Tuesday, December 2, 2025
spot_img
HomeGagasanLiputan Khusus590 Meter di Ujung Tali: Menyelamatkan Martabat Manusia di Jurang Rinjani

590 Meter di Ujung Tali: Menyelamatkan Martabat Manusia di Jurang Rinjani

Peta jalur pendakian tim SAR Gunung Rinjani saat menyelamatkan Juliana, berwarna biru. (foto: TANTY)

Gunung Rinjani yang megah, sakral, dan menantang, kembali mengingatkan kita bahwa keindahan alam kadang dibarengi dengan tantangan ekstrem yang bisa mematikan. Pada 21 Juni 2025 lalu, tragedi menimpa Juliana De Souza Pereira Marins (27), pendaki asal Brasil, yang terjungkal tergelincir pada tebing curam di kawasan Cemara Nunggal. Ia meluncur tak henti menuruni jurang dalam sedalam hampir 600 meter, sebelum akhirnya tak lagi dapat diselamatkan.

Sabtu, 21 Juni 2025: Titik Permulaan Arung Derita

Pagi hari itu, Juliana mendaki bersama lima teman dari jalur Sembalun. Sekitar pukul 05.00 WITA, sebuah kesalahan fatal terjadi: ia tergelincir dan terperosok ke jurang sedalam 150–200 meter. Guide yang mendampingi seketika menuruni tebing menggunakan tali seadanya, tanpa perlengkapan safety memadai. Berani, namun nyawa dipertaruhkan, dan upaya itu tak menemukan jejak tubuhnya.

Lokasi awal Juliana terjatuh. (foto: TANTY)

Pukul 09.30, laporan kecelakaan diterima SAR Mataram. Dalam waktu cepat, operasi digerakkan: Basarnas NTB, TNI-Polri, komunitas pendaki, dan relawan setempat bergabung. Lima orang tim pertama berangkat ke LKP (last known position) menyusuri jalur sempit dan berbatu di ketinggian ±2.600 mdpl. Akses komunikasi amat terbatas, tim bertumpu pada HT dan repeater portabel. Dengan kabut tebal, risiko longsor, dan medan vertikal yang ekstrem, pencarian langsung menjadi tantangan berat.

Malam Pertama: Ketika Harapan dan Nyali Bertemu

Pada malam itu, Syamsul Padhli, dikenal sebagai “Bang Botol”, berani menghadapi kegelapan dan jurang untuk menyusuri tali 200 meter. Tak menemukan Juliana, ia menyambung tali hingga 300 meter ke dasar tebing, namun hasil tetap nihil. Lelah, namun jiwa penyelamat tidak menyerah. Ia memutuskan bertahan di ujung tali, sendirian, tanpa sleeping bag, berharap pagi membawa kabar baik. Operasi malam itu menandai awal pertarungan antara harapan manusia melawan ketidakpastian alam.

Minggu, 22 Juni: Mata Udara Menyingkap Tabir

Pagi hari kabut turun menyelimuti, membuat drone/usar UAV prioritas utama. Hasilnya adalah konfirmasi visual jasad Juliana terdeteksi di dasar jurang, sekitar 600 meter di bawah jalur pendakian, lokasi yang terlalu ekstrem dan jauh untuk diakses langsung. Dengan info ini, Basarnas menyusun taktik: penguatan teknis vertikal, memasang jangkar, dan menyiapkan helikopter. Semua dilakukan sambil waspada terhadap badai cuaca yang cepat berubah di Rinjani.

Senin, 23 Juni: Mata di Langit, Langkah di Tebing

Helikopter HR‑3606 Dauphin Basarnas terbang dari Bogor ke NTB untuk mendukung operasi udara. Namun kontur medan yang vertikal, sempit, angin kuat, memaksa evakuasi manual. Tim kemudian mulai menuruni permukaan tebing dari sisi lain yang dianggap lebih aman, meski memerlukan peralatan vertikal dan keberanian tak terhingga. Malam itu posisi Juliana tepat terdeteksi sekitar 590 meter di bawah jalur; namun cuaca tak bersahabat, memaksa tim bertahan dan menunggu sehari lagi.

Selasa, 24 Juni: Di Ujung Tali 590 Meter

Pada ketinggian hampir 600 meter, Syamsul, Agam, Tyo, dan Khafid turun menembus medan yang disebut Khafid sebagai “jurang batu hidup”,  batuan longgar, licin, miring curam. Ruang gerak sempit memaksa mereka merangkak, jongkok, mengandalkan sistem katrol dan anchor yang dipasang dengan akurat. Bayangkan: empat orang bermalam 3 meter dari jenazah, menjaga posisi agar tidak terbawa longsor berikutnya. Mereka tidak menyelamatkan nyawa, namun menjaga martabat manusia. “Satu kesalahan bisa merenggut nyawa. Namun, korban harus ditemukan. Itulah tugas kami,” kata Khafid.

Tebing lokasi Juliana terjatuh. (foto: TANTY)

Rabu, 25 Juni: Menjaga Martabat, Mengikat Janji Kemanusiaan

Pukul 06.00 WITA, jenazah Juliana dibungkus kantung mayat. Tim yang bekerja secara manual mengangkat, menarik, dan memompa jenazah naik dari 590 ke 400 meter. Setelah pos datar, mereka memperbaiki packing agar mudah ditarik lagi ke basecamp. Teknik hauling vertikal ini menyatukan kekuatan manusia melawan medannya sendiri.

Sekitar pukul 15.30 WITA, jenazah berhasil mencapai flying camp. Dari sini ke Sembalun, kemudian diterbangkan helikopter ke RS Bhayangkara Mataram untuk identifikasi forensik. Lima hari penuh ketegangan, dengan nyawa penyelamat menjadi taruhan nyata. Namun satu hal tak pernah luntur yakni mereka bukan hanya penyelamat teknis, tapi “penjaga” martabat manusia.

Pijakan Refleksi

Kasus ini mengajarkan kita nilai harga diri di ujung batas kemampuan manusia. Pendakian Gunung Rinjani bukan sekadar fisik prima yakni siap, dan mental yang kuat, tapi juga kesiapsiagaan komunitas. Operasi ini menyoroti betapa pentingnya:

1. Standar keselamatan – Guide harus dilengkapi peralatan dan sertifikasi teknik vertical rescue. Tali seadanya di awal menunjukkan adanya celah dalam standar operasional.

2. Peningkatan kemampuan teknis lokal – Kelompok SAR seperti Rinjani Squad terbukti vital. Mereka patut mendapat pelatihan, dukungan, dan penghargaan lebih besar.

3. Koordinasi multi-instansi – SAR, Basarnas, TNI/Polri, TNGR, komunitas; semua bergerak cepat, namun komunikasi masih menantang. Pemanfaatan repeater dan drone sangat membantu.

4. Pendekatan yang berkelanjutan – Saat nyawa tak bisa diselamatkan, menjaga martabat jenazah tetap prioritas. Tyo menyatakan, “Kami bukan penyelamat; kami adalah penjaga.” Kalimat ini mencerminkan nilai kemanusiaan yang mendalam.

Menjaga Martabat, Memetik Hikmah

Gunung Rinjani, dengan semua kemegahannya, menguji batas kemampuan manusia. Operasi SAR untuk Juliana yang selama lima hari penuh dalam medan ekstrim, bukan hanya soal penyelamatan, tapi juga tentang bagaimana kita menghormati manusia yang sudah tiada. Tim Gabungan ini bukan hanya sekadar teknis, tetapi simbol kemanusiaan yang luhur.

Bagi pengelola pendakian: perketat regulasi, sediakan pelatihan SAR teknis, dan perkuat sistem respon cepat. Bagi pendaki: persiapkan diri secara serius, baik fisik, mental, dan teknis. Bagi masyarakat dan media: hargai cerita kemanusiaan di balik operasi ini, kisah keberanian, pengorbanan, dan menjaga martabat dalam kesunyian jurang dalam.

Dan untuk Syamsul, Tyo, Agam, Khafid, dan seluruh 80 jiwa pejuang di medan Rinjani, kalian bukan hanya penyelamat, tetapi penjaga martabat terakhir manusia. Derap langkah kalian menyusuri tebing curam adalah jembatan antara manusia dan kehormatan sesama, bahkan setelah urat nadi berhenti berdetak. Tajam melampaui tebing, kuat melampaui rasa takut, baktimu tetap akan dikenang.

 

TANTY SR THAMRIN 

Researcher pada THAMRIN Working Group, SAR Risk Manager, Instructor Scuba Diving, dan Pilot Paragliding yang suka mendaki gunung

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular