
KONGO, CAKRAWARTA.com – Di bawah langit Afrika yang membara, di tanah yang jauh dari Indonesia, suara sepatu laras menghentak pelan, mengiringi langkah-langkah prajurit Batalyon Gerak Cepat (BGC) 39-F MONUSCO. Hari itu, di jantung Republik Demokratik Kongo, bukan hanya medali yang disematkan di dada mereka—tapi juga pengakuan dunia atas keberanian, pengorbanan, dan kemanusiaan yang telah mereka perjuangkan selama setahun penuh.
Medal Parade. Dua kata yang terdengar formal. Tapi bagi mereka yang berdiri tegak dalam formasi itu, ini adalah saksi dari 365 hari pengabdian. Penghormatan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan sekadar seremonial. Ia adalah pengingat, bahwa di balik seragam loreng dan baret biru, ada hati yang tak kenal lelah menjaga perdamaian.
Di barisan terdepan, Kolonel Inf Imir Faishal, S.Sos., M.I.Pol., berdiri gagah, memimpin pasukan yang telah menjadi keluarga dalam suka dan duka. Dengan suara mantap namun bergetar, ia mengucap syukur atas pencapaian anak buahnya.
“Ini bukan akhir perjalanan kami,” katanya pelan, “ini awal dari janji baru untuk selalu siap hadir di manapun kemanusiaan memanggil.”
Medali kehormatan PBB diberikan langsung oleh para petinggi MONUSCO dan pemerintah lokal. Satu per satu, para prajurit menerima penghargaan dengan mata berkaca, mengingat hari-hari panjang di medan operasi: saat mereka mendirikan pos pengungsian, mengawal warga sipil dari wilayah konflik, hingga menyuapi anak-anak yang kehilangan orangtuanya karena perang.
Tak mudah. Tapi mereka tetap berdiri.
Hadir dalam upacara itu para komandan dari berbagai negara. Wajah-wajah asing yang kini menjadi sahabat seperjuangan. Di tanah asing ini, solidaritas lintas benua tumbuh bukan dari politik atau diplomasi, tapi dari keringat, peluh, dan luka yang dibagi bersama.

“Prajurit Indonesia bukan hanya penjaga. Mereka pembawa harapan,” ucap salah satu pejabat MONUSCO, usai penyematan medali.
Bagi warga lokal, para prajurit TNI bukan hanya tentara asing. Mereka adalah pelindung, tenaga medis, guru darurat, bahkan penghibur bagi anak-anak di kamp pengungsian. Mereka hadir dengan senyum, bukan senjata. Dengan empati, bukan arogansi.
Kini, saat masa tugas usai, tak ada yang lebih menyentuh selain melihat anak-anak Kongo melambaikan tangan sambil berteriak: “Indonesia, terima kasih!”
Dan di sanalah mereka—prajurit-prajurit itu—menatap ke kejauhan, dengan dada tegak dan hati tenang. Mereka telah menunaikan tugas. Dengan hormat, dengan cinta.
Karena menjadi tentara, sejatinya bukan hanya tentang perang. Tapi tentang menjaga damai.
(Barat/Tommy/Rafel)



