by the same inequalities that persist in the human world,” tulis Crawford. Artinya, ketika pendidikan terlalu berfokus pada efisiensi melalui teknologi tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan etika, hasilnya bisa menjadi penilaian yang tidak adil.
Senada dengan itu, Luciano Floridi dalam The Ethics of Information (2013) menegaskan bahwa etika informasi menuntut kesadaran atas hak, kewajiban, dan tanggung jawab seluruh pihak dalam ekosistem teknologi termasuk pengguna, penyedia, dan pengembangnya.
Penerapan AI dalam dunia pendidikan karenanya harus dilakukan dengan kehati-hatian dan tanggung jawab. Tanpa kesadaran etis, penggunaan teknologi ini justru dapat melanggengkan ketidakadilan struktural melalui bias algoritmik. Seperti diingatkan Bostrom, pengetahuan yang dihasilkan AI bukanlah pengetahuan netral. Data yang timpang akan menghasilkan keputusan yang bias.
Karena itu, pendidikan tidak boleh berhenti pada hasil akhir semata. Proses berpikir yang mengantar pada hasil tersebut justru menjadi inti dari pembelajaran. Mahasiswa bukan hanya perlu mampu menghasilkan jawaban yang benar, tetapi juga harus mengembangkan kemampuan berpikir kritis, bernalar etis, dan bertanggung jawab terhadap pilihan intelektualnya.
Untuk menjaga esensi pendidikan di tengah derasnya arus AI, evaluasi pembelajaran perlu berfokus pada proses berpikir mahasiswa. Beberapa langkah dapat dilakukan.
Pertama, dosen dapat meminta mahasiswa mempresentasikan ide dan argumennya untuk menilai sejauh mana pemahaman serta konsistensi nalar mereka. Cara ini juga membuka ruang untuk menguji kemampuan menjawab kritik atau pertanyaan.
Kedua, evaluasi dapat memperhatikan rekam jejak pemikiran mahasiswa, mulai dari rancangan awal, sumber yang digunakan, hingga alasan di balik setiap revisi atau keputusan yang diambil. Ini memungkinkan dosen menilai bagaimana mahasiswa membangun argumen secara bertahap dan reflektif.
Ketiga, tugas berbasis masalah (problem-based learning) atau studi kasus perlu diperbanyak. Dalam model ini, mahasiswa didorong memecahkan persoalan nyata dengan menggunakan kemampuan analitis dan refleksi etisnya. AI dapat menjadi alat bantu, tetapi mahasiswa tetap harus mampu mempertanggungjawabkan alasan di balik setiap keputusan yang diambil.
Pendidikan tinggi sejatinya bukan hanya tentang menghasilkan jawaban yang cepat, tetapi tentang membentuk individu yang mampu menggunakan pengetahuan secara bijaksana. AI memang dapat mempercepat proses belajar, namun kebijaksanaan dalam berpikir dan bertindak tetap menjadi inti dari pendidikan yang memanusiakan.
Karena itu, kita perlu bergeser dari paradigma yang menilai hasil menuju paradigma yang menilai proses. Pendidikan yang baik bukan hanya mengajarkan “apa” yang harus dijawab, tetapi juga menumbuhkan kesadaran untuk bertanya “mengapa” sebelum menjawabnya.
Dalam dunia yang semakin diwarnai oleh kecerdasan buatan, kebijaksanaan manusia justru menjadi hal yang paling nyata dan paling diperlukan. Semoga.
THALITA RIFDA KHAERANI
Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga