Fenomena unjuk rasa 25, 28, dan 29 Agustus 2025 menjadi momen penting untuk membaca ulang dinamika gerakan sosial di Indonesia. Aksi-aksi ini tidak bisa sekadar dipandang sebagai ledakan kemarahan sesaat, melainkan menandai pergeseran pola mobilisasi. Jika sebelumnya demonstrasi selalu identik dengan struktur organisatoris yang jelas dimana ada komando lapangan, perangkat aksi, front organisasi, hingga paket tuntutan, maka yang tampak kini justru pola sporadis yang cair, terfragmentasi, dan cenderung rhizomatic.
Dalam kerangka Gilles Deleuze & Félix Guattari, rhizome menggambarkan sesuatu yang tumbuh tanpa pusat, menjalar horizontal, dan bisa muncul serentak di berbagai titik. Pola ini nyata terlihat dimana aksi pecah di Sumatera, Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang, hingga Surabaya tanpa koordinasi terpusat. Tidak ada orasi, selebaran, ataupun artikulasi isu tunggal. Gerakan ini hidup dari impuls kemarahan dan jaringan informal.
Namun, berbeda dengan networked movements di Eropa atau Timur Tengah seperti pada Occupy Wall Street, Indignados, atau bahkan Arab Spring, yang tetap melahirkan narasi politik kolektif, rhizome Indonesia hari ini beroperasi dalam kevakuuman ideologis. Amarah publik tidak terartikulasikan ke dalam proyek transformasi. Walter Benjamin pernah menegaskan begini “The rise of fascism is an index of the failure of left politics.” Formula ini tepat dimana absennya kekuatan progresif membuat ekspresi massa di Indonesia berhenti sebagai “amuk”, tanpa horizon strategis.
Perbandingan historis mempertegas pergeseran ini. Reformasi 1998 menunjukkan gerakan dengan struktur vertikal dan agenda jelas, turunkan Soeharto, reformasi total. Dua dekade kemudian, gerakan Reformasi Dikorupsi 2019 mulai bergerak lebih cair: mobilisasi horizontal lewat media sosial, tetapi masih dengan tuntutan substantif (UU KPK, RKUHP, HAM, lingkungan). Adapun Agustus 2025 melangkah lebih jauh yaknj gerakan sepenuhnya rhizomatic, hampir tanpa narasi politik. Jika 1998 adalah akumulasi struktur dan ideologi, dan 2019 adalah akumulasi jaringan dengan isu, maka 2025 adalah spontanitas tanpa horizon.
Konsekuensi politiknya serius. Kita berhadapan dengan revolutionary situation without revolutionaries yakni suatu kondisi sosial dan politik mendidih, delegitimasi negara menguat, tensi politik meninggi, namun tidak ada kekuatan revolusioner yang mampu memberi arah. Energi massa yang meledak justru mudah direduksi sebagai “kerusuhan”, atau bahkan dimanfaatkan oleh kekuatan reaksioner untuk memperdalam otoritarianisme.
Di titik ini, ada tiga kemungkinan arah ke depan. Pertama, skenario status quo, di mana rhizome terus muncul sebagai siklus amuk tanpa arah yang hanya heboh sesaat, tapi menguap tanpa capaian politik. Kedua, skenario represi, di mana negara menggunakan dalih “stabilitas” untuk memperkuat otoritarianisme. Setiap letupan massa justru menjadi legitimasi memperluas represi dan membungkam oposisi. Ketiga, skenario emansipatoris, di mana aktor-aktor progresif berani masuk ke denyut spontanitas ini, membangun narasi politik baru yang bisa hidup dalam jaringan horizontal, sehingga energi massa tidak sekadar meledak, tapi bisa dikristalisasi menjadi agenda transformasi jangka panjang.
Maka persoalan mendasar hari ini bukan sekadar “siapa dalang aksi” atau “apa tuntutannya”, melainkan: siapa yang berani mengartikulasikan amarah rakyat menjadi proyek politik emansipatoris? Jika pertanyaan ini dibiarkan menggantung, maka rhizome 2025 hanya akan terus berulang sebagai siklus amuk tanpa arah, dimana pada akhirnya memperkuat otoritarianisme. Namun jika berhasil ditangkap, ia bisa menjadi pintu lahirnya politik progresif baru yang lebih lentur, lebih sesuai dengan zaman digital, dan lebih dekat dengan denyut spontan rakyat. Semoga.
AGUNG NUGROHO
Direktur Jakarta Institut