Thursday, September 18, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaTradisi Muludan, Jejak Walisongo yang Masih Hidup di Tengah Masyarakat Modern

Tradisi Muludan, Jejak Walisongo yang Masih Hidup di Tengah Masyarakat Modern

Warga Semolowaru Selatan Surabaya memperingati tradisi Maulid Nabi Muhammad ketika era Covid-19 beberapa waktu lalu. (foto: Mohammad Abdel Rafi)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang akrab disebut muludan masih menjadi tradisi penting di berbagai daerah di Indonesia. Setiap 12 Rabiul Awwal dalam kalender Hijriah, masyarakat berkumpul dalam berbagai ritual penuh makna. Di Jawa, istilah “muludan” lebih populer dibanding “maulid,” mencerminkan kekhasan budaya lokal yang berpadu dengan ajaran Islam.

Ahmad Syauqi, akademisi Sastra dan Budaya Islam Universitas Airlangga (UNAIR), menyebut tradisi muludan sebagai hasil akulturasi budaya yang telah berlangsung sejak era Walisongo. “Tradisi ini adalah bukti bagaimana Islam menyatu dengan kearifan lokal. Ia hadir sebagai wujud syukur sekaligus kecintaan kepada Rasulullah,” ungkapnya.

Muludan bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga simbol kebersamaan. Syauqi menjelaskan, tradisi ini memuat nilai religius sebagai perwujudan cinta kepada Nabi Muhammad SAW, sekaligus nilai filosofis yang mencerminkan solidaritas sosial dan gotong royong.

Di berbagai daerah, tradisi itu hadir dalam bentuk unik. Masyarakat Banyuwangi merayakannya dengan endog-endogan, sementara di Kudus ada Kirab Ampyang. “Beragam bentuk ini pada dasarnya sama: ungkapan rasa syukur atas kelahiran Rasulullah,” kata Syauqi, Jumat (5/9/2025).

Ia menambahkan, nilai-nilai karakter yang diajarkan Rasulullah seperti kejujuran, kedermawanan hingga humanisme, menjadi pesan moral utama dari setiap perayaan muludan.

Dinamika di Era Modern

Di tengah arus modernisasi, tradisi muludan tetap bertahan. Menurut Syauqi, media sosial bahkan menjadi sarana baru dalam menyebarluaskan perayaan ini. “Kehadiran media digital membuat peringatan muludan bisa ditonton secara langsung melalui live streaming, direkam, dan dibagikan dengan cepat,” jelasnya.

Namun, ia juga mencatat adanya perubahan dalam bentuk penyelenggaraan. Beberapa daerah kini memilih perayaan yang lebih sederhana dan formal. Meski begitu, esensinya tetap sama yakni kebersamaan dalam memuliakan kelahiran Nabi.

“Tidak harus terikat dengan simbol-simbol tradisi tertentu. Yang penting adalah makna kebersamaan dan cinta kepada Rasulullah,” ujar Syauqi.

Syauqi menegaskan bahwa pendidikan dan komunitas memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan tradisi muludan. “Pada dasarnya, tradisi maulid ini menjadi wasilah untuk menumbuhkan cinta kepada Rasulullah sekaligus memperkuat keimanan pada ajaran Islam,” tutupnya.

Tradisi yang dirintis sejak masa Walisongo itu kini tetap hidup, bertransformasi, dan menemukan ruang baru di era modern. Di balik semua bentuk perayaannya, muludan terus menjadi jembatan spiritual dan kultural yang mempertemukan iman, budaya, dan kebersamaan masyarakat Indonesia. (*)

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular